Dari Guru menjadi Politisi

Bagikan artikel ini

Pipit Apriani, mahasiswa Program Magister Ilmu Politik Universitas Indonesia, Research Associate Global Future Institute

Penunjukkan teman saya Refly Harun sebagai komisaris utama PT Jasa Marga hari ini (20/3/2015) membuat saya tercengang. Saya tidak heran kalau beliau akan jadi pejabat tinggi, tapi saya tercengang dengan posisi barunya yang menurut sepengetahuan saya, sangat jauh dari keahliannya. Refly Harun adalah seorang ahli hukum tata negara, saya sering bertanya mengenai masalah hukum pemilu dan ketatanegaraan kepada beliau, karena saya bukan orang hukum. Seandainya beliau ditempatkan di Mahkamah Konstitusi, Komisi Yudisial, Kejaksaan atau bahkan Kepolisian, kebanggaan saya kepada beliau akan berlipat. Karena menurut saya, dengan ilmu, pengetahuan dan pengalaman beliau yang luar biasa di bidang hukum kepemiluan dan ketatanegaraan, posisinya di tempat-tempat yang terkait dengan hukum akan memberikan berkah kepada lembaga-lembaga tersebut dan Indonesia. But anyway, itu pilihan prerogratif presiden dan yang ditunjuk pun tak menolak.

Sepuluh menit kemudian saya mendapatkan artikel bahwa sejumlah politisi mengincar posisi di BUMN karena gajinya. Seorang direksi BUMN mendapatkan gaji Rp 250 juta/bulan, sedangkan komisaris utama mendapatkan separuhnya atau sekitar Rp 125 juta/bulan. Memang gaji sebesar itu tidak sama di setiap BUMN, tetapi kurang lebih sekitar angka-angka itu. Saya tercenung. Alangkah ganjilnya negeri ini, alangkah jomplangnya sistem penggajian di negara ini. Saya menoleh ke teman-teman saya yang menjadi guru di Jakarta. Mereka yang masih guru honorer hanya bergaji 1 – 1,8  juta, jauh lebih rendah dari UMR buruh di DKI Jakarta yang Rp 2,7 juta per bulan. Di daerah-daerah lain, guru honorer lebih rendah lagi. Padahal guru adalah orang yang berpendidikan, bertugas mendidik anak-anak bangsa, tetapi mendapatkan gaji yang tak layak untuk hidup di Jakarta bahkan kalah oleh buruh yang cukup berpendidikan SMA saja bahkan bisa lebih rendah lagi.

Lebih dari itu, artikel tersebut membuat saya mendorong teman-teman saya yang berprofesi sebagai guru untuk mengubah mindset mereka dan juga target masa depannya untuk menjadi politisi  beberapa tahun mendatang. Sudah terlalu lama, para guru dininabobokan dengan jargon “Pahlawan Tanpa Tanda Jasa”. Yang berarti, guru selalu diingatkan bahwa sebagai guru, mereka tidak akan mendapatkan gaji yang layak. Padahal banyak dari mereka kuliah S1 untuk menjadi guru yang profesional. Saya selalu berkata, “Para guru dididik untuk pekerjaan profesional, tapi gajinya tidak profesional”. Guru juga jarang berdemo untuk menuntut kenaikan gaji dan honornya, tidak seperti buruh, karena jargon tadi dan kalau menuntut bahkan ketika mereka mencari tambahan di luar kerja maka akan mendapat sejumlah tuduhan yang tidak mengenakkan.

Kenapa saya menjagokan para guru sebagai politisi di masa depan, minimal empat-lima tahun mendatang? Mereka punya modal untuk itu. Para guru, minimal yang kuliah hingga jenjang S1 sudah punya dasar-dasar berbicara di depan kelas, di depan sekolah, dan di depan orang tua murid. Ini adalah modal untuk berbicara di depan konstituen atau calon konstituen. Untuk guru-guru tertentu, mereka biasa bernegosiasi dan mencari kontak dengan pejabat setempat.  Ini adalah bentuk partisipasi politik menurut Huntington dan Jones. Guru sangat paham dengan manajemen kelas, membuat TIK dan TIU. TIK singkatan Tujuan Instruksional Khusus dan TIU adalah Tujuan Instruksional Umum. Keduanya dibutuhkan untuk menjabarkan materi pelajaran di kelas. Hal ini sangat berguna untuk pendidikan politik kepada konstituen dalam menjabarkan program-program partai kepada calon konstituen dan stakeholders bernegara ketika sudah duduk di parlemen. Jangan lupa, salah satu tugas partai politik adalah memberikan pendidikan politik dan ketika sudah  di parlemen, anggota legislatif  harus bernegosiasi dengan eksekutif dan kelompok-kelompok kepentingan lainnya.

Orangtua murid dan masyarakat sekitar sudah punya respek kepada mereka sebagai guru. Riset menunjukkan bahwa keterpilihan anggota legislatif adalah karena kepribadian calon yang ditawarkan oleh partai, kedua baru partai itu sendiri. Para guru tinggal dipoles mengenai pemahaman tentang ilmu politik, kebijakan publik dan insights perpolitikan bisa dibantu oleh partai politik di mana mereka bergabung.  Di toko buku banyak buku-buku tentang politik dan kebijakan publik. di internet juga banyak bertebaran.

Pedoman guru adalah “Ing Ngarso Sung Tulodo, Ing Madyo Mangun Karso, Tut Wuri Handayani” (Di depan memberi teladan, di tengah memberi bimbingan, di belakang memberi dorongan). Insya Allah bangsa Indonesia akan menjadi lebih baik di tangan politisi berbasis guru, karena guru nature-nya adalah mendidik dan melindungi agar anak muridnya lebih pintar, lebih makmur dan lebih hebat. Jangan lupa, founding fathers negara Republik Indonesia adalah mereka yang menjadi guru.

Facebook Comments
Social Media Auto Publish Powered By : XYZScripts.com