Dari Masalah DPT Hingga Media yang Berpihak

Bagikan artikel ini

Datuak Alat Tjumano, Pemerhati Masalah Politik

Pilpres 2014 merupakan momen yang sangat menarik dan menentukan. Pertama, pasca reformasi baru ada seorang  presiden yang mampu memerintah dua periode, yakni Susilo Bambang Yudhoyono. Dengan tidak menyertakan incumbent atau petahana, maka pemilihan kali ini pasti dimenangkan oleh muka baru. Kedua, pada pilpres ini juga hanya ada dua pasangan kandidat. Hal ini mengakibatkan kekuatan politik terpolarisasi hanya dalam dua kubu. Dengan demikian, persaingan menjadi begitu ketat dan sengit.

Pada akhirnya, proses pemilihan presiden yang berpuncak pada 9 Juli lalu menunjukkan wajah asli demokrasi Indonesia. Seluruh rakyat  wajib berterima kasih kepada Komisi Pemilihan Umum(KPU) yang telah berusaha semaksimum mungkin. Namun sebagai catatan, terdapat beberapa hal yang harus diperbaiki untuk pilpres mendatang.

Permasalahan DPT

Permasalahan utama sebelum pilpres ini adalah validitas dari Daftar Pemilih Tetap (DPT). Pasalnya jumlah calon pemilih Pemilu 2014 yang telah ditetapkan oleh KPU tidak sesuai dengan temuan beberapa partai politik. Jumlah DPT yang diumumkan oleh KPU adalah sekitar 186 juta dan terdapat 10,4 juta DPT bermasalah. KPU kemudian memverifikasi dan melakukan perbaikan dan menyatakan bahwa sekitar 3,2 juta nama pemilih tidak bermasalah sehingga berhak mengikuti pemilihan. Namun hingga akhir verifikasi, salah satu parpol, yakni PDI Perjuangan mengklaim menemukan sebanyak 10,8 juta daftar pemilih tetap bermasalah.

Untuk mengatasi hal ini maka harus dilakukan perubahan mendasar pada fungsi dan tugas KPU. Dalam pemilihan mendatang hendaknya KPU hanya bertugas dalam distribusi logistik dan perhitungan suara. Sedangkan untuk data DPT diserahkan pada dua kementerian. Dengan demikian energi KPU dapat diarahkan pada hal-hal yang bersifat substansial.

Kementerian Dalam Negeri seharusnya menjadi penanggung jawab jumlah DPT dari penduduk yang bermukim di Indonesia. Kemendagri memiliki unsur Dinas Kependudukan yang memang secara berkala tugas mereka mengolah data demografi. Sedangkan untuk DPT di luar negeri diserahkan pada Kementerian Luar Negeri. Mereka memiliki data jumlah pendududuk di setiap negara asing. Dengan demikian tidak ada lagi bahwa data DPT ngawur, karena memang data demografi bersifat dinamis, dan hanya dua lembaga tersebut yang memiliki data secara akurat. Dengan dibantu oleh dua Kementerian ini, maka KPU dapat berfokus sebagai panitia penyelenggara pemilihan.

Kekisruhan Dalam Pemilihan

Dalam setiap pemilihan pasti terdapat kekurangan surat suara, namun seharusnya hal tersebut tidak terjadi dalam jumlah massif, serta adanya unsur kesengajaan. Pada pilpres kali ini pemilihan di luar negeri dianggap cukup banyak memiliki masalah. Untuk dalam negeri, hal ini lebih bisa mudah diatasi karena dapat dilakukan pemilihan susulan atau pemilihan ulang.

Kisruh pemungutan suara terbesar terjadi di Hong Kong. Berdasarkan pemberitaan dan isu di sosial media, banyak warga negara Indonesia yang tidak bisa menggunakan hak pilihnya. Panitia pemilihan juga dinilai tidak netral dan berpihak pada salah satu pasangan kandidat.

Sekitar 500 warga WNI di Hong Kong tidak bisa menggunakan hak suaranya karena terlambat menggunakan hak suara akibat TPS sudah ditutup. Dengan alasan kertas suara telah habis maka ratusan pemilih tetap berunjuk rasa hingga membuka paksa pintu pagar TPS karena tidak diizinkan mencoblos.

Di berbagai negara lainnya, belakangan juga ramai diperbincangkan ratusan WNI tak bisa menyalurkan hak politiknya karena kehabisan surat suara dan berbagai alasan lainnya. Di New York, banyak WNI yang mengantre sejak pagi namun tak diizinkan masuk TPS dengan alasan surat suara habis.

Di Jakarta, kericuhan rawan terjadi di kawasan apartemen atau perumahan bertingkat menjulang. Pada Apartemen Gading Nias Residence, Kelapa Gading,, sekitar 500 warga tidak bisa mencoblos karena tidak kebagian surat suara. Hal tersebut juga terjadi di Apartemen Kalibata City, dimana ratusan warga tidak dapat menggunakan hak pilihnya.

Untuk mengatasi hal diatas ada dua hal yang bisa dilakukan. Pertama, pencatatan dan pemuktahiran data DPT dilakukan oleh dinas yang sehari-hari melayani masyarakat, yakni Dinas Kependudukan. Sedangkan di luar negeri dilakukan oleh keduataan atau kosulat jenderal. Kedua, adanya pos induk yang menyediakan kertas suara cadangan di tiap KPU kabupaten/kota. Untuk mencegah kecurangan maka jumlahnya dibatasi tidak boleh lebih dari 5 persen total DPT, dan dalam pengambilannya harus dikawal oknum kepolisian, disertai surat permintaan yang jelas dari panitia TPS.

Maraknya Kampanye Hitam

Masa kampanye pada pilpres 2014, merupakan salah satu momen yang tidak boleh ditiru pada pemilihan-pemilihan mendatang. Kampanye hitam atau black campaign  sangat marak dan jelas dilakukan oleh para anggota tim sukses dari kedua belah pihak. Kedua belah pihak menerbitkan informasi yang negatif dan tidak valid pada lawan pasangan calon. Fitnah yang berisi isu suku, Agama, Ras, Golongan menjadi hal yang biasa dipermainkan.

Salah satu bentuk konkret dari kampanye hitam adalah munculnya tabloid Obor Rakyat yang jelas-jelas mendekreditkan salah satu calon. Bahkan dalam terbitan tersebut bisa dikatakan lagi tidak ada lagi kaidah, etika, dan moral dalam berpolitik. Kaidah-kaidah jurnalistik dilanggar dan informasi yang tidak benar disampaikan pada masyarakat.

Kunci utama mengatasi kampanye hitam adalah Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu). Dapat dikatakan dalam musim kampanye lalu, Bawaslu terlihat terlambat atau kurang agresif memerangi kampanye hitam. Hiambauan-himbauan yang diberikan tanpa sanksi tegas menyebabkan volume kampanye hitam justru kian meningkat hingga hari pemilihan. Dengan demikian maka ke depan wewenang Bawaslu harus diperluas. Bawaslu bahkan bisa menuntut dan mengugurkan salah satu kandidat apabila tim suksesnya secara nyata terbukti melakukan kampanye hitam secara tersistematis dan massif.

Lembaga lain yang diharapkan ikut terlibat ialah Kepolisian dan Badan Intelijen Nasional. Dengan aparat intel yang dimiliki kedua institusi di atas, sebenarnya tidaklah sulit untuk mengetahui dalang dan pelaku dari kampanye hitam. Hanya saja untuk melakukan hal ini, maka pemerintahan yang berkuasa  sebagai pengarah harus berani bersikap netral dan objektif.

Media Yang Berpihak

Permasalahan krusial selanjutnya ialah keberpihakan pemilik dan pengurus media, khususnya televisi kepada salah satu kandidat. Keterlibatan mereka ternyata memberikan efek yang sangat buruk bagi demokrasi Indonesia. Pers yang seharusnya bersifat netral dan objektif turut menjadi bagian dari mesin tim sukses, dan bahkan ikut menebarkan kampanye hitam. Pemberitaan sangatlah tidak proporsional sesuai ketentuan UU Pemilu, dan fungsi dari jurnalitik tercederai.

Dalam masa kampanye lalu terlihat bahwa Viva Group yang dimiliki oleh Aburizal Bakrie, dan MNC Group yang dimiliki Harry Tanoe cenderung mendukung pasangan Prabowo Subianto dan Hatta Rajasa. Sedangkan Metro Group yang dimiliki Surya Paloh memiliki tendesi mendukung Joko Widodo dan Jusuf Kalla.

Puncak dari keberpihakan media adalah penayangan hasil hitung cepat sesuai dengan afiliasi politik masing-masing. Sebagian besar media menayangkan hitung cepat yang memenangkan pasangan nomor dua. Namun Viva Group dan MNC Group menayangkan hasil hitung cepat yang dimenangkan pasangan nomor satu. Akibatnya,  pada tanggal 9 Juli lalu, kedua kandidat menyatakan diri sebagai pemenang.

Seharusnya para pengelola media sadar bahwa mereka memakai spektrum frekuensi yang dimiliki oleh masyarakat., Dengan demikian, mereka tidak dapat seenaknya melakukan pemberitaan demi kepentingan sesaat saja. Akibatnya masyarakat merasa jenuh, bahkan ada yang terprovokasi dengan pemberitaan media.

Untuk mengatasi keberpihakan media ,maka UU Pemilu harus di ubah. Pertama Para pemilik dan Pengelola media harus dilarang tegas untuk berafiliasi dengan salah satu kandidat pasangan presiden dan wakil presiden. Kedua, para pengelola media juga dilarang terlibat sebagai tim sukses baik secara langsung maupun tidak langsung.

Undang-Undang Penyiaran juga perlu di revisi. Pertama, harus ada sanksi tegas atau bahkan pencabutan izin bagi media yang terbukti memiliki keberpihakan politik. Kedua, harus ada sanksi pidana bagi media yang menyebarkan berita bohong atau fitnah. Ketiga, harus ada pembatasan dan kontrol ketat atas jumlah waktu siaram atau blocking time dari tiap pasangan capres-cawapres.

Facebook Comments
Social Media Auto Publish Powered By : XYZScripts.com