Triono Akmad Munib
Asbtract
The swift currents of globalization both in the economic, political, social and today’s demanding the state to make efforts in order to at least survive in the pounding waves of globalization. There are only two ways to live in an increasingly globalized era, ie be a wave or riding the wave. Country is faced with two tough choices. Does the country into ‘waves’ in the globalization process? Or riding a ‘wave’ is?
Pendahuluan
Derasnya arus globalisasi baik dalam bidang ekonomi, politik, dan sosial saat ini menuntut negara untuk melakukan berbagai upaya agar bisa setidaknya survive (bertahan) dalam hempasan gelombang globalisasi. Dewasa ini, tidak ada satu pun negara di dunia yang tidak merasakan dampak dari globalisasi. Bahkan, negara yang mengisolasi hubungan dengan negara lain (Korea Utara) tampak tidak bisa menahannya. Dengan perkembangan IT yang semakin canggih di abad ke-21 ini, fenomena globalisasi tampak menemukan ‘pasangan’ yang cocok.
Hanya ada dua cara hidup di zaman yang semakin mengglobal ini, yaitu be a wave atau riding the wave. Negara dihadapakan kepada dua pilihan yang berat. Apakah negara tersebut menjadi ‘gelombang’ dalam arus globalisasi? Ataukah mengendarai ‘gelombang’ tersebut? Dalam hal menjadi gelombang, kondisi yang ditunjukkan adalah mengikuti fenomena globalisai atau dalam bahasa jawa disebut dengan latah (ikut-ikutan). Sementara, jika kita bisa mengendarai ‘gelombang’, kondisi yang diperlihatkan adalah kita berada di atas arus globalisasi dan menyetir kemana arah globalisasi, singkatnya kita menjadi yang ditiru.
Demam Korean Pop atau yang lebih familiar dengan K-Pop menjadi salah satu contoh fenomena globalisasi. K-Pop telah menghipnotis ribuan umat manusia khususnya muda-mudi, tak terkecuali Indonesia. Jutaan ABG tak hentinya berpenampilan meniru artis-artis K-Pop. Grup vokal (boyband dan girlband) bermunculan bak jamur di musim hujan. K-Pop telah mewabah di berbagai belahan dunia. Mengapa K-Pop menjadi begitu fenomenal belakangan ini?
Tulisan ini akan membahas mengenai fenomena Korean Wave (Demam Korea) kemunculan K-Pop, dan upaya pemeirntah Korea Selatan (Korsel) menjadikan K-Pop sebagai ladang bisnis untuk membangun perekonomian Korsel.
Kerangka Konseptual
Cochrane dan Pain menegaskan bahwa dalam kaitannya dengan globalisasi, terdapat tiga posisi teoritis yang dapat dilihat, yaitu: Para globalis percaya bahwa globalisasi adalah sebuah kenyataan yang memiliki konsekuensi nyata terhadap bagaimana orang dan lembaga di seluruh dunia berjalan. Mereka percaya bahwa negara-negara dan kebudayaan lokal akan hilang diterpa kebudayaan dan ekonomi global yang homogen. meskipun demikian, para globalis tidak memiliki pendapat sama mengenai konsekuensi terhadap proses tersebut. Ada empat pandangan mengenai globalisasi
1. Para globalis positif dan optimistis menanggapi dengan baik perkembangan semacam itu dan menyatakan bahwa globalisasi akan menghasilkan masyarakat dunia yang toleran dan bertanggung jawab.
2. Para globalis pesimis berpendapat bahwa globalisasi adalah sebuah fenomena negatif karena hal tersebut sebenarnya adalah bentuk penjajahan barat (terutama Amerika Serikat) yang memaksa sejumlah bentuk budaya dan konsumsi yang homogen dan terlihat sebagai sesuatu yang benar dipermukaan. Beberapa dari mereka kemudian membentuk kelompok untuk menentang globalisasi (anti- globalisasi).
3. Para tradisionalis tidak percaya bahwa globalisasi tengah terjadi. Mereka berpendapat bahwa fenomena ini adalah sebuah mitos semata atau, jika memang ada, terlalu dibesar-besarkan. Mereka merujuk bahwa kapitalisme telah menjadi sebuah fenomena internasional selama ratusan tahun. Apa yang tengah kita alami saat ini hanyalah merupakan tahap lanjutan, atau evolusi, dari produksi dan perdagangan kapital.
4. Para transformasionalis berada di antara para globalis dan tradisionalis. Mereka setuju bahwa pengaruh globalisasi telah sangat dilebih-lebihkan oleh para globalis. Namun, mereka juga berpendapat bahwa sangat bodoh jika kita menyangkal keberadaan konsep ini. Posisi teoritis ini berpendapat bahwa globalisasi seharusnya dipahami sebagai “seperangkat hubungan yang saling berkaitan dengan murni melalui sebuah kekuatan, yang sebagian besar tidak terjadi secara langsung”. Mereka menyatakan bahwa proses ini bisa dibalik, terutama ketika hal tersebut negatif atau, setidaknya, dapat dikendalikan.
Korean Wave
Korean Wave (gelombang Korea) atau Hallyu adalah istilah yang diberikan untuk tersebarnya budaya pop Korea secara global di berbagai negara di dunia.[1] Umumnya Hallyu memicu banyak orang-orang di negara tersebut untuk mempelajari Bahasa Korea dan kebudayaan Korea.[2]
Mulanya, kegemaran akan budaya pop Korea dimulai di Republik Rakyat China dan Asia Tenggara mulai akhir 1990-an.[3] Istilah Hallyu sendiri diadopsi oleh media Cina setelah album musik pop Korea, HOT, dirilis di China.[4] Serial drama TV Korea mulai diputar di China dan menyebar ke negara-negara lain seperti Hongkong, Vietnam, Thailand, Indonesia, Filipina, Jepang, Amerika Serikat, Amerika Latin dan Timur Tengah.[5] Pada saat ini, Hallyu diikuti dengan banyaknya perhatian akan produk Korea Selatan, seperti masakan, barang elektronik, musik dan film.[6] Fenomena ini turut mempromosikan Bahasa Korea dan budaya Korea ke berbagai negara.
Drama dan film Korea ditenggarai menjadi penyebab mewabahnya virus Hallyu di berbagai belahan dunia. Warga Korsel sendiri suka menonton drama dan film dan mendengar musik. Perusahaan TV Korea mengeluarkan biaya besar untuk memproduksi drama dan beberapa diantaranya yang mencetak kesuksesan, diekspor ke luar negeri. Drama televisi yang memicu Hallyu antara lain, Winter Sonata, Dae Jang Geum, Stairway to Heaven, Beautiful Days dan Hotelier.[7]
Film-film Korea, bersama drama TV dan musik pop, merupakan produk utama Hallyu yang dinikmati tidak hanya di dalam negeri, namun juga di berbagai negara. Pada awalnya, film Hongkong mendominasi bioskop di Asia, namun dengan kehadiran Hallyu, mulai tersaingi oleh film Korea. Film produksi Korea Selatan dikenal karena alur ceritanya yang kuat dan genre yang bervariasi sehingga menarik banyak penonton.[8]
Populernya drama Korea di stasiun televisi Indonesia terjadi setelah drama negara Asia lain seperti Taiwan dan Jepang diputar.[9] Berbagai stasiun televisi Indonesia mulai menayangkan drama produksi Korsel setelah RCTI yang mempelopori pemutaran drama Endless Love (Autumn in My Heart).[10] Para sineas drama di Korea mulai menyadari daya jual drama Korea sangat tinggi di negara-negara tetangganya sehingga produksi serial mereka menjadi komoditas ekspor.[11] Puncaknya terjadi saat serial Winter Sonata diputar di Jepang, Cina, Taiwan dan Asia Tenggara. Sejak saat itu istilah Hallyu atau demam Korea muncul.[12]
Dari tahun 2002-2005 drama-drama Korea yang populer di Asia termasuk Indonesia antara lain Endless Love, Winter Sonata, Love Story from Harvard, Glass Shoes, Stairway to Heaven, All In, Hotelier, Memories in Bali, dan Sorry I Love You yang merupakan serial drama melankolis. Drama komedi romantis muncul berikutnya, antara lain Full House, Sassy Girl Chun Hyang, Lovers in Paris, Princess Hours, My name is Kim Sam-soon, My Girl, Hello Miss!, dan Coffee Prince.[13] Genre drama berlatar belakang sejarah ikut mencetak rating tinggi, antara lain drama Dae Jang Geum, Queen Seon Deok, Hwang Jini, hingga Jumong. Pada Tahun 2008-2009, drama Korea yang banyak mendapatkan perhatian adalah Boys Before Flowers (BBF).[14]
Derasnya produksi film dan drama Korsel menjadi sebuah alternatif tersendiri bagi pencinta film di dunia, setelah sekian lama dunia perfilman dikuasai oleh Amerika. Serial drama maupun film Korea mampu menunjukkan jati dirinya sendiri di tengah arus globalisasi budaya Barat yang kian gencar.
K-Pop, Seperti Apa?
K-pop atau kepanjangan dari Korean Pop (Musik Pop Korea), adalah jenis musik populer yang berasal dari Korsel. Banyak artis dan kelompok musik pop Korea sudah menembus batas dalam negeri dan populer di mancanegara. Kegandrungan akan musik K-Pop merupakan bagian yang tak terpisahkan daripada Demam Korea (Korean Wave) di berbagai negara.
Musik pop Korea pra-modern pertama kali muncul pada tahun 1930-an akibat masuknya musik pop Jepang yang juga turut memengaruhi unsur-unsur awal musik pop di Korea. Penjajahan Jepang atas Korea juga membuat genre musik Korea tidak bisa berkembang dan hanya mengikuti perkembangan budaya pop Jepang pada saat itu.
Pada tahun 1950-an dan 1960-an, pengaruh musik pop barat mulai masuk dengan banyaknya pertunjukkan musik yang diadakan oleh pangkalan militer Amerika Serikat di Korea Selatan. Musik Pop Korea awalnya terbagi menjadi genre yang berbeda-beda, pertama adalah genre “oldies” yang dipengaruhi musik barat dan populer di era 60-an. Pada tahun 1970-an, musik rock diperkenalkan dengan pionirnya adalah Cho Yong-pil.
Genre lain yang cukup digemari adalah musik Trot yang dipengaruhi gaya musik enka dari Jepang. Debut penampilan kelompok Seo Taiji and Boys di tahun 1992 menandakan awal mula musik pop modern di Korea yang memberi warna baru dengan aliran musik rap, rock, dan techno Amerika. Suksesnya grup Seo Taiji and Boys diikuti grup musik lain seperti Panic, dan Deux. Tren musik ini turut melahirkan banyak grup musik dan musisi berkualitas lain hingga sekarang.
Musik pop dekade 90-an cenderung beraliran dance dan hip hop. Pasar utamanya adalah remaja sehingga dekade ini muncul banyak grup “teen idol” yang sangat digilai seperti CLON, H.O.T, Sechs Kies, S.E.S, dan g.o.d. Kebanyakan dari kelompok musik ini sudah bubar dan anggotanya bersolo-karier.
Pada tahun 2000-an pendatang-pendatang baru berbakat mulai bermunculan. Aliran musik R&B serta Hip-Hop yang berkiblat ke Amerika mencetak artis-artis semacam MC Mong, 1TYM, Rain, Big Bang yang cukup sukses di Korea dan luar negeri. Beberapa artis underground seperti Drunken Tiger, Tasha (Yoon Mi-rae) juga memopulerkan warna musik kulit hitam tersebut. Musik rock masih tetap digemari di Korea ditambah dengan kembalinya Seo Taiji yang bersolo karier menjadi musisi rock serta Yoon Do Hyun Band yang sering menyanyikan lagu-lagu tentang nasionalisme dan kecintaan terhadap negara. Musik techno memberi nuansa modern yang tidak hanya disukai di Korea saja, penyanyi Lee Jung-hyun dan Kim Hyun-joong bahkan mendapat pengakuan di China dan Jepang. Musik balada masih tetap memiliki pendengar yang paling banyak di Korea. Musik balada Korea umumnya dikenal dengan lirik sedih tentang percintaan, seperti yang dibawakan oleh Baek Ji Young, KCM, SG Wannabe, dan sebagainya. Musik balada umumnya digemari karena sering dijadikan soundtrack drama-drama televisi terkenal seperti Winter Sonata, Sorry I Love You, Stairway to Heaven dan sebagainya.
Berbagai artis Korea menangguk kesuksesan di dunia internasional seperti BoA yang menembus Jepang dan digemari di banyak negara. Kemudian artis-artis lain seperti Rain, Se7en, Shinhwa, Ryu Shi-won, dan sebagainya berlomba-lomba untuk menaklukkan pasar musik di Jepang. Rain tercatat sebagai artis Asia pertama yang mengadakan konser internasional bertajuk RAINY DAY 2005 Tour, di Madison Square Garden.
Di Indonesia sendiri, seiring dengan drama Korea yang semakin diterima publik Indonesia, muncul pula kegemaran akan grup musik pria (boyband) maupun wanita (girlband) seperti grup musik TVXQ, Super Junior, 2PM, dan Wonder Girls.[15] Penyanyi Rain mulai dikenal lewat serial drama Full House yang ditayangkan di stasiun televisi Indonesia. Sejak itu, penggemar K-Pop dan drama Korea mulai umum dijumpai.[16] Selain itu, semakin bermunculan grup vokal pria maupun wanita di Indonesia yang hendak meniru K-Pop seperti, XOIX, Cherry Belle, Hitz, Dragon Boyz, dan sebagainya.
Dunia Dalam Demam K-Pop
Musik dan artis Korea berhasil menghipnotis telinga dan mata remaja di berbagai penjuru dunia, tak terkecuali di Indonesia. Kedashsyatan pesona penyanyinya dengan gerakan-gerakan dinamis telah menyihir jutaan pemirsa televisi maupun secara live ketika mereka sedang manggung. Indonesia benar-benar telah di-“koreakan” oleh K-pop yang didomonasi oleh pria-pria mulus dengan gaya menyanyinya yang atraktif.
Dunia seakan melupakan kiblat lama, Paris dan Milan sebagai pusat fashion dan gaya hidup. Dunia telah menemukan arah kiblat baru bernama Korea. Bahkan, acara-acara hiburan televisi di Tanah Air juga ikut-ikutan latah dengan gaya Korea.
Demam K-Pop telah mendorong lahirnya sebuah fenomena fanatisme dimana para pesohor dari negeri ginseng tersebut menjadi kiblat dalam berperilaku bagi remaja dan generasi muda di Tanah Air. Tidak sedikit dari mereka yang rela melancong ke negeri yang berada di Semenanjung Asia Timur itu hanya untuk menonton konser artis idola dan berbelanja pernak-pernik berlabel “made in Korea”.[17]
Booming Korea benar-benar telah merubah gaya hidup dan jadwal kegiatan anak dan remaja sehari-hari. Di saat mereka bangun tidur dari kamar mereka sudah terdengar lagu K-Pop. Me-request dan men-down load seakan merupakan keasyikan tersendiri. Terkadang para orang tua juga ikut tergila-gila pada Korea sampai rela mengorbankan waktu beristirahatnya demi menonton show Korea atau sinema/drama Korea di internet maupun televisi. Seakan takut “berdosa” ketinggalan berita terbaru mengenai K-Pop, sampai aktivitas sehari-hari seperti makan pun dilakukan di depan laptop atau televisi. K-Pop menjadi medan magnet baru gaya hidup.
Memetik Buah Keberhasilan
K-Pop telah menjadi trendsetter yang diikuti anak-anak muda, bukan hanya aliran musiknya, namun juga gayanya berpakaian. Bisa dikatakan, Korean Wave menjadi bentuk nyata keberhasilan pemerintah Korsel melakukan inflitrasi budaya di berbagai negara ditengah derasnya arus globalisasi budaya Barat.
Namun, menjadikan budaya Korsel terkenal di seluruh dunia tidaklah semudah membalikan telapak tangan. Semua itu bermula pada 20 tahun lalu, ketika pemerintah Korsel merancang sebuah Korea masa depan, dengan budayanya yang digandrungi banyak orang di dunia.[18] Pemerintah Korea sejak saat itu memberikan program beasiswa besar-besaran bagi para artis dan seniman di negaranya, untuk belajar di Amerika Serikat dan Eropa. Dari program inilah dihasilkan artis-artis berpengalaman yang mengerti selera musik, gaya hidup, bahkan selera pasar.[19] Hasilnya, Korea kini memetik buah dari keseriusan menggarap industri pop mereka.
Menurut The Korea Creative Content Agencys, pada tahun 2011 Korea menangguk keuntungan mencapai Rp. 35 triliun dari bisnis K-Pop. Angka ini meningkat 14 persen dibandingkan tahun 2010.[20] K-Pop juga mendongkrak citra Korea. Jutaan orang tertarik berkunjung ke Korea, termasuk menengok Pulau Nami di Provinsi Gangwon-do yang menjadi lokasi shooting Winter Sonata, sinetron Korea yang meledak tahun 2002. Choi Jung-eun, staf pengelola Pulau Nami, mengatakan, dulu pulau kecil dan sepi itu hanya dikunjungi sekitar 200.000 turis per tahun. Kini, pengunjungnya rata-rata 1,6 juta turis setahun.[21]
Di Indonesia saja, perwakilan perusahaan Korea tumbuh subur. Berdasarkan data Pusat Kebudayaan Korea di Indonesia, saat ini, ada 1.300 kantor cabang perusahaan Korea yang didirikan di Indonesia.[22] Bisnis K-Pop benar-benar dimanfaatkan dengan baik oleh pemerintah Korsel untuk membangun perekonomian domestik disamping terus mengglobalkan budaya Korea.
Tidak hanya itu, pemerintah Korea sangat jeli melihat peluang agar budaya negaranya menjadi terkenal, termasuk menyatukan olah raga beladiri tradisional menjadi satu wadah yang bernama Taekwondo pada tahun 1954. Dengan cepat, olahraga ini menjadi terkenal di seluruh dunia, bahkan menjadi cabang olahraga yang resmi dipertandingkan di Olimpiade. Selain seni beladiri Taekwondo, institusi pendidikan juga diajarkan dan menjadi bahan riset di berbagai kampus di Korsel.[23]
Penutup
Dari penjelasan di atas bisa diambil sebuah kesimpulan bahwa pemerintah Korsel melihat fenomena globalisasi sebagai peluang untuk memperkaya dan mengembangkan potensi domestik yang dimiliki. Korea menjadi salah satu contoh keberhasilan penyelenggara negara yang mampu menjadikan kreativitas dan budaya penghasil uang yang cukup besar.
Sebagai penutup penulis hendak mengambil hikmah dari cerita kesuksesan Korea di atas, yaitu terkadang ide brilian pada awalnya dipandang sebelah mata. Hal ini terkadang dampaknya tidak bisa dirasakan secara langsung. Kebijakan pemerintah Korsel untuk memberikan beasiswa kepada warganya 20 tahun silam menjadikan Korea sebagai negara yang bisa ‘mengendarai’ hempasan gelombang dunia global.
Referensi :
[1]Ministry of Culture, Sports and Tourism , Seoul, Republic of Korea . 2010. Passport to Korean Culture. Hal. 46-53
[2]Ibid
[3]Ibid
[4]Ibid
[5]Ibid
[6]Ibid
[7]Ibid
[8]Ibid
[9]Riz (minggu kedua Juli 2010). Tren Serial Asia di Indonesia, Mulai Dari Serial Klasik Mandarin, Drama Jepang, Hingga Demam Korea. Bintang Indonesia. Hal. 77
[10]Ibid
[11]Ibid
[12]Ibid
[13]Ibid
[14]Ibid
[15]Riz (Minggu Kedua Juli 2010). Grup Penyanyi Idola Ikut Populer. Bintang Indonesia. Hal. 7
[16]Ibid
[17]Yudono, Jodhi. 2011. Demam Korea Sudah Menginfeksi Indonesia.
http://travel.kompas.com/read/2011/10/1/03045760/Demam.Korea.Sudah.Menginfeksi.Indonesia. [08 April 2012]
[18]“Korean Wave “Hallyu” Mewabah di Sejumlah Negara”. 2012.
http://www.metrotvnews.com/read/newsvideo/2012/04/07/148668/Korean-Wave-Hallyu-Mewabah-di-Sejumlah-Negara/7[08 April 2012]
[19]Ibid
[20]Ibid
[21]”Gelombang Korea Menerjang Dunia”. 2012.
http://nasional.kompas.com/read/2012/01/15/01474452/ [08 April 2012]
[22]Ibid
[23]“Korean Wave “Hallyu” Mewabah di Sejumlah Negara”. 2012.
http://www.metrotvnews.com/read/newsvideo/2012/04/07/148668/Korean-Wave-Hallyu-Mewabah-di-Sejumlah-Negara/7 [08 April 2012]