Demokrasi Palsu AS di Balik Intervensinya di Venezuela

Bagikan artikel ini

Menyusul krisis politik yang tak kunjung usia di Venezuela, negara adidaya AS lagi-lagi menjadikan demokrasi sebagai tunggangan untuk melakukan intervensi di negara kaya minyak tersebut. Tidak tanggung-tanggung, Presiden AS Donald Trump bahkan secara terang-terangan akan melancarkan aksi militer ke Venezuela.

Dalam sebuah program ‘Face the Nation’ di CBS belum lama ini, Trump juga menyuarakan dukungan penuhnya kepada Presiden Majelis Nasional, Juan Guaido, yang mendeklarasikan diri sebagai pemimpin interim Venezuela dan menantang pemerintahan Nicolas Maduro.

Dukungan Trump terhadap pemimpin oposisi Guaido tersebut justru dianggap kontra produktif di mata dunia internasional. Pun demikian, sejumlah negara seperti Inggris, Perancis, Jerman, Spanyol dan beberapa negara Amerika Selatan mendukung langkah Trump.

Dari gambaran di atas, patut kiranya menelisik agenda terselubung AS di Venezuela sebagai bagain dari proyek besar kebijakan luar negerinya. Jika dikaji dari sepak terjang AS di pelbagai belahan dunia, AS kerang menjadikan isu terorisme, HAM, dan demokrasi sebagai alat komoditas politik luar negerinya. Hal ini ditandai dari rekam jejaknya sejak berakhirnya Perang Dingin melalui jargon penyebaran demokrasi ke seluruh penjuru dunia sebagai upaya memperluas perdamaian (Jack Snyder, 2000).

Bertolak dari pemerintahan presiden Bill Clinton, George W. Bush, Barack Obama, hingga Donald Trump, pemerintahan AS yang selalu mengampanyekan demokratisasi sebaliknya banyak menciptakan krisis, konfik vbahkan perang saudara di negara-negera yang menjadi target kepentingan politik dan ekonomi nasionalnya. Lihat saja misalnya krisis yang ada di Venezuela saat ini. Potensi adanya perang saudara di negara tersebut sepertinya tak terelakkan. Mengingat misi utama AS mendukung pemimpin oposisi Guaido adalah menggulingkan rezim Maduro yang dinilainya otoriter dan sewenang-wenang.

Ternyata, benang merah jargon demokrasi AS tidak lain adalah seberapa jauh seorang presiden atau kepala negara bisa bekerjasama dan melayani kepentingan-kepentingan AS.

Pertanyaannya adalah, benarkah demokrasi yang mejadi komoditas politik dan kepentingan AS terhadap negara yang menjadi targetnya akan membuat negara tersebut melunak?

Sebagaimana diungkap oleh Asrudin Azwar, pengamat politik dan hubungan internasional dari The Asrudian Center, apabila menengok sejarah sepak terjang AS, maka jawabannya menjadi sangat bertolak belakang. Lihat saja, misalnya pada 1970, AS pernah terlibat konflik dengan Cili, yang pada saat itu merupakan negara demokrasi mapan di Amerika Selatan, setelah sukses menyelenggarakan Pemilu secara luber dan jurdil. Pemilu tersebut berhasil menghantar Salvador Allende –kandidat yang didukung oleh sayap kiri Popular Unity – ke kursi kekuasaan.

Tuduhan Trump terhadap pemerintahan otoriter Maduro itulah yang dijadikan dalih untuk terus melancarkan serangan kepada pemerintahan sah Maduro. Ketika Maduro kembali terpilih pada Mei 2018 secara demokratis, Presiden Amerika Donald Trump malah menganggap pemerintahan Maduro sebagai pemerintahan yang otoriter. Serangan itu terutama di bidang ekonomi. Sebut saja misalnya pemberlakukan embargo terhadap perusahaan minyak utama Venezuela (PDVSA), termasuk juga penghentian operasional sejumlah perusahaan asing, antara lain Kellog dan Clorox. Dengan demikian, wajar saja kalau sekiranya Trump tetap kekeh untuk terus menggulingkan Maduro dari kursi kepresidenan.

Sudarto Murtaufiq, peneliti senior Global Future Institute (GFI)

Facebook Comments
Social Media Auto Publish Powered By : XYZScripts.com