Di Balik Kemitraan Ekonomi Jepang-Filipina

Bagikan artikel ini

Nampaknya, masalah krusial berskala global yang melanda kawasan Asia Tenggara, tidak hanya berkaitan dengan isu-isu strategis di bidang politik dan pertahanan.  Kali ini, isu lingkungan hidup pun berpotensi untuk memicu ketegangan baru di kawasan Asia Tenggara. Bukan semata-mata konflik kepentingan strategis antara Amerika Serikat versus ASEAN, melainkan juga kemungkinan terjadinya perbenturan kepentingan antara sesame negara ASEAN.

Beberapa waktu berselang, beberapa aktivis organisasi lingkungan hidup dari negara-negara yang bergerak dalam jaringan kerjasama ASEAN, menyuarakan rasa kecemasannya dengan adanya ratifikasi kesepakatan kemitraan ekonomi antara Jepang dan Filipina. Sepintas lalu, tentu saja kecemasan beberapa kalangan aktivis LSM lingkungan hidup tersebut terkesan mengada-ada atau malah cenderung dihinggapi perasaan paranoid.

Namun ketika alasan yang mereka ajukan dikemukakan, rasa-rasanya kecemasan kalangan aktivis lingkungan hidup tersebut masuk akal juga. Karena dalam argumentasi yang melandasi kecemasan mereka terhadap perjanjian kesepakatan ekonomi antara Jepang dan Filipina itu, bahwa agenda tersembunyi Jepang adalah untuk memanfaatkan Filipina sebagai “Daerah Penyimpanan Sampah Toxit” yang berasal dari negara sakura tersebut.

Menurut kalangan aktivisi lingkungan hidup, meskipun Jepang telah berjanji akan mentaati Undang-Undang Dasar Filipina, namun tidak ada jaminan bahwa Jepang tidak akan menggunakan wilayah kedaulatan Filipina sebagai daerah penyimpangan sampah toxit-nya.

Bisa dimengerti. Karena perjanjian kemitraan ekonomi Jepang-Filipina tersebut, tidak ada klausul-klausul yang menegaskan komitmen dan janji Jepang untuk menanggung biaya kerugian jika terjadi pencemaran lingkungan hidup di Filipina sebagai akibat dari adanya penyimpanan sampah Toxit dari Jepang.

Yang lebih mencemaskan lagi, beberapa informasi mengindikasikan bahwa Jepang tidak sekadar mencari daerah penyimpanan sampah Toxit. Beberapa sumber yang dapat dipercaya menginformasikan bahwa Jepang saat ini juga mempunyai rencana mencari daerah pembuangan limbah nuklirnya di kawasan Asia Tenggara.

Dalam hal ini, mengingat kedekatan tradisional antara Filipina dan Amerika Serikat, maka bagi Jepang yang sampai sekarang masih terikat pada perjanjian keamanan Amerika Serikat-Jepang, maka pilihan Jepang untuk menggunakan Filipina menjadi pertimbangan yang cukup masuk akal. Karena dengan desakan kalangan pelobi Amerika terhadap para anggota parlemen Filipina, maka ratifikasi persetujuan kemitraan ekonomi Jepang-Filipina berhasil disetujui.

Karena itu, indikasi adanya rencana tersembunyi Jepang di balik persetujuan kemitraan ekonominya dengan Filipina, kiranya wajib diwaspadai tidak saja oleh kalangan pengambilan keputusan strategis di Filipina, melainkan juga bagi kalangan pengambil keputusan strategis di negara-negara ASEAN, termasuk Indonesia.

Mengingat sulitnya akses informasi kalangan negara-negara ASEAN untuk melakukan pengecekan dan penyelidikan mengenai kebenaran informasi bahwa Jepang sudah mememasukkan sampah toxit-nya ke kawasan Asia Tenggara, maka isu ini sudah selayaknya diagendakan dalam forum Konferensi Tingkat Tinggi ASEAN di Thailand bulan Februari mendatang.

Artinya, ASEAN harus secara aktif mempertanyakan secara langsung kepada Jepang mengenai indikasi bahwa negara matahari terbit tersebut telah memasukkan dan menyimpan sampah Toxit-nya ke Filipina atau bahkan beberapa negara ASEAN lainnya.

Terbongkarnya kasus virus Namru-2 Amerika di Indonesia sebagai kedok dari operasi intelijen Angkatan Laut Amerika, kiranya sudah cukup untuk membuktikan betapa rawannya kawasan ASEAN sebagai daerah yang dimanfaatkan oleh Amerika maupun para sekutunya seperti Jepang, untuk digunakan untuk berbagai kepentingan militer mereka baik secara langsung maupun tidak langsung.

Memang dalam kaitan dengan isu penyimpanan sampah Toxit Jepang di Filipina dengan menggunakan kedok perjanjian kemitraan ekonomi Jepang-Filipina, tidak secara langsung berkaitan dengan soal-soal pertahanan dan kemiliteran.

Namun, dampak ekologis dari penyimpanan sampah Toxit maupun nuklir di kawasan ini, pada perkembangannya juga tidak kalah berbahaya dibandingkan dampak dari kerusakan yang diakibatkan oleh operasi militer.

Sebab, adanya penyimpanan sampah Toxit, apalagi sampah Nuklir, di kawasan ASEAN, bisa berakibat terjadinya pencemaran lingkungan hidup, dan kematian ekologis bagi apa saja yang tumbuh di wilayah penyimpanan sampah Toxit dan Nuklir tersebut.

Bagi Indonesia, dalam menyikapi isu itu, harus lebih agresif lagi dalam mencegah agar hal seperti itu tidak akan terjadi. Karena wilayah ekologis Indoensia sebenarnya masihlah cukup subur. Bahkan beberapa ahli lingkungan hidup dan pertanian kita mengatakan tanah dan lahan di Indonesia sebenarnya termasuk dari sedikit negara yang masih SIAP TANAM. Sementara di negara seperti Cina, meski lebih luas, ternyata tidak semua lahan dan tanahnya siap tanam.

Karena itu, para aktivis lingkungan hidup Indonesia, harus lebih ofensif dalam menentang skenario global untuk menjadikan negara-negara ASEAN sebagai satelit negara maju dalam pembuangan maupun penyimpanan sampah Toxit dan Nuklir di masa depan.

Maka, dalam setiap perjanjian bilateral dengan Jepang maupun dengan negara-negara maju lainnya, Indonesia dan kalangan LSM sebaiknya saling berbagi informasi, untuk memonitor dan memeriksa setiap klausul perjanjian yang memberi celah bagi mereka untuk mendapatkan konsesi wilayah di kawasan ASEAN sebagai daerah pembuangan atau penyimpanan sampah Toxit dan Nuklir.

Facebook Comments
Social Media Auto Publish Powered By : XYZScripts.com