Para Buruh di Surabaya dan Sidoarjo Menuntut Peningkatan Kesejahteraan

Bagikan artikel ini

Arif Rahman Hakim, Kontributor The Global Review

Surabaya, ibukota Provinsi Jawa Timur, adalah kota terbesar kedua setelah Jakarta. Di Kota Pahlawan ini terdapat banyak berdiri perusahaan dan jumlahnya setiap tahun meningkat.

Pada tahun 2004 terdapat 7.743 perusahaan lalu meningkat menjadi 8.303 perusahaan (2005), 8.981 perusahaan (2006), 9.468 perusahaan (2007), 9.800 perusahaan (2008), dan 9.837 perusahaan (2009).

Jumlah buruh/pekerja juga meningkat. Pada tahun 2004 terdapat 1.110.837 buruh, lalu naik menjadi 1.127.777 buruh (2005), 1.160.262 buruh (2006), 1.179.859 buruh (2007), 1.193.828 buruh (2008), dan 1.199.935 buruh. Anggaran tenaga kerja di Surabaya setiap tahun meningkat, yakni Rp 3,5 miliar pada tahun 2007, Rp 3,7 miliar (2008), dan 17 miliar (2009).

Pemerintah Kota Surabaya mengeluarkan kebijakan upah minimum kota (UMK) Rp 550.700 pada tahun 2004, Rp 578.500 (2005), Rp 685.500 (2006), Rp 746.000 (2007), Rp 805.500 (2008), dan Rp 948.500 (2009).

Dua orang staf pada Staf Khusus Presiden Bidang Pemberantasan KKN, Arif Rahman Hakim dan Lili Setia Permana, pekan lalu (17/4 – 20/4) memantau masalah ketenagakerjaan di Surabaya dan Sidoarjo. Menurut Arif, ada perusahaan yang menggaji karyawannya sesuai UMK dan ada juga yang belum melaksanakannya.

Salah satu perusahaan yang sudah melaksanakan UMK adalah PT Campina Es Krim Industri yang memiliki pabrik di Jl. Rungkut Industri II/15-17 Surabaya. Perusahaan yang berdiri tahun 1982 dan memproduksi es krim bermerek Campina ini memiliki 350 karyawan. Sri Lestari, HRD Supervisor PT Campina Es Krim Industri, mengatakan pihaknya memberikan gaji di atas UMK kepada karyawan tetap dan gaji sesuai UMK kepada karyawan kontrak. Karyawan tetap dan karyawan kontrak juga mendapat uang transport Rp 5.200 per hari. “Selain memberikan gaji di atas UMK dan uang transport, perusahaan juga makan siang gratis, pengobatan gratis, bonus dan tunjangan hari raya (THR),” kata Sri ketika diwawancarai Jumat (17/4) sore.

Keterangan Sri dibenarkan oleh sejumlah karyawan, seperti Sri Rahayu, Roifatul Lailia, Heni Susanti, Sumarno, Muhammad Khairul Affandi, Siti Khoiriyah, Sulistyowati, Indrawati, Alindarisah, dan Mujiono.

Sri Rahayu sudah tujuh tahun bekerja. Lulusan SMK ini bekerja di bagian rumah tangga alias dapur. Gajinya Rp 1.100.000. “Enak bekerja di Campina. Perusahaan memperhatikan kesejahteraan karyawan,” kata isteri Hasto Broto dan ibu seorang anak ini.

Rekannya sesama tukang masak, Roifatul Lailia, sudah 17 tahun bekerja. Lia, panggilan akrabnya, bergaji Rp 1.300.000. Lulusan SMP yang mempunyai seorang anak ini berharap gajinya naik.

Tukang masak lainnya, Heni Susanti, baru setahun bekerja. Statusnya karyawan kontrak. Ia bergaji Rp Rp 948.500. “Saya berharap diangkat menjadi karyawan tetap,” katanya.

Muhammad Khairul Affandi, karyawan bagian dapur, baru tiga bulan bekerja dan berstatus karyawan kontrak. Ia bergaji Rp 948.500.

Siti Khoiriyah, karyawan bagian laboratorium, bergaji Rp 1 juta. Rekannya yang juga bekerja di bagian laboratorium, Sulistyowati, bergaji Rp 1 juta. Lulusan SMA ini sudah 11 tahun bekerja. Karyawan bagian laboatorium lainnya, Indrawati, bergaji Rp 1.300.000. “Gaji itu sudah termasuk uang transport,” kata perempuan yang bekerja sejak tahun 1997 itu.

Alindarisah, karyawan bagian laboratorium, bergaji Rp 1.250.000. Ia bekerja sejak tahun 2005. “Saya bersyukur, karena Campina  masih lancar berproduksi dan juga lancar membayar gaji karyawan,” ujar lulusan SMA ini.

Sumarno yang bekerja sebagai kurir sejak enam tahun lalu bergaji Rp 1 juta. Dia berharap perusahaannya panjang umur agar ia dapat terus mendapat nafkah dari situ. “Sekarang kan banyak pabrik yang bangkrut. Moga-moga Campina panjang umur,” tutur tamatan SMP ini.

Mujiono, sopir yang bertugas mengantar dan menjemput karyawan, sudah 17 tahun bekerja dan bergaji Rp 1.200.000. “Seperti karyawan-karyawan lainnya, saya juga berharap gaji naik,” ujar ayah dua anak ini.

Para karyawan Campina terdaftar sebagai peserta Jaminan Sosial Tenaga Kerja (Jamsostek) dan anggota Serikat Pekerja Seluruh Indonesia (SPSI). Mereka berkewajiban menyetorkan 2% dari gajinya untuk iuran Jamostek per bulan dan membayar iuran SPSI Rp 5 ribu per bulan.

Berbeda dengan karyawan PT Campina Es Krim Industri, nasib para buruh di pelabuhan Tanjung Perak sungguh memprihatinkan. Contohnya Husen dan Marhasyim, yang bekerja sebagai tukang sapu. Mereka karyawan PT Dinasti Jaya Mandiri, mitra kerja pelabuhan Tanjungperak. Husen yang bekerja sejak tahun 1971 bergaji Rp 350.000. Jam kerjanya mulai dari pukul 8  pagi hingga pukul 12 siang. Ia pernah bersalaman dengan Presiden SBY ketika Presiden akan menyeberang ke Madura beberapa waktu lalu. “Saya senang dan bangga dapat bersalaman dengan Presiden SBY,” katanya.

Nasib Marhasyim sedikit lebih baik ketimbang Husen. Marhasyim bergaji Rp 500.000 dengan jam kerja dari pukul 6 pagi hingga pukul 5 sore.

Buruh lainnya di Tanjungperak adalah Hadiq. Kuli angkut ini berstatus karyawan lepas PT Munir. Apabila mendapat pekerjaan mengangkut barang, Hadiq berkewajiban menyetor Rp 1.000 per hari kepada perusahaan yang menaunginya. “Saya tidak mendapat gaji. Saya mencari uang sendiri, dan kalau dapat pekerjaan mengangkut barang saya menyetor Rp 1.000 kepada mandor saya,” ungkapnya dengan logat Madura yang kental.

Di Sidoarjo, kota yang bertetangga dengan Surabaya, terdapat sejumlah perusahaan. Salah satu di antaranya adalah PT Maspion yang memproduksi peralatan rumah tangga. Perusahaan yang memiliki ribuan karyawan ini memberikan gaji antara Rp 850.000 – Rp 1,2 juta.

Seorang buruh Maspion, Hadi Sutikno, sudah 30 tahun bekerja. Karyawan bagian mesin ini bergaji Rp 850.000. “Saya ingin gaji naik,” kata ayah tiga anak ini.

Mujali, yang sudah 20 tahun bekerja di Maspion, bergaji Rp 960.000. “Kalau ada lemburan saya memperoleh Rp 1 juta per bulan,” tuturnya.

Karyawan Maspion lainnya, Supriati, bekerja sejak 19 tahun lalu. Dia bekerja di bagian peralatan yang mencetak kue. Gajinya Rp 1,2 juta.

Disnaker Surabaya Latih Lebih dari 8.500 Orang

Dinas Tenaga Kerja (Disnaker) Kota Surabaya melatih lebih dari 8.500 orang selama tahun anggaran 2009. Pelatihan yang diberikan berupa pelatihan berbasis kompetensi dan berbasis masyarakat. Tujuannya menyiapkan tenaga kerja siap pakai dengan memiliki keterampilan dan keahlian sesuai dengan kebutuhan pasar. Peserta pelatihan diharapkan dapat terserap oleh pasar kerja, sehingga mengurangi pengangguran yang mencapai 54.000 orang setahun.

Peserta pelatihan berbasis kompetensi berasal dari pencari kerja yang ingin meningkatkan keterampilan untuk memasuki pasar kerja. Mereka dilatih dalam bidang komputer hingga perhotelan. Sedangkan untuk pelatihan berbasis masyarakat diikuti oleh para ibu atau kelompok usaha kecil, yang ingin mengembangkan usaha mandiri. Mereka dilatih dalam bidang handycraft hingga salon.

Anggaran untuk pelatihan berbasis kompetensi dan berbasis masyarakat tahun 2009 sebesar Rp 12 miliar. Hal itu antara lain untuk mengantisipasi meningkatnya korban pemutusan hubungan kerja (PHK) industri, terutama sektor usaha yang mengandalkan ekspor. Hingga awal Maret 2009 jumlah korban PHK yang tercatat di Disnaker Kota Surabaya baru 54 orang.

Para buruh di Surabaya dan Sidoarjo menaruh perhatian besar pada politik. Mereka mendoakan Presiden SBY panjang umur, sehat, dan terpilih lagi menjadi presiden. Mereka berharap jika nanti SBY mendapat kesempatan memimpin Indonesia untuk kedua kalinya dapat meningkatkan kesejahteraan buruh.

Facebook Comments
Social Media Auto Publish Powered By : XYZScripts.com