Di museum Pertempuran Borodino, sedikit di luar Kota Moskow, sayup-sayup terdengar musik pembuka “Overture 1812”, karya komponis Rusia abad ke-19 Tchaikovsky. Kita tahu, di atas partitur perlahan Tchaikovsky membangun suasana melalui sepotong melodi: nada-nada awal yang rendah, berat, dimainkan berulang-ulang.
“Overture 1812” seperti lukisan romantik di atas kanvas. Di Borodino pada 1812, pasukan Rusia berhadap-hadapan dengan pasukan Prancis. Perang tak dapat dihindari; dua pasukan yang berhadap-hadapan itu segera berbenturan. Tchaikovsky menerjemahkan adegan demi adegan lewat nada-nada istimewa dalam musik itu. Ia memperlakukan karyanya layaknya sebuah rekonstruksi epos besar yang berakhir dengan kemenangan gemilang pasukan Rusia atas gempuran serdadu Napoleon.
“Overture 1812” adalah musik yang bergemuruh. Diawali dengan mukadimah yang lambat, lalu perlahan-lahan berkembang dengan perubahan-perubahan yang dramatis, dan diakhiri dengan ledakan-ledakan kanon dan lagu kebangsaan Rusia. Entah apakah karya ini pas menggambarkan kebangkitan Rusia di era 2000-an ini, yang terang itulah sebuah visualisasi musikal yang fantastis!
Moskow pada 2000-an, kejadian demi kejadian silih-berganti semenjak Revolusi Bolshevik 1917: Partai Komunis, kediktatoran proletar, Perang Dingin, glasnost (keterbukaan), perestroika (restrukturisasi), cita-cita masyarakat tanpa kelas yang kandas di tengah jalan, Vladimir Putin, dan ledakan kelas menengah Rusia yang membuat lalu lintas Moskow tak bisa bernapas.
Di sebuah titik di Moskow yang biasanya menjadi tempat orang makan es krim dan memandang Moskow dari ketinggian, tampaklah penampilan mereka. Mungkin lapisan teratas dari mereka. Menjalankan Chevrolet delapan pintu berwana silver lambat-lambat, di bawah terik matahari musim panas seraya memarkir kendaraan terbarunya di daerah yang bisa dilihat semua orang.
Di area parkir yang sama tampak pula sebuah Jaguar yang juga berwarna silver, Mercedes-Benz hitam, dan sebuah BMW abu-abu. Orang yang sinis biasa melontarkan komentar pendek, mereka pasti baru dari tempat penyewaan mobil. Bagaimanapun, yang terang sebuah pameran kemewahan berlangsung, dengan pesan jelas: aku salah seorang neuve richez. Rusia kini sebuah negeri sosialis yang toleran terhadap kaum borjuis.
Pada 1993 konstitusi menyatakan Rusia sebagai negara demokratris, berbentuk federasi dan mengikuti model pembagian wewenang ala Montesquieu: yudikatif, legislatif dan eksekutif. Gorbachev yang kala itu berkuasa memang telah mengubah peran konstitusional Partai Komunis, dan salah satu akbatnya: Uni Soviet bubar pada 26 Desember 1991. Manakala bekas Uni Soviet ini lantas menjadi federasi, partai komunis pun masih kuat: partai politik terbesar kedua setelah Partai Rusia Bersatu.
Sejak Vladimir Putin memimpin, ekonomi Rusia yang mengandalkan minyak sebagai ekspornya, mulai bangkit. Bersama itu bangkit pula harga diri dan rasa percaya dirinya sebagai satu bangsa tua.
***
Di Moskow, sepertinya tak ada yang menyerah dalam melawan waktu. Cinta, manusia, peristiwa, termasuk kemenangan besar pasukan Rusia atas Prancis di atas — semua jadi abadi melalui karya-karya seni.
Di Lorong Kosmonaut, ada monumen separuh badan Yuri Gagarin, seorang astronaut Rusia yang merupakan manusia pertama yang mampir ke ruang angkasa. Gagah, keningnya agak berkerut, kombinasi ketangguhan fisik dan sosok ilmuwan. Di Krasnoyarsk, di Mayakovsky Square, tampak monumen lain yang penampilannya lebih dramatis dan gagah. Ia penyair Vladimir Mayakovsky. Tubuhnya menjulang hampir dua meter; dengan rambut, dasi, dan kerah jasnya yang melambai ditiup angin.
Di Moskow ada belasan patung Lenin, juga patung penulis besar seperti Pushkin, Tolstoy, Maxim Gorky, Nikolai Gogol, Anton Chekov, dan Dostoyevsky. Ada keinginan untuk mengenang tokoh dan kejadian penting dulu di dalam kehidupan kontemporer kini. Kurang lebih sebagaimana Vladimir Putin mencoba mengingatkan keperkasaan Tentara Merah menaklukkan Berlin dalam pertempuran darat yang berat pada Perang Dunia II, April 1945. Sebuah ekspresi yang menantang dunia Barat sebelum invasi Rusia ke Ukraina.
Idrus Shahab, wartawan senior.
Facebook Comments