Dibanding Korupsi, Rakyatlah yang Diuntungkan oleh Revolusi Industri

Bagikan artikel ini

M Arief Pranoto, Research Associate Global Future Institute (GFI)

Tanggapan balik M. Arief Pranoto terhadap komentar pembaca atas artikel “Menggebuk Korupsi dengan Revolusi Industri”: Terima kasih atas semua komentar-komentarnya, mantap dan mencerahkan. Untuk Pak Mohamad Khusnan dan Mbak Dina Y. Sulaeman begitulah, sepakat! Bangsa ini “dilumpuhkan” dari sisi internal oleh skema asing yang menancap kuat secara sistematis melalui UUD (yang telah diubah) hingga 72-an UU dirambah oleh kepentingan asing.

Selain membuat negeri ini TIDAK MANDIRI, juga karena utang, utang dan utang yang terus menggunung. Hasil kajian Global Future Institute (GFI), Jakarta dalam diskusi “Hikmah Revolusi Iran bagi Indonesia”, Iran dianggap sebagai “model” yang sukses dalam soal kemandirian. Ada learning point yang bisa ditarik dari diskusi di GFI dulu.

Pertama, kuatnya independensi kepemimpin bangsa. Kedua, tercipta dukungan mengakar masyarakat terhadap pemimpinnya, dan ketiga, ketahanan budaya suatu bangsa. Retorikanya, bandingkan atau adakah ketiga aspek tadi di republik tercinta ini?

Kemudian masih atas rekomendasi GFI di atas, memang mutlak harus ada (1) keberanian untuk kembali kepada local wisdom bangsa yang berbasis agama (Ketuhanan YME).  D isini tersirat perlu perubahan total dari sistem (reformasi) yang kini cenderung menjauh dari nilai leluhur, dan (2) perlu sosok “Satrio Paningit” yang siap maju. Tanpa keduanya, barangkali gejolak yang telah banyak memakan korban tak ubahnya hanya “hura-hura politik” belaka.

Memahami artikel saya di atas, sebenarnya sederhana saja — yah, sambil menunggu saatnya tiba —entah kapan— ketika debut korupsi begitu mendarah daging pada bangsa ini, bahkan ada yang menganggapnya budaya, kenapa tidak sekalian muncul revolusi industri? Sama-sama negara terkapar! Tapi dibanding korupsi, dalam revolusi industri rakyat yang jelas diuntungkan. Untuk Mas Agus Muslih untuk pertanyaan ada nggak revolusi yang cuma di awal saja yang hancur-hancuran? Nah, itu bisa ditiru Iran, Venezuela, Cuba dan lain-lain. Kalau soal Iran, silahkan mbak Dina Y. Sulaeman yang memaparkan. Tapi sebenarnya telah jelas pada artikelnya “Mencari Manusia Setengah Dewa” di web GFI. Kalau masalah Hugo Chaves dkk mungkin Mas Hendrajit nich pakarnya! Monggo mas, mbak heheheheh ..

Inti lain dari revolusi industri adalah, dari sudut ekonomi, bahwa pemimpin bangsa kedepan ialah sosok yg mampu menjadikan Indonesia sebagai “negara produsen”, bukan bangsa pengimpor seperti saat ini. Jika mampu memproduksi sebagian besar kebutuhannya, maka berapa saja nilai dollar US tidak bakal berpengaruh. Pak Prof Mubyarto memberi contoh, biar pun dolar tembus Rp 16 ribu apabila beras di satu daerah harganya sekitar Rp 3000 per liter. No problem. Persoalan muncul ketika pemerintah kini dikelilingi para “Mafia Berkeley”.

Mafia Berkeley adalah julukan yang diberikan kepada sekolompok menteri bidang ekonomi dan keuangan yang menentukan kebijakan ekonomi Indonesia pada masa awal pemerintahan Presiden Suharto. Mereka disebut mafia karena pemikiranya dianggap sebagai bagian dari rencana CIA untuk membuat Indonesia sebagai boneka Amerika oleh seorang penulis muda Amerika Serikat David Ransom.

Itulah “Berkeley Mafia” atau Mafia Berkeley pertama kali dicetuskan oleh seorang aktivis-penulis ‘kiri’ AS, David Ransom, dalam sebuah majalah bernama Ramparts, edisi 4 tahun 1970. Istilah ini merujuk pada ekonom-ekonom Indonesia lulusan University of California, Berkeley yang menjadi arsitek utama perekonomian Indonesia di tahun 1960-an. Ramparts adalah sebuah majalah yang awalnya terbit sebagai media literatur kelompok Katolik, tetapi belakangan menjadi media kelompok ‘kiri baru.’ Majalah ini sudah berhenti terbit tahun 1975. Dalam artikel tersebut Ransom menghubungkan Mafia Berkeley dengan proyek AS (terutama CIA) untuk menggulingkan Soekarno, melenyapkan pengaruh komunis di Indonesia, mendudukan Soeharto di kekuasaan untuk menjalankan kebijakan politik dan ekonomi yang berorientasi pada Barat, hingga mengaitkan Widjojo dkk. dengan pembantaian massal eks PKI di akhir tahun 1960-an(David Ransom. “The Berkeley Mafia and the Indonesian Massacre”. Ramparts, Oktober 1970. Hal. 27-28, 40-49).

Facebook Comments
Social Media Auto Publish Powered By : XYZScripts.com