Penulis: Hendrajit, Direktur Eksekutif Global Future Institute (GFI)
Dua bulan menjelang pemilihan umum legislative April 2014, pertarungan antar faksi dalam memunculkan para calon presiden melalui partai politik nampaknya semakin memanas. Hingga kini, baru Prabowo Subianto yang bisa dipastikan akan maju dalam pemilihan presiden Juni mendatang melalui Partai Gerindra (Gerakan Indonesia Raya). Bahkan Aburizal Bakrie pun, meskipun menduduki jabatan sebagai Ketua Umum Partai Golkar, namun dinamika internal partai berlambang Beringin tersebut masih sulit diprediksi karena sewaktu-waktu bisa saja memunculkan sosok lain yang dipandang lebih berpeluang untuk berhasil dalam pencapresan mendatang.
Sementara Hatta Rajasa, Ketua Umum Partai Amanat Nasional (PAN), meskipun secara resmi dan definitive sudah menyatakan diri mencalonkan diri sebagai presiden dengan dukungan partainya, namun agenda strategis yang sesungguhnya adalah untuk menjadi wakil presiden mendampingi calon presiden yang dipandang memiliki elaktibilitas yang tinggi di mata masyarakat pemilih dan sejalan dengan program politiknya.
Meskipun demikian, peluang Prabowo untuk berhasil jadi calon presiden sangat tergantung pada koalisi yang dia bangun dengan partai-partai lainnya. Meskipun Gerindra diperkirakan akan meningkat prosentase perolehan suaranya pada Pemilu legislatif 2014, namun mengingat tiga besar partai pemenang pemilu diprediksi hanya akan mampu memperoleh antara 20 hingga 22 persen suara, rasa-rasanya sulit bagi Prabowo jika sedari awal tidak menjalin aliansi strategis dengan partai-partai papan tengah seperti Partai Amanat Nasional (PAN), Partai Keadilan Sejahtera (PKS), Partai Persatuan Pembangunan (PPP) maupun Partai Kebangkitan Bangsa (PKB).
Berdasarkan observasi GFI maupun keterangan dari beberapa sumber yang dekat dengan Hatta Rajasa, Ketua Umum PAN tersebut punya dua opsi: Menjadi wakil presiden mendampingi Jokowi yang tentunya didasari keyakinan elaktibilitas Gubernur DKI Jakarta ini cukup tinggi, dan kedua adalah Prabowo Subianto.
Terkait kepastiannya untuk mengajak Jokowi berduet dalam pemilihan presiden, Hatta Rajasa dan tim suksesnya masih diliputi tanda-tanya besar, mengingat kenyataan bahwa hingga kini Megawati sebagai Ketua Umum Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan(PDIP) dan satu-satunya penentu keputusan siapa yang akan diusung oleh PDIP sebagai calon presiden, sama sekali belum memberikan tanda-tanda akan mendukung pencalonan Jokowi sebagai presiden melalui PDIP.
Sementara itu, dari kubu Prabowo nampaknya ada keinginan kuat untuk menciptakan prakondisi menuju aliansi strategis Gerindra-PAN dengan menduetkan Prabowo-Hatta dalam pemilihan presiden.
Namun, kedua opsi tersebut masih sulit diwujudkan saat ini, karena sejatinya ada pertarungan di balik layar antar berbagai kekuatan konglomerasi dengan melibatkan beberapa faksi TNI di dalamnya.
Kuatnya Pengaruh FAKSI AKABRI 1970 Pada Pemilu Presiden 2014
Beberapa faksi TNI yang berkeberatan terhadap pencalonan Prabowo umumnya dimotori oleh beberapa jenderal lulusan Akademi Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (AKABRI) 1970 yang derivasinya (turunannya) terdapat di beberapa jenderal AKABRI 1972, sebagian 1973 dan 1974.
Sekadar informasi, Prabowo meskipun tercatat sebagai lulusan AKABRI 1974, namun secara faksional putra ekonom Soemitro Djojohadikusumo tersebut berada dalam orbit AKABRI 1973 yang mana SBY termasuk di dalamnya, karena dia tidak naik kelas setahun. Mantan KSAD Ryamizard Ryacudu misalnya, meskipun lulusan AKABRI 1973 bersama SBY, namun secara faksional berada dalam orbit faksi AKABRI 1972 karena dia seharusnya lulus pada 1972.
Dengan demikian meskipun secara hirarki dan mata-rantai komando, SBY sebagai presiden dan panglima tertinggi TNI menguasai penuh garis komando di TNI, namun faksi-faksi di TNI dengan aspirasi yang berbeda, tetap memainkan peranan penting terkait dengan siapa jenderal purnawirawan yang kiranya tepat dan representatif untuk dimunculkan sebagai calon presiden.
Pada tataran ini, aneka kepentingan yang melekat dengan para jenderal dari berbagai faksi tersebut, pada perkembangannya akan mendorong para jenderal purnawirawan TNI tersebut melakukan manuver politik dari balik layar.
Dari faksi AKABRI 1970 yang secara nyata ikut bermain dalam manuver politik pemilu 2014 adalah Luhut Panjaitan, Subagyo HS (mantan KSAD), Johny Josephus Lumintang, Fachrur Razi, Tyasno Sudarto (mantan KSAD), dan Agus Widjoyo (mantan Kepala Staf Teritorial TNI). Sedangkan dari Angkatan Laut adalah Bernard Kent Sondakh. Namun secara politis, faksi AKABRI 1970 dari angkatan darat inilah yang harus diperhitungkan.
Sedemikian rupa pengaruhnya sebagai faksi TNI, pada 2 Oktober 2012 lalu alumni AMN 1970 meluncurkan buku menceritakan pengalaman Taruna Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (AKABRI) 1970. Akabri angkatan 1970 merupakan angkatan pertama dimana pendidikan taruna angkatan darat, udara dan laut serta kepolisian disatukan. Tak heran jika para alumni AKABRI 1970, khususnya dari matra darat, merasa sangat superior dan mendominasi.
Presiden SBY pun sangat memperhitungkan kekuatan dan pengaruh alumni AKABRI 1970 tersebut sehingga meluangkan waktu untuk hadir pada peluncuran buku yang berlangsung di Balai Kartini, Gatot Subroto-Jakarta tersebut.
Indikasi bahwa alumni AKABRI 1970 tersebut sejak setahun lalu telah melakukan manuver politik sebagai kelompok penekan terbukti ketika pada 13 Maret 2013 lalu, secara khusus menemui Presiden SBY. Di antara 7 jenderal yang menghadap SBY dari Alumni AKABRI 1970 dimotori oleh Luhut Panjaitan, Subagyo HS, Johny Lumintang, Fahrul Rozi dan Agus Wijoyo.
Dari AKABRI 1970 yang bisa dikategorikan pro SBY dalam pertemuan tersebut hanya Agus Wijoyo. Selebihnya merupakan faksi secara aspiratif sebenarnya tidak mendukung garis politik SBY sejak awal. Terbukti bahwa begitu SBY jadi presiden, maka dengan serta merta membatalkan surat pengangkatan Ryamizard Ryacudu sebagai Panglima TNI yang sudah ditandatangani oleh Megawati ketika masih dalam kapasitas sebagai presiden.
Tergusurnya Ryamizard sebagai Panglima TNI, maka terputuslah pengaruh dan rentang kendali kubu AKABRI 1970 terhadap Markas Besar TNI Cilangkap maupun markas besar Angkatan Darat karena saat itu KSAD dipegang oleh Joko Santoso yang notabene berasal dari AKABRI 1975 yang secara faksional satu kubu dengan faksi TNI SBY.
Pada saat yang sama, seiring dengan meroketnya karir militer Pramono Edi Wibowo sebagai Komandan Jenderal Kopassus maupun sebagai Panglima Kostrad, praktis hirarki dan rentang kendali komando angkatan darat praktis berada dalam kekuasaan AKABRI 1973 dan para junior-juniornya yang berada dalam satu faksi.
Begitupun, pengaruh faksi AKABRI 1970 dengan derivasinya ke kalangan 1972 hingga ke alumni 1980 dan 1982 yang tentunya masih tergolong perwira militer aktif, nampaknya masih cukup berpengaruh dalam mewarnai aspirasi politik di Mabes TNI Cilangkap.
Begitulah yang tersurat melalui kekhawatiran salah seorang sumber yang cukup dekat dengan trah keluarga besar Soemitro Djojohadikusumo terkait adanya resistensi terhadap pencalonan Prabowo sebagai presiden pada Pilpres 2014.
Sedangkan dari faksi militer AKABRI 1973 yang mana Prabowo sesungguhnya termasuk dalam faksi tersebut bersama SBY, sebenarnya cukup mendukung pencalonan Prabowo meskipun pada pemilu 2009 lalu SBY dan Prabowo harus berhadapan karena Prabowo berduet dengan Megawati.
Megawati Penyeimbang Kubu Cilangkap dan Cikeas
Di tengah stagnasi dan jalan buntu terkait pencalonan figure TNI yang pas dan representatif, Megawati nampaknya merupakan pemain kunci yang cukup penting saat ini. Megawati memang tidak terlalu dekat dengan faksi AKABRI 1970 mengingat kenyataan bahwa beberapa sosok 1970 tersebut di atas saat itu merupakan para jenderal yang sangat dekat dengan mantan Presiden Suharto.
Namun untuk membangun komunikasi politik, Mega bisa mengandalkan mantan Panglima Kodam Jaya Hendropriyono dan mantan Komandan Jenderal Kopassus Agum Gumelar. Masing masing merupakan AMN 1967 dan 1968. Yang sejatinya merupakan senior-senior AKABRI 1970. Namun, kedekatan Mega terhadap Hendropriyono dan Gumelar karena saat itu mereka sebagai kubu TNI yang pro Benny Murdani merapat kepada Mega dan PDIP untuk melawan Suharto. Dengan harapan, Mega bisa dijadikan kuda troya kubu Benny dan faksi TNI-nya yang merapat ke PDIP.
Namun kerusuhan Mei 1998 yang bermuara pada kejatuhan Suharto, kubu Benny dan faksi TNI-nya yang salah satu satelit politiknya adalah faksi AKABRI 1970, tidak berhasil menjalankan skenarionya sesuai rencana, karena Ginandjar Kartasasmita berinisiatif menarik mundur 14 menteri termasuk dirinya dari pemerintahan Suharto, dan menyeberang ke kubu Wakil Presiden Habibie, dan mendukung putra kelahiran Bugis tersebut sebagai presiden menggantikan Suharto sebagai presiden transisi menuju Pemilu Juni 1999.
Beralihnya kekuasaan pasca Suharto ke Habibie dan Ginandjar Kartasasmita dengan merangkul Wiranto dengan tetap menjadikan dirinya sebagai Panglima TNI, membawa implikasi disingkirkannya Prabowo dari konstalasi politik TNI sejak 1998. Dengan dalih bahwa Prabowo terlibat dalam penculikan para aktivis politik menjelang Sidang Umum MPR 1998 dan kerusuhan Mei 1998 yang dikembangkan opini bahwa dirinya terlibat dalam politik pembiaran sehingga terjadilah kerusuhan berdarah Mei 1998.
Bersambung ke bag II