Singapore Air Show 2014

Bagikan artikel ini

Toni Sudibyo, peneliti Fordial, Jakarta dan alumnus pasca sarjana Kajian Strategik Intelijen (KSI), UI. Tinggal di Pandeglang, Banten

Singapore Air Show adalah sebuah event yang pasti menarik bagi para produsen pesawat tempur yang sesuai dengan perang masa depan untuk menawarkan produknya. Demikian negara-negara yang selalu terancam perang. Di Indonesia ada aliran, meskipun AS sering kurang ajar, namun afiliasi sistem persenjataan sebaiknya ke AS saja. Masalahnya sebagai super power riset teknologi di AS menempati urgensi tinggi. AS tidak akan pernah ketinggalan dari negara maju manapun.  Secara strategis kita tidak akan pernah perang dengan AS, paling bertengkar.

Secara teknis budaya militer Indonesia yang  language communication and style adalah ke Barat yang berbahasa Inggris, lebih baik orientasi persenjataan TNI ke AS saja. AS jelas super power, yang secara ideologis tidak akan berperang mungkin sekedar saling memaki-maki. Secara teknologis sangat mudah bagi para pengguna alut sista mulai montir sampai pilot memahami, menguasai dan menggunakan produk teknologinya. Misalnya beli Mirage, Tornado, atau Sukhoi, semuanya latar belakang budayanya tidak akrab dengan Indonesia.

Jadi itu  sekitar 100 perwira tinggi TNI AU yang mau lihat Airshow di Singapore karena insiden KRI Harun Usman batal tidak jadi pergi, tidak usah kecewa. Ke Singapore paling ya  cuma menambah referensi akademik saja, sebaiknya kita sudah punya konsep pesawat yang mau kita beli tanpa perlu lihat-lihat air show. Bappenas bersama Kementerian Pertahanan dan Kementerian Riset dan Teknologi harus segera mempunyai konsep sistem pertahanan dan alat pertahanan apa yang perlu dimiliki, sehingga dirancang pengadaannya. Jangan asal ada Air Sohw atau Defense Show baru mikir.

Singapore Air Show pasti hanya menawarkan pesawat-pesawat strategis. Memang kita perlukan untuk mendukung konsep pertahanan strategis RI. Tetapi yang juga kita perlukan sebenarnya adalah pesawat-pesawat tempur  tingkat taktis, karena masalah aktual kita adalah insurjensi dalam negari, seperti kelompok bersenjata di Papua, yang terus berhasil menembaki TNI, tetapi TNI-nya tidak bisa mengejar, karena para kelompok bersenjata tersebut lari masuk hutan.

Kementerian Pertahanan sebaiknya segera saja bisa merealisir rencana pembelian pesawat helikopter jenis  Heli Serbu Apache, karena pesawat strategis apa yang ada dipasaran sudah jelas barangnya dan siapa yang menjual. Dari sisi budget perlu diingat hutang luar negeri sudah sekitar Rp 3000 Triliun, segala belanja alut sista yang mahal-mahal perlu disesuaikan betul dengan berbagai perkembangan strategis ke depan.

Rumuskan Secara Benar, Ancaman Ke Depan Itu Apa Saja

Nicholas Spykman mengatakan, geopolitics is the planning of state security in terms of geographic factors. Dari pendapat Spykman ini kita dapat mengetahui bahwa perencana nasional yang baik, adalah mereka yang memahami dan mengetahui betul bagaimana geopolitik dari bangsanya, karena berdasarkan pemahaman yang benar terhadap geopolitik tersebut, maka mereka dapat merumuskan geostrategi yang tepat dalam rangka menangkal setiap ancaman.

Sementara itu, dalam teori Bertil Haggman disebutkan bahwa geostrategi dikenal sebagai konsep yang sangat dekat dengan geopolitik. Geostraegi adalah penerapan dari geopolitik untuk perencanaan militer tingkat tinggi bertujuan dengan cara terbaik bagaimana mempergunakan pertahanan nasional dan sumber-sumber untuk penyelenggara perang.

Sedangkan, dalam kamus Webster (1966) menyebutkan geostrategi merupakan cabang dari geopolitik yang berhubungan dengan strategi merupakan kombinasi dari faktor-faktor geopolitik dan strategi yang bercirikan wilayah tertentu atau penggunaan strategi oleh pemerintah yang didasarkan atas geopolitik.

Lim Jo Jock dalam “Geostrategy and the South China Sea Basin“, Singapore, 1979 mengatakan, sejumlah faktor-faktor geografik berinteraksi untuk mempengaruhi atau memberikan keuntungan terhadap pihak  lawan atau menghalangi (intervene) untuk modifikasi baik perencanaan strategik maupun tindakan politik atau militer yang membahayakan (venture)”.

Diakui atau tidak, perkembangan geopolitik saat ini ditandai dengan fenomena China berusaha untuk mengejar atau memodernisasi persenjataannya untuk mendapatkan dan mempertegas kembali peran geopolitik mereka di kawasan Asia, Jepang bertujuan untuk mengatasi berbagai pembatasan (limitations) yang diatur dalam konstitusi dan doktrin Yoshida, Korea Selatan berusaha mengimbangi krisis-krisis potensial masa depan yang berasal dari persaingan antar negara-negara kuat, sedangkan Taiwan selalu bersiaga menghadapi China.

Untuk alasan perkembangan geopolitik tersebut, penguatan angkatan udara dan angkatan laut yang dikombinasikan atau dilengkapi dengan senjata, rudal balistik dan rudal jelajah (cruise missiles) dan angkasa luar menjadi pilihan berbagai negara untuk menjaga kekuasaan regionalnya untuk mengatasi “tirani geografi (tyranny of geography) atau jebakan tradisional geopolitik (the traditional geopolitical entrapment).

China adalah contoh negara yang tidak main-main dalam merumuskan seluruh kebijakan nasionalnya, bahkan pada 2030 China sudah merumuskan sebagai negara paling kuat di dunia. Melalui China’s PLA Air Force (PLAAF), China telah membuat kemajuan yang signifikan dalam prioritas strategi, struktur kekuatan dan konsep-konsep operasional. PLAAF juga telah mengganti beberapa pesawat tempur buatan Soviet pada era 1950-an seperti pesawat pembom J-6 dan J-7s, dan menggantikannya dengan lebih dari 400 pesawat generasi fighters seperti J-10, dan varian J-11. China secara domestik juga memproduksi sistem peringatan dan pengawasan serangan pesawat udara melalui KJ-2000 dan mengoperasional generasi terbaru sistem pertahanan udara jarak jauh HQ-9. China juga mempercepat industri pertahanan udaranya dengan membuat pesawat multi angkut (J-15), pesawat generasi kelima J-20 dan J-31 berjenis stealth fighters, pesawat angkut berat (Y-20) dan berbagai penemuan lainnya dalam rangka mendukung keunggulan udara China pada 2030.

Selain mengupgrade, pesawat generasi ketiga dan keempat, Aviation Industries of China (AVIC) juga memfokuskan pembuatan pesawat generasi kelima seperti indigenous stealth fighters (J-20 and J-31), pesawat transportasi strategis (Y-20). AVIC merupakan salah satu BUMN raksasa di China terdiri dari 10 unit bisnis utama yang membawahi 200 bagian dan 33 institusi penelitian dan pengembangan (litbang) dan mempekerjakan 450.000 orang. Dalam bidang pembuatan pesawat terbang, ada lima kontraktor utama yang tergabung dalam AVIC yaitu Chengdu Aircraft Industry Corporation, Shenyang Aircraft Corporation, Hongdu Aviation Industry Group, Xi’an Aircraft Company, and Changhe/Hafei Aviation. Pada 1 Januari 2014, AVIC mengeluarkan siaran pers bahwa keuntungan mereka selama 2013 sebesar US $ 58 miliar yang meningkatkan 16% dibandingkan keuntungan tahun 2012 serta nilai total aset AVIC sebesar US $ 80 miliar.

AS pun menyadari betapa hebatnya China. Dalam laporan Dewan Intelijen Nasional AS (NIC) berjudul Global Trends 2025 : A Transformed World, memprediksikan AS akan mendapati Cina, Rusia dan India sebagai kekuatan baru yang mematahkan dominasi unipolarnya dan menjadi kekuatan multipolar yang berpengaruh, artinya dominasi kekuatan ekonomi, politik, dan militer AS akan merosot tajam pada 2025. Sejumlah negara di Asia Selatan dan Afrika berpotensi ambruk, jika mereka tidak berhasil menangani konflik. Dunia dalam waktu dekat akan menjadi subyek bagi meningkatnya konflik terkait sumber-sumber makanan dan air dan akan dibayang-bayangi oleh rogue state dan kelompok teroris yang mempunyai akses lebih besar terhadap senjata nuklir.

AS sendiri juga sudah melihat perkembangan geopolitik ke depan. Menurut Barry Rosen dalam “Foreign Policy after George W Bush: The Case for Restraint”, The American Interest (2004)” mengatakan, setidaknya empat faktor utama yang  mendorong AS untuk mengembangkan dominasi dan hegemoni di era pasca perang dingin yaitu: pertama, unipolaritas (kekuatan tunggal) yang dimiliki AS. Kedua, politik identitas sebagai sumber utama konflik-konflik internasional. Ketiga, penyebaran kemampuan militer kepada aktor di luar negara. Keempat, fenomena globalisasi yang memungkinkan kapitalisme menjadi satu-satunya kekuatan penentu ekonomi dunia.

Terus pertanyaan kita, kalau Indonesia bagaimana ? Harus sudah ada jawaban atas pertanyaan strategis ini yaitu akan adakah ancaman strategis terhadap RI dalam jangka waktu sepuluh tahun sampai tahun 2030? Apakah Indonesia menjadi welfare state ataukah failed state ? Ciri-ciri negara gagal bacalah dalam When States Fail : Causes and Consequences (ed Robert I Rotberg, 2003) : negara gagal adalah negara yang tidak mampu memberi kebajikan umum (public good) kepada warga, khususnya keamanan atas harta benda dan jiwa.

Jika kita tidak mau menjadi failed state, maka bersatulah kita dan sukseskan Pemilu 2014 mendatang. Jadilah pemilih yang cerdas. Pilihlah pemimpin nasional yang dapat mengantisipasi perkembangan geopolitik di era abad Asia.

 

Facebook Comments
Social Media Auto Publish Powered By : XYZScripts.com