Dinamika Politik Glamour

Bagikan artikel ini

M Arief Pranoto, Direktur Program Studi Geopolitik dan Kawasan Global Future Institute (GFI)

Dari berbagai pengamatan, penelitian, komtemplasi ataupun diskusi-diskusi yang saya ikuti di banyak lapisan soal (geo) politik, mengerucut pada satu hipotesa bahwa akar permasalahan bangsa ini ada di hulu, yaitu di sistem negara itu sendiri. Ya. Problem utama bangsa ini justru melekat pada konstitusi kita. Amandemen UUD 1945 sebanyak empat kali adalah “pintu masuk”-nya. Kenapa? Karena dari “pintu” tersebut lahirlah berbagai aturan (UU) —ada yang bilang 72 UU, bahkan ada mengatakan 115 UU— tidak lagi pro kepada Kepentingan Nasional RI.

UUD 2002 —sebutan lain UUD 1945 hasil amandemen— dibuat tak nyambung antara pembukaan, isi, dan lain-lain serta cenderung pro asing karena membawa kekayaan bangsa ini lari ke luar. Itu baru satu sisi. Sedang sisi lainnya, bahwa dinamika serta kegaduhan para elit politik dan berbagai elemen masyarakat yang menghabiskan banyak energi bangsa, ternyata cuma permasalahan hilir semata. Justru persoalan yang hanya merupakan akibat atau imbas, atau residu, derivat, dan lain-lain dari akar permasalahan (sistem) di atas tadi. Jadi, seperti ada dinamika yang tidak nyambung antara upaya (dinamika) dengan harapan. Itulah mungkin yang disebut politik glamour. Tampak megah lagi mewah di atas permukaan tetapi tidak menyentuh Kepentingan Nasional RI. Maraknya korupsi contohnya, itu diciptakan dan/atau akarnya adalah sistem. Sistem yang bagaimana? Secara formal adalah pola one man one vote dalam pemilihan umum baik pilkades, pilkada maupun pilpres, yang meniscayakan biaya tinggi pelaksanaannya, atau multipartai yang penuh mahar, otonomi daerah yang menciptakan “raja-raja kecil”, dan lainnya. Dengan demikian, adanya LSM antikorupsi dan/atau KPK itu sendiri malah kian menggaduhkan dinamika hilir.

Juga secara materiil, ada kelaziman-kelaziman dalam dunia usaha bahkan budaya di masyarakat, tiba-tiba diformilkan pada UU. Kelaziman fee di dunia bisnis misalnya kini dianggap korupsi. Rasa hormat dan terimakasih guna menjalin silahturahmi kini dijadikan pasal gratifikasi. Siapa kepala daerah yang tak terima fee dari proyek-proyek? Bagaimana dia membiayai konstituen dan mengembalikan modal kampanyenya? Itulah sekilas tentang sistem konstitusi kita yang sejatinya embrio dari korupsi itu sendiri, dan masih banyak lagi. Seribu KPK pun tak akan mampu menyelesaikan korupsi di Indonesia, karena hanya menebas ranting-rantingnya, sementara pokoknya tetap bercokol. Pertanyaan selidik muncul, “Apakah ini seting asing agar bangsa ini senantiasa gaduh di hilir, sedangkan masalah hulu yakni penguasaan (monopoli) ekonomi dan SDA oleh segelintir elit dan swasta asing semakin kuat tertancap?”

Pilkada serentak 2018 dan pilpres 2019 di depan mata, namun percayalah jika Indonesia tetap menggunakan sistem reformasi —hasil amandemen UUD 1945 dan turunannya— kita diibaratkan membangun rumah di tepi jurang sementara di sekeliling adalah tumpukan jerami kering, tinggal didorong atau dipercik api, maka habislah kita. Ludes. Kecuali para pemenang kelak baik pilkada maupun pilpres nantinya (sepakat) berani mengembalikan UUD 1945 ke ujud aslinya, dengan sedikit perubahan sesuai tuntutan zaman. Mungkin persoalan bangsa ini bisa diurai. Lalu, bagaimana dengan puluhan bahkan ratusan UU pro asing? Ya. Setiap UU mutlak wajib di-Perppu-kan agar kembali pro Kepentingan Nasional RI sambil menunggu revisi UU-nya.

Memang, jika pencapaian tujuan (negara) dalam masa perang melalui intelijen atau militer, sedang pencapaian tujuan di masa damai adalah dengan jalan politik. Nah, pilkada dan pilpres adalah jalan yang mutlak harus dilalui bangsa ini kedepan guna mencapai masyarakata adil dan makmur karena kita tidak dalam masa peperangan (Meski banyak asumsi mengatakan bahwa kita sekarang sedang dalam kancah peperangan asimetris).

Facebook Comments
Social Media Auto Publish Powered By : XYZScripts.com