Betapa pentingnya olahraga bebas dari politik semakin mendesak mengingat semakin menajamnya persaingan global antara AS versus Cina, apalagi dengan ketegangan antara AS versus Rusia menyusul aksi militer terbatas Rusia terhadap Ukraina.
Terkait menajamnya persaingan global AS versus Cina, terlihat jelas ketika pemerintah Amerika Serikat melancarkan boikot terhadap Olimpiade Musim Dingin di Beijing Februari 2022 lalu. Yang mana AS menggunakan dalih adanya pelanggaran hak-hak asasi manusia terhadap etnis Muslim di Xinjiang. Padahal badan pengatur olimpiade dunia (IOC), secara tegas menyerukan dihentikannya campurtangan politik di dunia olahraga.
Kalau pemerintah dan kongres AS saja dengan sewenang-wenang mendesak agar Olimpiade Musim Dingin agar dipindahkan dari Beijing ke negara lain, sangat masuk akal jika pemerintah AS pun bisa melancarkan politisasi dalam bidang olahraga melalui kebijakan doping.
Seperti kita ketahui, Indonesia sempat pernah dapat pengalaman pahit ketika berhasil menjadi juara bulutangkis dunia Thomas Cup pada 17 Oktober 2021, namun tidak bisa mengibarkan bendera merah putih, karena masih menjalani sanksi dari Organisasi Anti-Doping Dunia (World Anti-Doping Agency -WADA).
Berdasarkan pengalaman pahit Indonesia tersebut, kiranya cukup beralasan untuk menduga adanya politisasi negara-negara adikuasa seperti AS, untuk memainkan masalah Doping untuk mengucilkan negara-negara yang dipandang tidak bersahabat oleh pemerintah AS, untuk mengenakan sanksi penggunaan doping kepada para atlet atau olahragawan yang berasal dari negara-negara yang dianggap musuh oleh AS.
Karena dalam kasus atlet Indonesia, muncul keraguan apakah tes doping tersebut dilakukan secara obyektif. Seperti misalnya, saat atlet Indonesia, WADA menilai Indonesia tidak mematuhi program test doping plan (TDP). Pertanyaannya, seberapa obyektif tolok ukur yang digunakan sebagai penilaian WADA bahwa Indonesia telah melanggar TDP?
Sebab tanpa acuan dan tolok-ukur yang jelas sebagai dasar penilaian bahwa seorang atlet telah melanggar TDP atau tidak, pada perkembangannya bisa digunakan sebagai alat politik untuk mencegah atlet suatu negara ikutserta dalam pertandingan olahraga bertaraf dunia seperti Olimpiade atau Asian Games.
Jika merujuk pada pengertian dari istilah doping, doping adalah zat terlarang yang dikonsumsi oleh atlet untuk meningkatkan performanya. Dokter Spesialis Kedokteran Olahraga dr. Michael Triangto, Sp.KO mengatakan bahwa doping merupakan segala sesuatu baik zat maupun metode yang dengan sengaja dapat meningkatkan prestasi, namun tidak melalui proses pelatihan.
Dengan kata lain, kata kunci di sini adanya unsur kesengajaan dari atlet untuk menggunakan doping atau Performance Enhancing Drugs (PED) yaitu jenis obat-obatan yang digunakan oleh atlet untuk meningkatkan kinerja atletik mereka dalam olahraga kompetitif.
Melalui kerangka acuan dan tolok-ukur tersebut di atas, kebijakan WADA untuk mengenakan sanksi terhadap para atlet suatu negara dengan dalih telah menggunakan PED atau doping, sama sekali tidak didasarkan pada penilaian dan keputusan yang obyektif. Sehingga doping sangat rawan untuk dijadikan alat politik menyingkirkan para atlet dari negara yang dipandang AS sebagai musuh atau negara yang tidak bersahabat.
Maka itu sangat tepat ketika Indonesia pada 2017 lalu sempat mengusulkan agar WADA lebih pro aktif dalam berkomunikasi komunikasi sehingga tidak langsung menjatuhkan sanksi pada anggota yang terindikasi telah menggunakan doping. Tersirat dari usulan Indonesia saat itu, terkandung keraguan atas obyektivitas dari hasil tes doping yang dilakukan WADA.
Mendesak agar politik tidak mempengaruhi olahraga, kiranya sangat penting bagi Indonesia dan juga negara-negara lain di kawasan Asia Tenggara, apalagi pada July 2022 mendatang, Indonesia akan bertindak sebagai tuan rumah ASEAN Paralympics Games di kota Solo, Jawa Tengah.
Berbicara tentang ASEAN Paralympics Games, bagi Indonesia hal ini sangat penting, karena bukan tidak mungkin bakal dipolitisasi seperti yang sedang ditujukan kepada Rusia saat ini. Misalnya dengan adanya poran Richard McLaren, profesor hukum asal Kanada, kepada Badan Agensi Anti-Doping Dunia (WADA) bahwa pemerintahan Rusia beserta otoritas olahraga berkolusi menyembunyikan penyebaran penggunaan doping di Olimpiade Musim Dingin 2014 lalu. Sehingga dengan merujuk pada laporan tersebut, tuntutan seluruh atlet Rusia dikenakan sanksi tak boleh bermain di Olimpiade 2016. Jika benar indikasi ini, maka sulit untuk membantah adanya campur-tangan politik dalam olahraga di balik laporan McLaren tersebut.
Inti masalah dari masalah ini adalah, obyektivitas dan tolok-ukur penilaian bahwa seorang atlet telah menggunakan doping yang diterapkan WADA sangat diragukan.
Lebih parahnya lagi, ada rencana bahwa AS akan berusaha mereformasi International Anti-Doping System yang ditujukan untuk melindungi para atlet negaranya terhindar dari sanksi hukum akibat melanggar peraturan-peraturan WADA.
Yang lebih mengkuatirkan lagi, kalau merujuk pada berita yang dilansir kantor berita Antara 8 Oktober 2021, Indonesia bersama Korea Utara dan Thailand dinyatakan tidak patuh oleh WADA, sehingga ketiga negara tersebut tidak dianggap memenuhi syarat untuk diberi hak sebagai tuan rumah kejuaraan tingkat regional, kontinental dan dunia, selama masih dalam masa menjalani sanksi dari WADA.
Pertanyaan menggelitik dari berita tersebut adalah, mengapa Korea Utara dan Rusia selalu diberitakan secara meluas oleh berbagai media massa barat ketika para atletnya dideteksi telah menggunakan doping, sedangkan investigasi terhadap para atlet asal AS terkait pelanggaran anti-doping malah sepi dari pemberitaan media massa arus utama di AS dan barat?
Kecurigaan adanya manuver AS untuk melakukan politisasi isu doping terhadap para atlet dari negara-negara yang dianggap pesaingnya, nampaknya memang cukup beralasan. Situs berita Republika 30 Juli 2021 lalu, mewartakan bahwa perenang AS Ryan Murphy ketika kalah dari pesaingnya, Evgeny Rylov dari Rusia, sontak menuding pesaingnya tersebut menggunakan doping.
Baca: Tak Terima Kekalahan, Perenang AS Tuding Atlet Rusia Doping
Lebih anehnya lagi, Ryan Murphy juga menuding para pesaing lainnya juga telah menggunakan doping. Dengan kata lain, Murphy menuduh semua pesaingnya tersebut main curang. Alhasil, terkesan tudingan Murphy itu hanya sekadar propaganda belaka. Kalau tidak mau dikatakan sebagai tuduhan tanpa bukti nyata.
Hendrajit, pengkaji geopolitik, Global Future Institute