Ketika saya ke Irak untuk kedua kalinya pada bulan September 2014 (pertama kali saya ke Irak ketika Saddam Hussein masih berkuasa pada Desember 1992), saya diberitahu oleh Duta Besar Indonesia untuk Irak, Letnan Jenderal TNI (Marinir/Purn) Safzen Noerdin di Baghdad bahwa nama Saddam Hussein atau dikenal di sana sebutan Mr.Kumis (Saddam Hussein berkumis) tidak begitu disenangi warga setempat).
Bagaimanapun juga penduduk Irak yang mayoritas Syiah, di masa Saddam Hussein berkuasa (Sunni) kembali meluapkan kegembiraannya setelah Saddam jatuh. Suatu keberuntungan, jika Sunni semasa Saddam bisa memerintah penduduk Irak yang mayoritas beraliran Muslim Syiah, yang diperkirakan 60 persen dari jumlah penduduk Irak, sedang Sunni hanya mewakili 40 persen. Apalagi oleh warga Amerika Serikat di mana negaranyalah yang memimpin invasi ke Irak di masa Presiden George Bush junior (istilah junior hanya untuk membedakan dengan nama ayahnya, George Bush senior yang juga adalah Presiden Amerika Serikat sebelumnya).
Kembali ke ucapan Donald Trump di acara “State of the Union” CNN yang dibawakan Jake Tapper, Minggu, 25 Oktober 2015, ia mengaku “100 persen” yakin Irak akan lebih baik jika masih dipimpin Hussein dan Libya masih di bawah Gaddafi.
Trump mengatakan, saat ini kedua negara tersebut hancur dan menjadi sarang terorisme. Jika saja, kata dia, Hussein dan Gaddafi tidak digulingkan maka Timur Tengah akan lebih stabil.
Hussein digulingkan pada invasi AS ke Irak tahun 2003 dan Gaddafi lengser menyusul revolusi Libya yang dibantu NATO pada 2011.
“Lihat Libya, lihat Irak. Irak dulu tidak ada teroris. Dia (Hussein) akan membunuh semua teroris secepatnya, namun sekarang negara itu menjadi Harvard-nya terorisme,” kata Trump.
Dulu, dia melanjutkan, Irak dengan kepemimpinan Hussein jauh lebih baik ketimbang sekarang. “Saya tidak mengatakan Dia (Hussein) adalah pria yang baik, dia buruk, tapi lebih baik ketimbang sekarang. Sekarang Irak adalah medan latihan teroris. Sekarang Libya, tidak ada yang tahu Libya. Sejujurnya tidak ada Irak dan Libya, semuanya hancur. Mereka tidak punya kendali, tidak tahu apa yang terjadi,” ujar Trump.
Bagaimana pun persoalan ISIS (The Islamic State in Iraq and Ash-Sham), yang diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia sebagai Negara Islam di Irak dan Suriah (NIIS), menjadi bahan pembicaraan di dunia internasional. Apalagi pada Minggu, 1 November 2015, ISIS ini berhasil merebut kota Maheen, Provinsi Homs dan memperluas wilayah kontrolnya di Suriah. Keheranan masyarakat internasional mulai muncul. Siapa sebenarnya ISIS itu?
Keheranan itu sepertinya sudah lama terjawab. Namun, mata dunia baru terbelalak ketika dalam pidatonya Barack Obama, Presiden Amerika Serikat mengatakan jika AS merupakan pelatih ISIS. Pidato Obama ini segera menimbulkan kegaduhan di Gedung Putih serta kehebohan masyarakat luas yang melihat videonya di berbagai media sosial seperti Youtube.
Pidato Obama tersebut terjadi pada Rabu 8 Juli 2015 di Pentagon jelas membuat khalayak publik heboh karena lewat mulut Presiden Amerika sendirilah terucap jika Amerika Serikat merupakan pelatih ISIS.
Dikutip dari isi video yang sudah menyebar di seluruh dunia tersebut, Obama mengatakan,” We’re speeding up training of ISIL forces (Kami sedang meningkatkan kekuatan ISIL)”. Istilah ISIL merupakan kepanjangan dari Islamic State of Iraq and the Levant. Sebuah istilah yang dipakai oleh AS untuk ISIS.
Walaupun pihak Gedung Putih segera melakukan klarifikasi lewat jumpa pers dan mengatakan Presiden terpeleset lidah, tetapi saya secara pribadi mengatakan bahwa hal itu benar. Ini saya peroleh informasi darai para ilmuwan Timur Tengah dalam berbagai berbagai diskusi yang saya hadiri.
Juga pengakuan Edward Snowden, mantan pegawai Badan Keamanan Nasional (NSA) AS. mengatakan jika ISIS merupakan sebuah organisasi yang dibentuk Amerika Serikat dengan melibatkan kerjasama dari Inggris dan Israel.
Secara pribadi, saya menganggap ucapan Donald Trump tentang Saddam Hussein dan Khadafy lebih realistis dari pidato kampanyenya terdahulu yang melarang ummat Islam datang ke negeri Paman Sam. Hal ini sama dengan pernyataan Menteri Luar Negeri RI di masa Presiden Soeharto, Ali Alatas yang mengingatkan Amerika Serikat dan sekutunya agar jangan mencoba invasi atau menggulingkan pemerintahan Irak di bawah Saddam Hussein pada Senin,25 Februari 1991.