Edward Snowden dan Model-Model Operasi Bendera Palsu

Bagikan artikel ini

M Arief Pranoto, Research Associate Global Future Institute (GFI)

Tulisan ini dilatarbelakangi keprihatinan atas gelombang pro-kontra akibat “muncul”-nya Edward Joseph Snowden di publik internasional. Kenapa demikian? Betapa fenomenal. Sosok muda dari belahan bumi Barat mendadak diherokan serta dielu-elukan dunia oleh sebab secara berani (sendirian lagi?) melawan superpower, Amerika Serikat (AS), negerinya sendiri. Selain kiprahnya menimbulkan decak kagum disana-sini, juga keras disorot lantaran membocorkan dua program rahasia National Security Agency(NSA), badan intelijen AS. Luar biasa. Dua program tersebut meliputi pengumpulan rekaman telepon pelanggan Verizon dan penyadapan data ke server perusahaan raksasa internet Amerika seperti Google, Facebook, Microsoft, Apple dan lain-lain. Tidak bisa dielak, “bocoran” tadi menimbulkan kehebohan dengan banyaknya protes baik dari kelompok negara yang masuk kategori musuh Paman Sam termasuk sekutunya sendiri di jajaran Uni Eropa, Jerman, dan lainnya.

Media massa dan dunia maya kini meletakkan Snowden sebagai sosok jagoan, paling populer, dan paling berani dalam melawan hegemoni AS di muka bumi. Jujur saja, kemunculannya hampir-hampir mirip peran Julian Assange dengan Wikileaks-nya kendati muatan misi sepertinya berbeda. Nanti kita ulas. Dan tak sedikit simpatisan mengalir kepada Snowden baik sifatnya pribadi via jejaring sosial, atau kelompok dan golongan, maupun simpati dari negara-negara untuknya dalam bentuk dukungan, perlindungan, suaka politik, dan lain-lain. Setidaknya inilah situasi kondisi daripada era yang kini berkecamuk.

Akan tetapi sebelum melangkah jauh, sebaiknya di-breakdown terlebih dulu teori-teori ataupun asumsi beberapa tokoh sebagai rujukan guna menelaah fenomena ini, termasuk perkembangan lingkungan strategis sebagai faktor dominan yang kuat berperan mengantar Snowden sebagai lakon tunggal di panggung hegemoni global. Inilah uraian sederhananya.

Masih ingat istilah TRANSNASIONALISME sebagai masa yang bakal timbul sesuai isyarat Rosenau era 1980-an dulu? Ya. Transnasionalisme ialah proses: “dimana hubungan internasional yang dilaksanakan pemerintah, telah disertai oleh hubungan individu, kelompok dan masyarakat swasta yang dapat memiliki konsekuensi-konsekuensi penting bagi berlangsungnya berbagai peristiwa”.

Tampaknya pemikiran Rosenue selaras dengan asumsi John Perkins dalam memotret trend serta kecamuk dinamika global. Perkins menyebutnya IMPERIUM. Yaitu sistem kekuasaan dipimpin penguasa atau raja yang memiliki kendali atas pemerintah dan media. Dia, dan mereka tidak dipilih rakyat dan masa jabatannya tidak dibatasi hukum. Bergerak di wilayah antara bisnis dan pemerintahan, mendanai kampanye politik dan media. Dan mereka bisa “memegang” siapapun terpilih dan mengendalikan informasi yang diterima oleh warga (John Perkins, 2009).

Lain Rosenue dan John Perkins, lain pula wacana Baudrillard memotret kondisi yang kini berkembang. Ia menamai sebagai era SIMULAKRA. Era dimana batas-batas antara realitas dan citra telah melebur. Menyatu. Bahkan citra telah berubah menjadi realitas itu sendiri. Inilah yang disebut dengan hyper-reality atau realitas semu. Fase simulakra ditandai oleh citra yang membentuk realitas, bahkan citra menjadi realitas itu sendiri.

Barangkali substansi atas asumsi ketiga tokoh di atas adalah, apabila transnasional dianggap suatu masa atau era tertentu, maka hubungan internasional tidak lagi didominasi oleh negara, sebab ada aktor non negara yang turut memberi warna, bahkan (kemungkinan) “warna”-nya justru lebih kental. Selanjutnya tatkala “imperium”-nya Perkins dianalogkan juga sebagai riil kekuasaan, maka ia mampu merambah kemana pun baik tataran lokal, regional maupun skala global. Sudah barang tentu, implementasi keduanya baik transnasional maupun imperium tidak akan lepas dari koridor ”pencitraan” sesuai isyarat Bauldrillard. Tak bisa tidak memang. Inilah yang tengah terjadi. Sebagai contoh: bagaimana dan darimana sosok Jokowi tiba-tiba mengglobal lalu dianugerahi walikota terbaik di dunia?

Aktor Non Negara dan Daya Tawarnya

Maka side effect daripada penitrasi konsepsi era dimaksud sesuai kilasan ketiga tokoh tadi, dalam beberapa kasus bahwa aktor non negara —Multinational Corporations (MNC) misalnya— memiliki daya tawar lebih kuat daripada negara itu sendiri. Contoh di republik tercinta ini. Ketika dekade 1960-an pihak asing merasa geraknya dibatasi, maka para MNC melakukan intervensi terhadap aturan (UU) Penanaman Modal Asing (PMA) yang membatasi. Dan hasilnya sungguh menajubkan, betapa pihak asing yang sebelumnya hanya diperkenankan memiliki saham 5 %, pasca perubahan UU PMA tahun 1968 bisa memiliki saham sampai 49 %. Bahkan kini, asing telah menguasai Indonesia karena boleh memiliki saham hingga 95 %. Luar biasa. Ini cuma contoh kecil tetapi riil, bahwa di era transnasional dan tipe elit penguasa semodel “imperium”-nya Perkins tersebut, sepertinya negara tak lagi memiliki kekuatan untuk merumuskan kebijakannya secara mandiri. Dan agaknya adagium foreign policy begin at home sudah menjadi sejarah masa lalu!

Hal lain dalam sisi daya tawar aktor non negara ialah eksis dan berkiprahnya sosok-sosok individu jauh melebihi kewajaran serta kelaziman. Osama bin Laden misalnya, seakan-akan perlawanannya terhadap Paman Sam lebih hero daripada Ahmaddinejad, Hugo Chaves, dll. Atau tampilan Jokowi lebih hebat dibanding SBY, atau Ahok lebih cerdas daripada Ali Sadikin, bahkan Rambo pun lebih populer daripada Panglima Soedirman, dan lainnya. Pembandingan tokoh-tokoh di atas memang agak sedikit lebay dan terkesan kurang mengena. Apa boleh buat. Ini hanya pengantar gambaran, silahkan digali permisalan lain yang lebih tepat.

Contoh yang terkuak ialah “kebohongan Nariyah”. Itupun terungkap setelah sekian waktu berlalu. Ceritanya, dekade 1990-an Irak mengerahkan kekuatan militernya menggempur Kuwait. Pemicunya ialah tuduhan Saddam Hussein terhadap Kuwait karena dianggap melakukan pemboran minyak di wilayah negaranya. Selanjutnya pada 10 Oktober di tahun yang sama pula, pandangan dunia seperti terpaku kepada gadis belia berusia 15 tahun bernama Nariyah. Ia menangis menyaksikan kejahatan tentara Irak membantai 300-an bayi di rumah sakit Kuwait. Testimoni Nariyah di ABC’s Nightline dan NBC Nightly News menyentuh rasa jutaan permirsa dan menimbulkan gelombang antipati terhadap Saddam Hussein, sehingga gilirannya berhasil menggalang dukungan internasional agar superpower melibatkan diri pada perang di kedua negara bertetangga tersebut. Maka ketika Perang Teluk meletus, Irak pun porak-poranda diserbu oleh militer Paman Sam dan sekutu.

Usai Perang Teluk akhirnya terkuak, bahwa Nariyah ternyata putri Sheikh Saud Nasser Al-Saud Al-Sabah, Duta Besar Kuwait untuk Amerika Serikat dan termasuk keluarga kerajaan. Sebelum tampil ke publik, ia belajar akting dahulu di Hill & Knowlton. Bos perusahaan tersebut menandatangani kontrak 111 milyar dengan keluarga kerajaan Kuwait. Tugasnya sederhana, Nayirah harus mengurai air mata serta menyihir publik global dengan “testimoni palsu”-nya guna meraih dukungan moral, restu internasional serta terutama “membujuk” AS agar mengambil tindakan militer terhadap Irak.

Dari uraian singkat di atas tersirat makna, bahwa ketika mereka —sosok-sosok individu— semacam Assange yang dapat “menembus” ketatnya rahasia negara; atau Osama yang mampu mempengaruhi pengambil kebijakan, mengacau beberapa negara (kayak minyak) melalui jaringan teroris; ataupun “air mata” Nariyah yang menyedot dukungan global buat melegalkan penyerbuan militer, ini adalah bukti —seperti MNC di atas— bahwa daya tawar aktor non negara letaknya sudah di atas negara (above the state), atau minimal beyond the state. Timbul retorika menarik: siapa individu yang berani melawan negara-negara kecuali Osama, Assange, Superman, atau Rambo?

Pertanyaan lagi: apakah era tersebut  —entah imperium,  transnasioanal, atau simulakra — muncul secara alami, atau hasil rekaan dari “kekuatan” tertentu terutama kaum pemilik media? Sebaiknya ditunda dulu pertanyaan tersebut supaya tulisan ini dapat dilanjutkan.

False Flag (Operasi Bendera Palsu)

Tak boleh dipungkiri, seperti halnya edit dan kontra berita, false flag pun metode kolonialisme di muka bumi yang sering digunakan oleh AS dan sekutu, kendati secara fungsi mutlak merupakan domain intelijen. Inilah tata cara cuci otak dan mengubah pola pikir (penipuan) publik yang mujarab, karena mengira kegiatan tersebut seakan-akan dikerjakan oleh kelompok lain sedang sejatinya hanya bagian atau penggalan daripada sebuah ‘skenario’ yang telah dipersiapkan. Ya, semacam deception atau penyesatan, atau bisa jadi sebagai “pintu masuk” saja. Tujuannya ialah pembenaran tindakan. Sekali lagi, tujuannya pembenaran tindakan (militer misalnya) dalam rangka menyerang negara yang ditarget sesuai rencana sebelumnya. Singkat kata, dalam false flag dikesankan seakan-akan bekerjasama dengan kita padahal sesungguhnya demi kepentingan musuh. Itu terjadi tanpa kita sadari. Dan ia, mereka itu bisa berujud sosok dan individu-individu, kelompok, atau media online, elektronika, news paper dan lain-lain.

Kebohongan Nariyah merupakan false flag dan relatif sukses karena Irak akhirnya diserang melalui restu internasional. Juga WikiLeaks misalnya, ini adalah bentuk lain false flag tetapi toh banyak mayoritas publik tidak menyadari, malah mengagumi kiprahnya. Arab Spring yang mengoyak Jalur Sutera adalah bukti keberhasilan Assange walau dari perspektif skema kolonial hanya menyentuh “kulit”-nya (ganti rezim) saja, karena ternyata timbul kembali gejolak massa lanjutan yang dipotret dunia sebagai Kebangkitan Islam (baca: Pergolakan di Jalur Sutera, Pilihan Menuju Timur Tengah Raya atau Timur Tengah Islami? di www.theglobal-review.com, dan analisis lainnya di GFI).

Kembali mempertajam false flag. Ya. Lebih janggal lagi yang mempromosikan Assange justru media mainstream yang seharusnya ‘terpukul’ oleh kiprahnya, karena fenomena Wikileaks sebenarnya cerminan lazy journalism (kemalasan jurnalis). Seyogyanya tabu untuk diberitakan. Oleh sebab kemunculannya telah menampar para jurnalis lantaran perannya sudah diambil alih. Akan tetapi sungguh aneh, justru blow up atas keheroan Assange terus digembar-gemborkan media secara dahsyat hingga kini.

Tatkala belakangan terungkap, bahwa New York Times di belakangnya Julian Assange, maka media pun kurang begitu mengebyarkan infonya meski masih berlangsung namun malu-malu. Indikasi tampak jelas. Selain kesamaan fokus geopolitik WikiLeaks pararel dengan geopolitik AS yakni oppressive regimes di Asia, Cina, Rusia dan Timteng, juga dikatakan oleh David E Sanger dari New York Times, bahwa seleksi dan editing informasi yang hendak dibocorkan oleh Assange kepada publik justru dilakukan pemerintah AS itu sendiri. Benar-benar dagelan!

Pertanyaan lanjut: adakah hidden agenda berbagai bocoran WikiLeaks yang ternyata sudah melalui seleksi dan editing dari pemerintah AS? Jawabannya jelas, yaitu provokasi dan adu domba negara-negara yang di-“bidik”-nya. Namun tampaknya, sebagai contoh provokasi Assange terhadap Korea Utara versus Cina supaya meletus konflik pada kedua negeri komunis tadi, ternyata bertepuk sebelah tangan —- tidak memiliki pengaruh apa-apa. Demikian pula adu domba antara Iran dengan Saudi Arabia pun tak jua gayung bersambut. Bahkan Ahmadinejad menyambut dingin, “Negara-negara di kawasan (Timur Tengah) itu seperti sahabat dan saudara. Informasi yang menyimpang tidak akan mengganggu hubungan mereka”.

Mengakhiri catatan sederhana ini, saya teringat statement Goebbels, Menteri Propaganda Nazi di era Adolf Hitler dahulu:

Sebarkan kebohongan berulang-ulang kepada publik. Kebohongan yang diulang-ulang, akan membuat publik menjadi percaya, dan kebohongan yang paling besar ialah kebenaran yang diubah sedikit saja” (Paul Joseph Goebbels, 1942).

Jangan-jangan, tampilnya Edward Snowden di panggung politik adalah kemasan false flag, atau kebohongan-kebohongan lain yang dikemas oleh Paman Sam pasca terungkapnya operasi bendera palsu yang diawaki oleh Wikileaks?

Jika membaca pola-pola kolonialisme AS, dalam pagelaran Arab Spring misalnya, terlihat peran Wikileaks memang hanya sebatas menebarkan “isue” perihal pemimpin tirani, kemiskinan, korupsi dan lainnya, oleh karena “tema” kolonialnya dikerjakan oleh National Endowment for Democracy cq CANVAS (Central Applied Non Violence Action and Strategies). Maka menjadi keniscayaan pula bila kiprah fenomenal Snowden pun, kemungkinan besar cuma penebar isue belaka, artinya masih ada “tema” yang akan dimainkan dikemudian hari, tetapi oleh aktor-aktor lainnya. Wait and see!

Terimakasih

Bacaan dan Link:
Julie Wilson, West Virginia Dismisses False Flag Allegations,

Facebook Comments
Social Media Auto Publish Powered By : XYZScripts.com