Erdogan dan Netanyahu Berdamai?

Bagikan artikel ini

Dina Y. Sulaeman, alumnus Magister Hubungan Internasional Universitas Padjadjaran, research associate of Global Future Institute (GFI)

Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu meminta maaf kepada Turki atas serangan tentara Israel terhadap kapal Mavi Marmara di laut Gaza. Permintaan maaf itu disampaikan Netanyahu pada hari Jumat 22 Maret. Laporan dari berbagai media awalnya menyebutkan bahwa permintaan maaf itu diterima Erdogan. AP menulis bahwa kantor Erdogan menyatakan, “perdana menteri kami menerima permintaan maaf itu atas nama rakyat Turki.”

Berbagai media menyebutkan pula bahwa, permintaan maaf ini disampaikan Netanyahu melalui percakapan telepon yang dilakukan dari Bandara Ben Gurion, saat mengantar Obama yang akan terbang meninggalkan Israel setelah berkunjung tiga hari. Dan saat itu pun, Obama pun sempat berbicara dengan Erdogan.

Erdogan butuh dua hari untuk memberikan pernyataan terbuka atas berita itu. Pada hari Ahad, (24/3), Erdogan menyatakan tidak akan buru-buru memperbaiki hubungan antara kedua negara. Kami telah mengatakan, “Permintaan maaf harus dilakukan, kompensasi harus dibayar, dan blockade terhadap Palestina harus dicabut. Tidak akan ada normalisasi tanpa hal ini.”

Permintaan maaf Israel ini mengejutkan dari sisi: sejak kapan Israel memiliki budaya minta maaf? Selama lebih dari 60 tahun Israel telah membantai warga Palestina dan mengusir mereka dari rumah-rumah dan ladang-ladang pertanian mereka. Mengapa tak pernah meminta maaf? Mengapa baru sekarang Israel meminta maaf, itupun hanya kepada Turki, dan mengapa dilakukan bersama Obama?

Erdogan sejak tahun 2009 telah naik daun dan dipuja-puja kaum muslimin dunia. Setelah sebelumnya Ahmadinejad dari Iran menggegerkan dunia karena pernyataan-pernyataan frontalnya terhadap Israel,  munculnya Erdogan memberikan alternatif idola kepada kaum muslim. Dalam sebuah konferensi internasional di Davos, Swiss, Januari  2009,  Erdogan blak-blakan mengkritik Israel dengan mengatakan bahwa Perdana Menteri Israel Simon Peres membunuh anak-anak dan wanita-wanita tak berdosa di  Gaza. Setelah berbicara demikian, Erdogan melakukan aksi walk out dari konferensi tersebut.

Peristiwa tahun 2009 itu sangat fenomenal dan dalam sekejap menaikkan pamor Erdogan.  Dia pun dipuja-puja oleh banyak kaum muslimin dunia yang memang sangat mendambakan adanya pemimpin yang berani melawan Israel. Tahun 2010, sikap keras Erdogan terhadap Israel berlanjut dengan dukungannya terhadap pengiriman bantuan ke Gaza. Bantuan itu dibawa para aktivis pembela Palestina dengan menggunakan kapal milik Turki, yang bernama Mavi Marmara. Dengan gagah berani, kapal berserta para penumpangnya melabrak blokade laut tentara Israel.

Tepat pada 31 Mei 2010, tentara Israel melakukan sebuah aksi terorisme yang membuat dunia tersentak. Tentara Israel meyerbu kapal itu dan menembaki penumpangnya. Dalam peristiwa itu, 20 aktivis gugur syahid (9 di antaranya warga Turki) dan 50 lainnya terluka.  Bahkan mereka yang semula membela Israel pun kehilangan kata-kata untuk membela. Bagaimana mungkin bisa dijustifikasi, tentara bersenjata lengkap melabrak sebuah kapal sipil berisi warga sipil, lalu menembaki para penumpangnya? Israel sangat jelas bersalah dalam kasus ini. Namun saat itu, AS sama sekali tidak memberikan kecaman dan hanya mengatakan bahwa Israel perlu diberi kesempatan untuk menyelidiki peristiwa ini.

Lalu bagaimana mengamati peristiwa minta maafnya Israel ini? Tentu saja, seperti biasa, kita perlu melihat konteks politik globalnya, terutama  apa yang sedang terjadi akhir-akhir ini di Timur Tengah. Dalam tulisan saya sebelumnya, saya sudah menulis tentang miskalkulasi (kesalahan perhitungan) AS dan Turki soal Syria. Kedua negara sedang kelimpungan. AS sudah mengeluarkan banyak dana untuk membiayai para pemberontak (baik secara langsung, maupun melalui sekutu-sekutunya, Qatar dan Arab Saudi). Namun setelah dua tahun, Assad tak jua bisa ditumbangkan.  Turki pun pusing. Sumber dana terkuras untuk ikut saweran mendanai para pemberontak Syria, pengungsi dari Syria pun membanjiri Turki, menimbulkan masalah social dan ekonomi.

Lalu, apa hubungan Syria-Turki-AS-Israel? Bagi pengamat konflik Timur Tengah, sebenarnya kaitannya sangat jelas, yaitu bahwa perang di Syria sebenarnya perang proxy Barat untuk menggulingkan rezim yang mengancam Israel. Artinya, Barat ingin menggulingkan Assad, namun ‘meminjam’ tangan pihak lain. Bagaimana agar ‘pihak lain’ ini mau habis-habisan bertempur menggulingkan Assad? Cara termudah tentu saja, membangkitkan kebencian antarmazhab.

Bila selama ini Erdogan dicitrakan anti-Israel, kasus Syria telah membongkar wajahnya yang asli. Erdogan dan partainya, AKP (Partai Keadilan dan Pembangunan), yang oleh media Barat dipuji sebagai ‘model partai yang layak ditiru oleh negara-negara Islam’ terus-menerus menekankan perlunya mengirim senjata ke Syria untuk membantu para pemberontak agar bisa ‘membela diri’ di hadapan rezim Assad. Namun, mengapa mereka tidak pernah mengatakan hal yang sama terhadap Palestina?  Turki berani melakukan aksi militer terhadap Syria yang jelas-jelas musuh Israel; sebaliknya tidak melakukan hal serupa untuk membela pasukan jihad di Palestina.  Bahkan, data menunjukkan, justru pada masa yang disebut-sebut sebagai ‘masa ketegangan tertinggi Turki-Israel’ hubungan dagang di antara kedua negara meningkat 30,7%, dengan nilai 4,44 milyar dollar (tahun 2011).

Terakhir, ada fakta ironis soal Mavi Marmara. Penyelidikan independen menemukan sebuah fakta yang ditutupi media Barat (bahkan you tube pun memblokir informasi ini, setelah semula tersebar luas). Dalam sebuah video terlihat bahwa tentara Israel yang menyerbu kapal itu ternyata membawa sebuah daftar nama, siapa saja yang perlu dibunuh.  Para aktivis yang tewas, terbukti, sebagiannya ditembak dari jarak dekat. Artinya, tidak ditembak secara membabi-buta, melainkan memang sudah ‘dipilih’. Dan dalam kondisi gelap dan kacau seperti itu, bagaimana tentara Israel bisa menemukan siapa yang harus dibunuh? Belum ada jawabannya, karena tidak dilakukan penyelidikan atas hal ini.

Namun, ada satu hal yang bisa memberikan indikasi jawaban: ada agen CIA yang berada di kapal itu. Dia sebelumnya dikenal sebagai aktivis pembela Palestina. Dia berkebangsaan Libya namun tinggal di Irlandia. Identitasnya sebagai agen CIA terungkap ketika media Irlandia ramai memberitakan kasus pencurian uang 200.000 Euro di rumahnya (November 2011).  Di Barat, tidak lazim menyimpan uang cash dalam jumlah besar di rumah (harus di bank), sehingga polisi pun menyelidikinya. Dari mana sang agen (yang di Irlandia berprofesi sebagai seorang guru bahasa Arab) bisa memiliki uang sebanyak itu? Dia pun mengaku bahwa itu dana didapatkannya dari dari CIA untuk disalurkan kepada pemberontak Libya. Rupanya dia adalah tokoh penting dalam aksi penggulingan Qaddafi.

Lalu, pada Desember 2011, Daniel Iriarte, jurnalis Spanyol yang meliput perang Syria, secara tak sengaja bertemu dengan sang agen di Syria. Berikutnya, beberapa media pun secara terbuka meliput kehadirannya di Syria. Dia bersama beberapa rekannya dari Libya rupanya telah mendirikan dan melatih Liwaa Al Ummah, salah satu kelompok jihad di Syria. Liwaa al Ummah bersama Jabhah Al Nusrah dan beberapa kelompok jihad lainnya pada November 2012 telah mendeklarasikan akan mendirikan khilafah di Syria. Namanya adalah Mahdi Al Harati.

Mudah-mudahan pembaca bisa menyimpulkan sendiri, bagaimana kaitan di antara semua fakta ini.

Facebook Comments
Social Media Auto Publish Powered By : XYZScripts.com