Pergeseran Sentral Geopolitik Internasional

Bagikan artikel ini

Hendrajit, Direktur Eksekutif Global Future Institute (GFI)

Kajian strategis Deep Stoat tentang perpolitikan yang mengatakan; “If you would understand world geopolitics today, follow the oil”. Kiranya harus dijadikan sebagai alat guna mengurai isu-isu aktual, terutama dalam mencari darimana asal dan kemana arus geopolitik bergerak dan berujung.

Agaknya asumsi itu semakin menebalkan tesis Sir Halford Mackider, pakar geopolitik Inggris abad ke-19 yang mengklasifikasikan dunia kedalam Empat Kawasan. Empat kawasan tersebut terdiri dari Heartland (meliputi Asia Tengah dan Timur Tengah), Marginal Lands (meliputi Eropa Barat, Asia Selatan, sebagian Asia Tenggara dan sebagian daratan Cina), Desert (Afrika Utara), dan Island or Outer Continents (meliputi benua Amerika, Afrika Selatan, Asia Tenggara dan Australia).
Tesis Mackider menyebutkan, bahwa negara yang menguasai kawasan Heartland (memiliki kandungan sumberdaya alam dan mineral yang melimpah), niscaya akan menuju kepada “Global Imperium”.  Dalam kajian politik, conflict is protection oil flow and blockade somebody else oil flow merupakan modus kolonial sejak dulu, dan sering dilakukan untuk menebar penyesatan (mengalihkan perhatian), baik dalam bentuk konflik ataupun gerakan-gerakan massa lainnya di permukaan, agar yang menjadi tujuan utamanya tidak terpantau.
Menurut cermatan GFI, ‘Empat Kawasan’ Mackinder itu, tampaknya sudah tidak akurat lagi. Ini terbaca dari Smart Power-nya AS, apalagi melalui Arab Spring, AS ternyata juga menggoyang negara-negara Afrika Utara seperti Libya, Tunisia, dan Yaman yang nota bene merupakan kawasan Desert. GFI mengendus, AS dan sekutunya kini justru tengah menerapkan teori Toni Cartalucci, Research Assosciate di Central for Research on Globalization (CRG), Montreal, Kanada.
Cartalucci berasumsi: “Matikan Timur Tengah, maka anda mematikan Cina dan Rusia, dan anda akan menguasai dunia”. Faktanya bahwa sejak 1979, cengkeraman AS terhadap beberapa negara di Timur Tengah melalui Dewan Kerjasama Teluk (GCC) memang terbukti unggul dalam hal dominasi minyak dunia. Setidaknya 90% transaksi ekspor minyak dari kelompok GCC atau 40% minyak dunia, dikuasai oleh AS.
Pertanyaannya adalah kenapa Rusia dan Cina tidak juga “mati” bahkan semakin menggeliat. Agaknya Cartalucci lupa, bahwa saat ini Rusia sudah menjadi Autarky (negara swasembada) seperti halnya Kanada. Artinya bahwa ketergantungannya terhadap negara lain sangat kecil. Sebaliknya, meskipun kemajuan ekonomi dan militernya relatif signifikan namun Cina masih tergantung dengan impor.
Menurut hipotesa GFI, hal ini semata-mata karena ENERGI masih tetap sebagai kunci skema bagi setiap manuver apapun, terutama militer. Sampai saat ini, Kawasan Heartland masih dianggap sebagai titik tolak geopolitik global, sebab merupakan basis produsen minyak dan gas alam dunia, meskipun dalam perkembangannya banyak jajaran negara Afrika Utara, Amerika Latin dan Rusia telah menjadi Net Oil Exporter.
Perkembangan aktual perpolitikan internasional saat ini memang mengisyaratkan terjadinya pergeseran sentral geopolitik dari Kawasan Timur Tengah menuju ke Asia Tenggara, khususnya Laut Cina Selatan. Isyarat peralihan tersebut terlihat dari beberapa indikasi, diantaranya AS ingin secepatnya membangun sistem pertahanan rudal di Asia guna melawan manuver Korea Utara. AS juga menyatakan akan memperluas pengaturan militernya di Asia Tenggara dan Samudera Hindia, termasuk peningkatan kerja sama dengan Australia dan penempatan kapal-kapal perang di Singapura.
Selain itu, AS juga mendukung pembentukan ASEAN Security Community pada 2015, dan terkait dengan isu Laut Cina Selatan, melalui Menhan Leon Panetta, AS menganjurkan agar ASEAN melakukan “tindakan seragam” sekaligus menyusun kerangka aksi yang memiliki kekuatan hukum. Tapi yang paling mengejutkan adalah rencana AS untuk menggeser 60% armada tempurnya ke Asia Pasifik.
Kompleksitas pertikaian wilayah di Laut Cina Selatan, disinyalir memang bukan sebatas klaim kepemilikan pulau-pulau, melainkan ada persoalan lainnya, diantaranya hak berdaulat atas Landas Kontinen dan Zona Ekonomi Ekslusif (ZEE), termasuk penggunaan teknologi baru terkait exploitasi dan explorasi minyak dan gas bumi oleh negara tertentu.
Ketegangan antara negara-negara di kawasan tersebut secara politis cenderung meningkat karena miskinnya win-win solution. Urgensi geografis Laut Cina Selatan yang cukup vital dalam pergeseran geopolitik global, memungkinkan terus terkendalanya upaya penyelesaian sengketa, bahkan diduga keras bahwa isu konflik teritorial itu akan menjadi trigger dalam benturan militer secara terbuka.
Situasi ini tentunya akan mempengaruhi negara-negara di sekitar wilayah sengketa, dimana secara proximatis geografi, posisi Indonesia berada cukup dekat dengan Laut Cina Selatan, baik dalam konteks Asia Tenggara, ASEAN maupun Asia Pasifik. Situasi ini diperkirakan akan berlangsung lama, karena selain menunggu ‘momentum’, negara-negara yang terlibat konflik juga melakukan upaya antisipasif secara intensif dan terbuka, terutama AS dan sekutunya versus Cina dan pendukungnya. Tentunya kondisi tersebut akan mempengaruhi sikap politik dan kebijakan negara-negara yang berada di sekelilingnya, terutama Indonesia, yang saat ini tengah berproses dalam MP3EI. Menurut saya inilah faktor eksternal yang mutlak dicermati dalam melanjutkan MP3EI.
Disampaikan pada Forum Group Discussion (FGD) Badan Pengkajian dan Pengembangan Kebijakan Kementerian Luar Negeri RI Tanggal 30/8/2012, di Hotel Akmani, Jalan KH Wahid Hasyim No 91, Jakarta Pusat.
Facebook Comments
Social Media Auto Publish Powered By : XYZScripts.com