Otjih Sewandarijatun, alumnus Universitas Udayana, Bali. Mantan Direktur Komunikasi Massa LSISI, Jakarta
Hasil Pilgub DKI Jakarta 2017 telah diketahui melalui real count versi Situng (sistem penghitungan) KPU yang datanya berasal dari salinan C1 (sertifikat hasil penghitungan perolehan suara) di setiap TPS. Meski sempat menuai tanda tanya akibat adanya perubahan data padahal posisi entry data sudah 100%, namun hasil real count KPU ini telah memastikan bahwa Pilkada DKI Jakarta akan berlangsung dua putaran karena tidak ada paslon yang memperoleh suara lebih dari 50%. Sesuai data real count KPU, paslon No. 1, Agus-Sylvi memperoleh 17, 07% (936.609), No. 2, Basuki-Djarot sebesar 42,96% (2.357.637), dan No. 3, Anies-Sandi sebesar 39,97% (2.193.636). Namun demikian, Hasil final tetap akan menunggu penghitungan manual secara bertahap dari formulir C1 asli.
Menurut Peraturan KPU Nomor 6 Tahun 2016 tentang Pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati, Walikota dan Wakil Walikota di Aceh, Jakarta, Papua, dan Papua Barat, maka pemenang Pilgub DKI Jakarta harus memperoleh suara minimal lebih dari 50%. Jika tidak ada yang memenuhi, maka lanjut putaran kedua yangakandiikuti oleh paslon suara terbanyak pertama, Basuki-Djarot dan terbanyak kedua, Anies-Sandi yang lolos pada putaran pertama. Pemungutan suara putaran kedua akan digelar pada 19 April 2017, mundur hingga Juni 2017 jika ada sengketa selisih penghitungan suara di Mahkamah Konstitusi.
Pilkada putaran kedua ini akan berlangsung cepat mulai Maret hingga Mei. Secara teknis tidak banyak perbedaan dengan putaran pertama, fokusnya adalah pada perbaikan data pemilih, penajaman visi-misi melalui debat kandidat, dan kampanye terbuka akanditiadakan diganti sosialisasi paslon melalui iklan media cetak dan elektronik oleh KPUD.Putaran kedua juga tidak mengharuskan cuti kampanye bagi Petahana, karena itu pengawasan terhadap potensi penyalahgunaan jabatan menjadi sangat penting.
Evaluasi Putaran Pertama
Merujuk pengalaman putaran pertama, ada sejumlah permasalahan teknis dan administrasi yang perlu diantisipasi guna menghindari konflik di lapangan, di antaranya:
Pertama, validasi data pemilih tetap, aturan teknis penggunaan E-KTP dan Suket.Data pemilih yang tidak akurat berpotensi menghilangkan hak pilih warga negara, sedangkan alternatif penggunaan E-KTP dan Suket yang tidak tersosialisasi dengan baik juga berpotensi menyulitkan teknis pemungutan suara.Di sejumlah TPS terjadi penumpukan dan antrian panjang pemilih diperparah denganketidakjelasan batas waktu pemungutan suara.Akurasi data pemilih ini penting untuk menjamin hak pilih warga, serta mencegah adanya ghost voters.
Kedua, pengadaan dan distribusi logistik terutama Surat Suara dan formulir Daftar Pemilih Tambahan (DPTb).Kekurangan Surat Suara dan DPTbyang terjadi di sejumlah TPS telah menimbulkan kegaduhan yang disertai isu tentang kesengajaan penyelenggara Pemilu untuk membatasi penggunaan hak pilih warga.Hal ini bisa saja karena kendala teknis akibat lonjakan penggunaan hak pilih bagi warga yang belum terekam dalam DPT sehingga jumlah Surat Suara dan Cadangan, serta form DPTb tidak mencukupi.Namun, persoalan teknis itu dapat jadi celah politisasi tentang kesengajaan penghilangan hak pilih warga.
Ketiga, penggunaan atribut yang mencirikan Paslon tertentu dan mobilisasi pemilih. Hal ini menjadi tantangan bagi penyelenggara untuk menegakan aturan penyelenggaran pemungutan suara dimana atribut kampanye yang digunakan oleh timses, pendukung maupun pengawas dan saksi dapat menjadi faktor pemicu konflik di lapangan karena memberikan dampak psikologi politik yang sangat intimidatif bagi pemilih saat memberikan suara di TPS.
Keempat, potensi politik uang.Menurut publikasi Bawaslu RI, kasus politik uang ditemukan tertinggi di Pilgub DKI Jakarta yakni 8 temuan.Temuan politik uang ini tentu pelanggaran serius dalam Pilkada dan berimplikasi pada pidana pemilu. Karenanya perlu perhatian khusus agar tidak mencederai kredibilitas penyelenggaraan Pilkada.
Kelima, keamanan sistem IT KPU dari potensi peretasan.Perubahan data hasil real count KPU meski telah diklarifikasi, dapat menjadi celah untuk meragukan keamanan sistem IT dan kredibilitas KPUD sebagai penyelenggara Pilkada.Karena itu masalah keamanan sistem IT tidak dapat dianggap sepele karena menyangkut kepercayaan publik terhadap kredibilitas penyelenggara dan hasil Pilkada.
Isu Politik dan Potensi Migrasi Suara
Selain evaluasi persoalan teknis administratif Pilkada, isu menarik lainnya adalah memprediksi migrasi suara yang akan diperebutkan oleh paslon Basuki-Djarot dan Anies-Sandi. Ada 17% suara Agus-Sylvi serta 27% suara Golput yang potensial untuk dimobilisasi sehingga dapat berpartisipasi dalam Pilkada. Perolehan 17% suara Agus-Sylvi sendiri memang kontras dengan total suara partai pendukung (PPP, PD, PKB, dan PAN) yang mencapai 26%. Begitu pula dengan Basuki-Djarot yang suaranya berada di bawah jumlah suara koalisi Golkar, PDIP, Hanura dan Nasdem yang mencapai 49%.Sementara, Anies-Sandi justru memperoleh suara yang melampaui jumlah suara koalisi PKS dan Gerindra yang hanya 26%.
Perolehan suara Anies-Sandi menunjukan tim pemenangan baik partai maupun jaringan relawan efektif bekerja, kualitas personal dan program kebijakan paslon ini mendapat respon positif pemilih.Selain itu, posisi Gerindra maupun PKS relatif stabil dan tidak banyak diterpa isu miring.Kehadiran Prabowo dalam kampanye juga berkorelasi positif terhadap pencitraan yang dilakukan oleh Anies-Sandi.Hal ini diperkuat dengan dukungan kelompok eks PDIP yang mampu menarik gerbong massa PDIP yang kecewa dengan kebijakan elit partai yang identik dengan “wong cilik” tersebut.
Kualitas personal antara Anies-Sandi yang cenderung low profileakanhead to head secara kontras dengan Basuki-Djarot yang hard profile. Bagiundecided voters terutama pemilih rasional yang melihat kapasitas dan program,serta pemilih tradisional karena kedekatan secara sosiologis, seperti isu sosial budaya dan agama, kapasitas dan personifikasi paslon Anies-Sandi menjadi daya tarik politik yang kuat. Pemilih rasional melihat debat sebagai momentum untuk menilai kualitas individu paslon, dan Anies-Sandiberhasil memanfaatkan dengan baik serial debat kandidat. Sedangkan bagi pemilih tradisional, dukungan menguat bersamaan dengan gelombang isu agama sebagai preferensi memilih.Anies-Sandi mendapat keuntungan politik ketika kesadaran identitas keagamaan di pemilih Islam dibangkitkan.
Perolehan suara Basuki-Djarot tidak lepas dari dukungan loyal pemilih tradisional terutama dari kalangan etnis keturunan Tionghoa dan nonmuslim, yakni dari Katolik, Kristen, dan Konghucu.Survey SMRC yang dirilis sebelum pemungutan suara menunjukan bahwa 95% pemilih dari Kristen dan Katolik, serta 51% pemilih dari Konghucumemilih Basuki-Djarot.Sedangkan jumlah pemilih beragama Islam yang jumlahnya mencapai 85% tersebar secara proporsional dalam tiga paslon.Basuki-Djarot juga diuntungkan dengan posisinya sebagai Petahana sehingga bisa mengklaim prestasi sejumlah kebijakan sebagai political evidenceyang proven.Hal ini tentu menarik perhatian dari pemilih rasional, terutama kalangan swasta, pebisnis dan profesionalyang menjadikan pertimbangan manfaat maksimal yang akan didapat dari kebijakan Basuki-Djarot jika terpilih kembali.
Melihat kualifikasi dukungan politik dan personal antara Anies-Sandi dan Basuki-Djarot, tampaknya akan terjadi persaingan yang lebih sengit. Suara Agus-Sylvi secara alamiah akan bermigrasi, namun akan terakselerasi dengan efektif jika masing-masing paslon dapat mengidentifikasi faktor-faktor yang homofilial atau sama dengan karakteristik pendukung Agus-Sylvi. Paslon Anies-Sandi akan banyak mendapat limpahan secara alamiah karena irisan politik yang sama dengan pemilih Agus-Sylvi, yakni pemilih Islam ideologis, sentimen anti Ahok dan pemilih rasional yang menghendaki perubahan suasana di DKI Jakarta.
Efek sugestif akan memperkuat dorongan motif politik bagi pemilih Agus-Sylvi untuk mendukung Anies-Sandi jika partai pendukung Agus-Sylvi juga dapat berkoalisi dengan Gerindra dan PKS. Langkah manuver PAN yang konstituennya banyak berasal dari Muhammadiyah setidaknya dapat mensugesti pemilih loyal PKB dan PPP untuk mengikuti jejaknya mendukung Anies-Sandi. Namun, tampaknya PKB dan PPP tidak akan tergesa-gesa memutuskan mengingat keputusannya dapat berimplikasi pada potensi masalah internal yang dapat dipolitisasi. Sedangkan Partai Demokrat, sangat mungkin mengambil sikap abstain dari Pilkada karena personifikasi kekuasaan SBY. Namun demikian, pada level konstituen, massa PD telah terbentuk sentimen anti Ahok yang potensial bergeser menjadi dukung Anies-Sandi.
Sedangkan Basuki-Djarot, tambahan massa diharapkan dari swing voters karena pemilih loyalnya telah maksimal dalam putaran pertama. Swing voters potensial dari kelompok majority adopters, mereka yang memilih karena persepsi tentang bagian dari kekuatan yang menang. Posisi suara terbanyak memberikan efek psikologis berupa sugesti kemenangan. Kalangan pemilih ini terutama akan berasal dari keluarga birokrasi karena psikologis untuk menjadi bagian dari yang dianggap akan menang sangat penting bagi jaminan stabilitas eksistensinya dalam mesin birokrasi. Namun, hal ini akan kontraproduktif dengan persoalan status hukum Basuki Tjahaja Purnama (BTP). Secara psikologis, pemilih tidak ingin suaranya menjadi sia-sia jika mendukung sementara status hukum BTP justru berpotensi menjadi hambatan kemenangannya.
Pilgub putaran kedua akan diwarnai dengan persaingan politik yang ketat, isu-isu SARA, PKI, tuntutan kasus penistaan agama, politisasi penegakan hukum akan menjadi mainstream pemberitaan maupun propaganda politik. Putaran kedua akan mendorong terciptanya solidaritas in group dan out group dalam skala yang masif. Potensi segregasi sosial tinggi akibat persaingan politik, karena itu perlu dikelola dan dikenali sejak dini agar tidak berkembang menjadi gesekan ditingkat akar rumput. SARA akan menjadi preferensi utama dalam perilaku pemilih. Secara teoritis, hal ini sesungguhnya alamiah terjadi, namun akan berkontribusi terhadap intensitas gejolak sosial. Karena itu, hal penting yang harus diantisipasi adalah memastikan pada level penyelenggara pemilu untuk mengatasi segala masalah pada putaran pertama, sedangkan pada level kontestan dapat menjadikan momentum Pilkada sebagai sarana untuk menampilkan gagasan-gagasan pembangunan yang terbaik, menguji kualitas kepemimpinan individu dan menjadikan momentum untuk mendidik masyarakat lebih cerdas secara politik hingga rasional dalam memilih pemimpin daerah yang terbaik.