Gagasan Pembentukan ASEAN Maritime Community dan Perkuatan ASEAN dalam Manuver Politik Luar Negeri Indonesia

Bagikan artikel ini

Disampaikan dalam Seminar Terbatas para ahli dengan tema “MEMBANGUN STRATEGI PERIMBANGAN KEKUATAN DALAM RANGKA MENGAKTUALISASIKAN KEMBALI POLITIK LUAR NEGERI RI YANG BEBAS DAN AKTIF”, yang diselenggarakan oleh Global Future Institute (GFI) bekerjasama dengan para mahasiswa Fakultas Ilmu Hubungan Internasional Universitas Nasional yang tergabung dalam Vox Muda, Senin 5 Desember 2016, di Jakarta.

Merumuskan politik luar negeri adalah suatu keharusan bagi setiap negara guna bertahan dalam percaturan sistem politik internasional. Rumusan yang dimaksud tidak terlepas dari apa yang dimaksud national power yang dimiliki. Seperti Henry Kissinger yang menyatakan bahwa “Power was relatively homogeneous; its various elements- Economic, Military, or political-complemented one another.” Lebih dari itu, perspektif geopolitik pun bicara soal national power melalui Rudolf Kjellen yang berasumsi jikalau suatu negara harus memiliki 3 K, yakni kekuatan, kekuasaan, dan kekayaan.

Bagi negara Indonesia, melalui kesadaran akan national power tersebut, seharusnya berkaca kembali dan tidak acuh kepada takdir geopolitik Indonesia sebagai negara yang bercirikan negara maritim dan agraris. Khusus dalam bidang maritim, perumusan politik luar negeri Indonesia yang berdasarkan aroma kemaritiman sejalan dengan fenomena internasional kekinian. Bagaimana tidak? Arus pelayaran dan perdagangan internasional mau tak mau harus melalui perairan teritorial Indonesia.

Dengan anugerah geografis Indonesia yang mempunyai sisi strategis dalam Sea Lanes of Communication dan Sea Lanes of Trade ini menuntun wilayah negara yang berada dalam regional Asia Tenggara ini sebagai Center of Gravity. Karenanya, Indonesia harus merajut identitas atas dasar kesadaran ruang hidup. Guna menggapainya, organisasi bernama ASEAN merupakan elemen penting.

Peranan ASEAN dalam memuluskan langkah Indonesia guna mengaktualisasikan national power yang berujungnya pemenuhan kepentingan nasional ini, tidak terlepas dari “setengah perhatian” negara-negara ASEAN terhadap aspek kemaritiman. Tidak terasa berlebihan ketika realita ASEAN Maritime Forum yang berubah haluan menjadi Expand ASEAN Maritime Forum dapat dikatakan sebuah kegagalandalam menjaga common interests kawasan.

Merujuk atas kegagalan skema sebelumnya, Indonesia harus kembali menjadi inisiator melahirkan gagasan baru pada lingkup kemaritiman dalam kawasan. Dalam hal ini, skema baru yang dimaksud bernama ASEAN Maritime Community. Skema ini didasari oleh asumsi bahwa integrasi dalam ASEAN Community tidak mengakomodir secara maksimal kepentingan maritim, bayangkan saja, jikalau tidak ada skema yang jelas terhadap kawasan yang mempunyai chocke point seperti wilayah Asia Tenggara ini.

Proyeksi Indonesia dalam ASEAN Community ini adalah menjadikan Indonesia sebagai key player. Guna mewujudkan key player yang dimaksud Indonesia harus kembali menata ulang kesadaran ruang hidupnya sebagai negara bercirikan maritim. Tentu Indonesia mau tidak mau menerima konsekuensinya dengan menjadikan Indonesia sebagai flag state, port state, dan coastal state.

Dimulai dengan apa yang disebut flag state. Adapun yang menjadi hakikat dari Flag Stateialah dominannya kapal ber-bendera Indonesia ketimbang kapal asing di perairan dalam. Ini menyebabkan kehadiran negara sebagai pemangku kepentingan untuk membuat kebijakan. Maka dari itu, asas Cabotage merupakan kebijakan yang relevan. Sejatinya, asas Cabotage bertujuan memperkokoh dan memperkuat kedaulatan negara kepulauan dalam pelayanan pelayaran dan perdagangan di perairan dalam. Cabotage pun memberikan efek bagi negara Indonesia. Pertama, terdapatnya investor, yang mana bertujuan terjadinya transfer ilmu pengetahuan dan teknologi, serta menyerap tenaga kerja. Tentu dalam hal ini, akan menjadi keuntungan bagi masyarakat Indonesia sebagai lahan pekerjaan.

Kedua, asas Cabotage berdampak kepada banyaknya kapal yang bersandar di pelabuhan. Dalam hal ini, kapal-kapal yang bersandar memberikan aktifitas ekonomi di daratan, Semisal jasa angkut barang yang dilakukan oleh perusahaan jasa angkut maupun buruh sebagai subjeknya. Ketiga, asas cabotage akan berjalan simultan dengan terdapatnya pelabuhan di berbagai wilayah transit kapal-kapal berbendera merah putih dan juga kapal-kapal asing. Di mana, kedinamisan kapal-kapal lokal ini akan memberikan angin segar terhadap standarisasi pelabuhan yang baik.

Keempat, asas infrastruktur. Dalam hal ini, kapal-kapal Indonesia akan menjadi pilar utama dalam pelayanan perdagangan melalui transportasi laut. Sehingga permintaan jasa yang di minta oleh pasar akan terlayani oleh kapal-kapal Indonesia. Oleh karenanya, akan terciptanya pelayanan publik (transportasi laut) yang memadai dan maksimal. Kelima, akan terdapatnya regulasi dan investasi. Dalam hal ini, pelayanan pelayaran dan perdagangan via laut akan menjadi fokus bagi pemerintah. Dimana akan terciptanya regulasi yang mengatur tata pelayaran dan tata kelautan, serta regulasi mengenai investasi yang ingin menanamkan modal. Tentu, dengan kedaulatan maritim berupa regulasi yang ditetapkan oleh negara Indonesia akan memberikan pendapatan bagi kas negara.

Selain itu, negara Indonesia sebagai negara kepulauan dicirikan dengan apa yang disebut port state. Dalam hal ini, eksistensi pelabuhan yang ber-skala internasional adalah esensi dari julukan port state tersebut. Indonesia yang notabene terletak diposisi silang antara dua samudra yaitu Samudera Pasifik dan Samudera Indonesia, serta diantara dua benua yaitu benua Asia dan benua Australia. Dengan letak posisi silang ini, maka Indonesia merupakan jalur lalu lintas dunia, yang mana kapal-kapal akan banyak melintasi perairan Indonesia. Hal tersebut sebangun dengan asas hak lalu lintas damai kapal-kapal asing yang melakukan pelayaran dan perdagangan matra laut.

Dengan fakta tersebut, negara Indonesia akan menjadi pilihan bagi kapal-kapal asing untuk melakukan bongkar-muat isi kapal dan juga bersandar. Hal tersebut akan terlaksana, jikalau terdapatnya konektivitas antar lembaga negara untuk menyediakan pelabuhan kelas internasional. Dan yang terakhir adalah ruang hidup sebagai Coastal State. Dalam hal ini, negara Indonesia harus mentitikberatkan fokus menjadi negara pantai yang maksimal. Permasalahan yang diusung negara pantai meliputi permasalahan menyoal landas kontinen, garis batas laut teritorial, zona ekonomi eksklusif, dan jalur tambahan.

Pada akhirnya, gagasan ASEAN Maritime Community dengan Indonesia sebagai Key Player nya akan memaksimalkan national power Indonesia dalam merumuskan politik luar negeri, guna mempertahankan segenap kepentingan nasional dan mempertahankan eksistensi dalam percaturan sistem politik internasional yang kian dinamis dan anarkis ini.

Konferensi Asia – Afrika merupakan pertemuan khusus negara–negara non–blok yang menghasilkan Dasa Sila Bandung dan Politik Luar Negri bebas aktif Indonesia. Indonesia yang pada saat itu berada sebagai negara yang lahir pasca perang dunia ke II berada dibawah tekanan dua kekuatan besar yaitu blok kapitalis barat dan blok komunis soviet. Tak hanya indonesia, negara–negara pasca perang dunia kedua lain seperti Indonesia, Pakistan, Srilanka, India, dan Myanmar ikut sebagai negara pelopor Konferensi Asia Afrika.

Pada perkembangnya Politik Luar Negri Bebas Aktif Indonesia juga membawa indonesia kedalam kubu gerakan negara – negara non – blok seperti Yugoslavia, India, Mesir, Pakistan, Kuba, Kolombia, Venezuela, Afrika Selatan, Iran, dan Malaysia.Kubu gerakan negara non–blok sendiri tidak hanya sekedar sebagai politik pembendungan hegemoni Soviet dan Amerika Serikat – Uni Eropa, namun juga sebagai oportunitas negara–negara gerakan non–blok untuk membangun kerjasama ekonomi lebih independen. Namun tidak bisa dipungkiri juga bahwa negara – negara non blok yang pada akhirnya memihak pada satu kubu negara besar misalnya Kuba dan India yang lebih mendukung Soviet, termasuk Indonesia.

ASEAN yang katanya merupakan perkumpulan negara–negara non–blok dan mempelopori politik bebas aktif di regional Asia ingin bebas dari pengaruh negara–negara besar khususnya dari Amerika Serikat dan Uni – Eropa, Apakah ASEAN dan Indonesia mampu lepas dari pengaruh tersebut?

Pertama, dari kebanyakan negara – negara anggota non – blok di era dunia bipolar (Blok Soviet & Blok Barat) tidak ada yang bisa benar – benar tidak berpihak pada salah satu kubu, khususnya di bidang politik dan pertahanan. Dalam konflik di era perang dingin misalnya negara mesir berakhir pada keberpihakan nya pada Blok Soviet pada saat perang Arab – Israel, juga Indonesia yang pada waktu itu juga memihak Blok Soviet dan Malaysia – Singapura pada Blok Barat. Bahkan di bidang pertahanan sendiri seperti yang ada di ASEAN saat ini seperti Five Power Defense Agreement (FPDA) yang memberlakukan pakta pertahanan yang melibatkan keberpihakan Malaysia – Singapura, hal tersebut berpotensi meningkatkan rasa tidak aman di kawasan. Lalu di bidang ekonomi di regional ASEAN, negara – negara seperti Malaysia, Vietnam, Brunei, & Singapura memilih bergabung dengan TPP, hal tersebut dapat memancing hegemoni AS terhadap intergritas ekonomi ASEAN. Pada Tanggal 1 Desember 2016 dari straitstimes.com, Presiden Singapura Tony Tan Keng Yam bertemu Perdana Mentri Jepang Shinzo Abe membicarakan percepatan ratifikasi Trans Pasific Partnership (TPP) yang akan ditandatangani pada Februari 2018. Kedua negara ini juga menginginkan strategi Pivot AS di Asia, khususnya di ASEAN.

Kedua, dari kasus – kasus yang sudah dijelaskan melihat situasi dinamika politik di regional ASEAN, Indonesia tentunya akan sangat kesulitan mengahadapi tekanan dari AS maupun Uni Eropa. Negara Indonesia masih sangat bergantung dengan investasi–invetasi multinasional untuk menopang perekonomian negara. Situasi ketergantungan ini justru akan memudahkan Indonesia terjebak kedalam permainan–permainan regulasi multinasional negara–negara TPP, AS, maupun Uni Eropa. Tak hanya di Indonesia namun negara–negara ASEAN yang memiliki tingkat ketergantungan seperti Indonesia juga akan mengalami hal yang sama. Tingkat ketergantungan Indonesia terhadap investasi multinasional yang sangat tinggi kurangnya karena kurangnya dan lemah teknologi produksi rata – rata negara ASEAN khususnya Indonesia, semua itu dimiliki produsen – produsen multinasional namun tidak untuk produsen – produsen lokal.

Jadi ASEAN dan Indonesia akan sangat sulit lepas dari pengaruh skema politik hegemoni AS dan Uni Eropa, juga penerapan politik bebas aktif Indonesia juga akan sangat sulit diterapkan karena dari aspek kemampuan ekonomi Indonesia dan faktor dinamika politik eksternal yang terus menekan negara – negara berkembang dan non – blok seperti Indonesia. Menyikapi situasi seperti ini indonesia juga harus mencari politik alternatif untuk membendung politik ekonomi diskriminatif AS – Uni Eropa dan pengikutnya untuk mengimbangi negara – negara tersebut, Misalnya membangun intrumen – instrumen kerjasama ekonomi dengan negara – negara non – blok yang lebih independen atau dengan Rusia yang mampu mengimbangi hegemoni AS dan Uni Eropa.

Referensi Bacaan

  1. Dam, Syamsumar. 2010. Politik Kelautan. Jakarta:Bumi Aksara
  2. Kissenger, Henry. 2002 Foreign Policy: Crisis, Does America Need a Foreign Policy. USA: Simon&Schuster
  3. Fliint, Colin. 2006. Intoduction To Geopolitics. New York: Routledge
  4. Yani, Ahmad

Penulis : Rohman Wibowo dan Randy Adiwinata, Mahasiswa Ilmu Hubungan Internasional Universitas Nasional yang tergabung dalam Vox Muda

Facebook Comments
Social Media Auto Publish Powered By : XYZScripts.com