Gaji Jurnalis, Kompetensi Jurnalis dan Perusahaan Pers

Bagikan artikel ini

Toni Sudibyo, peneliti di Forum Dialog (Fordial)

Menjadi wartawan selain dibutuhkan intelektualitas yang tinggi, kecakapan dan kemampuan menguasai bahasa asing yang baik, bersosialisasi yang handal, tahan terhadap tekanan kerja yang diwujudkan dalam bentuk dateline sampai kepada kewajiban untuk menjaga marwah wartawan agar profesi ini selalu dapat dipertahankan sebagai pilar keempat demokratisasi.

Diakui atau tidak, potret jurnalis atau wartawan di Indonesia memang cukup beragam. Mereka yang memiliki kemampuan jurnalistik yang baik dan memiliki standar kompetensi wartawan, seringkali menjadi andalan perusahaan pers bahkan tidak menutup kemungkinan terjadi “pembajakan” terhadap wartawan yang bermutu.

Salah satu upaya untuk menjaga profesionalitas wartawan, maka penerapan standar kompetensi wartawan adalah sebuah keniscayaan, karena hal tersebut demi memelihara kepercayaan publik terhadap media massa. Dalam standard kompetensi wartawan, ada tingkatannya yaitu wartawan muda, madya, dan wartawan utama.

Kepada penulis, salah seorang anggota Dewan Pers menyatakan bahwa pihaknya melihat beragamnya keluhan masyarakat terhadap wartawan. Ada juga yang memanfaatkan profesi wartawan untuk kepentingan pribadi atau bukan kepentingan umum. Maka dibentuklah standar kompetensi ini untuk menjaga profesionalitas wartawan, dimana profesionalitas diukur dari dua aspek yaitu kompetensi dan integritas.

Standar kompetensi wartawan sudah disetujui oleh perusahaan pers dan masyarakat pers. Ini merupakan peraturan Dewan Pers yang didasarkan pada UU Pers. Menurut catatan Dewan Pers, saat ini sudah 1.000 orang wartawan yg memiliki sertifikat kompetensi tersebut. Sertifikasi ini dilakukan untuk meningkatkan harkat dan martabat pers itu sendiri. Jadi akan dipisahkan wartawan yang bener dan yang tidak bener.

Keinginan Dewan Pers agar wartawan memiliki standar kompetensinya, perlu direspons secara progresif dan pro aktif baik jajaran aparat pemerintah khususnya Kementerian Kominfo, legislatif khususnya Komisi I dan III serta dari komunitas wartawan itu sendiri seperti PWI, AJI, PJI, dan lain-lain. Dan terutama sekali tentu saja dari pihak penerbit atau perusahaan koran bersangkutan, dimana wartawan itu bekerja. Karena dari situlah sumber utama kesejahteraan wartawan berasal. Jika perusahaan bersangkutan mampu membayar cukup, mengapa perlu amplop?

Lepas dari itu standar kompetensi wartawan memang sangat diperlukan, agar muncul sosok wartawan yang tidak hanya idealis dan professional juga yang nasionalis. Ini penting mengingat pemberitaan media massa adalah salah satu sarana paling efektif baik dalam rangka edukasi publik ataupun dalam rangka mempropaganda publik untuk berbuat atau tidak berbuat sesuatu hal serta mendukung atau tidak mendukung sebuah kebijakan tertentu.

Tidak hanya itu saja, dengan adanya standar kompetensi wartawan maka diharapkan akan meningkatnya perhatian dunia usaha dan pemerintah terhadap nasib para wartawan. Sebab dengan standar ini maka wartawan menjadi professional dan yang namanya professional wajar mendapatkan reward yang cukup memadai.

Persoalan krusial lainnya yang dialami awak media adalah soal rendahnya gaji wartawan. Kondisi kronis ini juga banyak yang telah mencemarkan nama baik institusi dan profesi “kuli tinta” ini. Rendahnya gaji wartawan juga disebabkan banyak perusahaan pers yang belum layak memenuhi standar perusahaan pers yang ideal atau sehat, yaitu sebuah perusahaan pers yang mampu memberikan gaji yang memadai kepada wartawannya, memiliki struktur karir yang jelas bagi wartawannya serta jaminan kesejahteraan lainnya.

Menyikapi masih kurang layaknya gaji wartawan, Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Jakarta mengeluarkan siaran pers mengenai “Upah Layak Jurnalis 2014 tingkat Reporter Rp5,7 juta per bulan”, berisi sebagai berikut, bersamaan dengan penetapan Upah Minimum Prov. (UMP) di DKI Jakarta, AJI Jakarta melakukan survei kebutuhan hidup layak, dan menetapkan upah untuk jurnalis tingkat reporter adalah Rp 5,7 juta per bulan. Besaran upah tersebut dipandang dapat memenuhi kebutuhan hidup layak para reporter di Jakarta pada 2014, besaran upah layak tersebut diperoleh dari perhitungan dan analisis terhadap 39 barang dan jasa menyangkut kebutuhan hidup layak bagi seorang jurnalis di Jakarta. Komponen yang menempati porsi terbesar adalah makanan sebesar Rp 2,1 juta per bulan, komponen kebutuhan penunjang tugas jurnalistik sebesar Rp 1,5 juta per bulan, dan sisanya Rp 2.1 juta untuk kebutuhan tempat tinggal dan sandang.

AJI Jakarta menghimbau perusahaan media dan organisasi perusahaan media cetak, online dan radio dan televisi untuk menjadikan upah layak ini sebagai acuan dalam memberikan upah minimal kepada jurnalis setingkat reporter, dengan pengalaman kerja 1 tahun dan baru saja diangkat menjadi karyawan tetap, karena sebagian besar media masih memberikan upah yang jauh di bawah upah layak kepada para reporternya sebesar sekitar Rp 3 juta per bulan.

Sebelumnya, bertepatan dengan peringatan hari buruh internasional, Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Yogyakarta menuntut kenaikan gaji wartawan atau buruh berita menjadi Rp 3.860.070 per bulan. Tuntutan gaji sebesar itu naik 22,6% dari tuntutan gaji yang dilontarkan AJI pada tahun lalu sebesar Rp 3.147.980. Angka sebesar itu berdasarkan survei upah layak jurnalis di Yogya yang telah dilakukan AJI sejak 23-29 April lalu. Penetapan itu berdasarkan harga barang di toko/pasar dan Indeks Harga Konsumen (IHK). Tuntutan kenaikan gaji itu jauh dari Upah Minimum Provinsi (UMP) DIY saat ini sebesar Rp 892.660. Hasil survei AJI juga masih menemukan perusahaan media di Yogya yang memberi upah jurnalisnya di bawah UMP.

Dampak Gaji Rendah

Rendahnya gaji jurnalis ditengarai memicu jurnalis membuat berita yang tidak berkualitas. Lebih jauh menyebabkan mereka tergoda menerima amplop yang melanggar kode etik jurnalistik, seperti bukan rahasia umum lagi jika masih banyak jurnalis yang menerima amplop juga sengaja mencari amplop demi memenuhi kebutuhan mereka.

Persoalan lainya yang hingga kini masih mengemuka adalah masih banyak jurnalis yang bekerja tanpa kontrak yang jelas dan jaminan sosial seiring berkembangnya media online saat ini di mana media membutuhkan banyak responden maupun stringer. Yang juga penting adalah para buruh media berserikat dengan membentuk serikat pekerja.

Secara teoritis, nampaknya gaji seseorang wartawan yang berkerja sebagai wartawan tetap sesuatu media massa, akan tergantung besar kecilnya media massa yang bersangkutan. Ibarat sebuah perusahaan, meskipun sudah ada UMP, tetapi gaji seseorang pekerja tentu akan tergantung besar kecilnya perusahaan yang bersangkutan. Pendapatan seseorang wartawan nampaknya akan tergantung kemampuannya menulis sesuatu artikel, buku, menjadi narasumber ataupun menjadi mitra kerja lembaga atau institusi di luar wartawan sebagai sumber pendapatan tambahan.

Rendahnya gaji jurnalis juga mengkhawatirkan ketahanan nasional, karena sejatinya keberadaan wartawan yang nasionalis dan memiliki wawasan kebangsaan yang kuat, sangat diperlukan tidak hanya dalam pencerdasan bangsa. Namun juga dalam proses nation character building yang belum selesai sampai ini, termasuk wartawan yang bisa dijadikan mitra mencegah infiltrasi budaya asing dan bermacam-macam ancaman dari luar negeri yang sekarang ini diakui atau tidak sudah bersifat non konvensional, asimetris atau tidak berpola serta multidimensional.

Facebook Comments
Social Media Auto Publish Powered By : XYZScripts.com