Permasalahan Daftar Pemilih Tetap dan Ancaman Golput

Bagikan artikel ini

Satya Dewanggapeneliti muda di Kajian Nusantara Bersatu. Tinggal di Jakarta

Sebuah berita menyatakan, jumlah pemilih Pemilu 2014 mengalami peningkatan sebanyak 10 % dibandingkan dengan Pemilu Legislatif 2009, namun tren kenaikan jumlah pemilih tersebut tidak sebanding dengan partisipasi politik pemilih yang justru menurun sebanyak 20%.

Menurut penulis, angka-angka yang menyebutkan bahwa tingkat partisipasi pemilih akan turun sebesar 20 % masih dapat diperdebatkan, sedangkan DPT untuk Pemilu 2014 masih dalam proses. Partisipasi Pemilih baru diketahui setelah hari Pemilihan bulan April 2014. Nota bene DPT bukan menunjukkan jumlah orang yang memilih tetapi Daftar dari mereka yang berhak memilih.

KPU hanya berkepentingan bahwa mereka yang berhak memilih dan dicatat dalam DPT adalah mereka yang punya NIK,  dengan diketemukannya NIK mereka akan diketahui pula data-data lain dari penduduk ybs. Bagi KPU, syarat utama boleh memilih adalah apabila mempunyai NIK.

Bagaimanapun juga, dibalik kisruh DPT ini memang ada suasana kecurigaan terhadap KPU sebagai pembohong dan membawa kepentingan sesuatu Parpol menghadapi Pemilu 2014. Tetapi bagaimana skenario pembohongan tersebut tidak jelas, sehingga kecurigaan lebih didasarkan prasangka.

Sementara itu, berdasarkan penelitian JPPR (Jaringan Pendidikan Pemilih untuk Rakyat) diperkirakan, ada 4-5 dari 500 pemilih di sebuah tempat pemungutan suara (TPS) yang meninggal dunia dalam kurun waktu enam bulan. Deputi Koordinator JPPR, Masykurudin Hafidz mengatakan bahwa  adanya pemilih yang meninggal dunia sangat berbahaya. Sebab, namanya bisa dimanfaatkan pihak-pihak tertentu untuk menggelembungkan perolehan suara.

Apabila ada Pegawai Negeri Sipil yang meninggal namanya tetap muncul dalam daftar gaji sangat mungkin terjadi. Tetapi dalam Pemilu seseorang yang sehabis memilih jarinya diberi tinta sebagai tanda ia telah memilih, lalu bagaimana orang itu dengan nama lain bisa milih di TPS yang lain tanpa diketahui. Dalam sejarah Pemilu orang yang akan mencoba memilih dua kali pasti ketahuan. Oleh karena itu, media massa sebaiknya kritis boleh tetapi harus logis. Memilih di dua TPS tidak mudah dan cenderung ketahuan.

KPU dengan jujur mengatakan ada 186 juta pemilih dengan 10,7 juta bermasalah NIK nya belum ada. Kok mau digugat dan akan diajukan ke DKPP salahnya apa. KPU sudah lapor secara terbuka, dan menyatakan akan terus menyisir 10,7 juta nama tersebut. Oleh karena itu, alasan Forum Pasca Sarjana Hukum Tata Negara Universitas Indonesia, mengapa KPU akan digugat ke DKPP. KPU juga tahu dari 10,7 juta sesuai UU Pemilu untuk bisa memilih harus ketemu NIK-nya. Kalau KPU dicurigai telah bohong, yang menuduh KPU bohong harus dapat memberikan gambaran bagaimana skenario kebohongan tersebut.

Kekisruhan DPT sebenarnya pernah terjadi pada tahun 2009, sehingga MK memutuskan semua penduduk Indonesia yang mempunyai KTP berhak memilih. Ketidak jujuran berpolitik mengakibatkan kekisruhan DPT menghadapi Pemilu 2014 dicurigai sebuah kesengajaan politik oleh fihak yang berpengaruh terhadap KPU. Meskipun sulit dibayangkan bagaimana terjadinya rekayasa politik tersebut tetapi image Pemilu memang  cacat tidak dapat dicegah. Optimisme DPT dapat diselesaikan pada waktunya masih ada, meskipun juga mengkhawatirkan.

Menurut penulis, rasanya tidak ada Partai sekalipun yang berani menghentikan Pemilu karena ada 10,7 juta pemilih yang sementara ini datanya belum lengkap. Sedangkan sisa dari 186 juta penduduk atau hampir 90% penduduk siap memilih. Oleh sebab itu sikap yang benar, agar semua fihak membantu menuntaskan masalah 10,7 juta penduduk yang masih nggantung nasibnya, sehingga akhirnya tuntas dan bisa memilih.

Facebook Comments
Social Media Auto Publish Powered By : XYZScripts.com