Geopolitik Cinta (Tanah Air)

Bagikan artikel ini

Penulis : M Arief Pranoto, Research Associate di Global Fu ture Institute (GFI)

Catatan ini merupakan review dari salah satu topik (diskusi) bertema “cinta” di Forum Belajar Tauhid asuhan putune Sunan Ngudung, Jogo Kali, beberapa waktu lalu. Dalam perspektif religi, materi yang dibahas selain menggetarkan jiwa-jiwa (saya) yang gersang —karenanya perlu siraman rohani— namun materi dimaksud dapat juga dijadikan pisau analisa atau semacam asumsi guna mengkaji gelagat perpolitikan baik tataran lokal, regional maupun global yang sepertinya tanpa arah dan cenderung menjauh dari apa yang dinamakan “cinta”. Entah cinta yang dikemas kemanusian (HAM), atau cinta berlabel kemerdekaan (freedom dan demokrasi), cinta akan tanah air (nasionalisme), dan sebagainya.

Mengingat pentingnya mahabbah  (cinta) dalam perikehidupan, terutamaSelanjutnya, makna ‘geopolitik’ pada judul Geopolitik Cinta di atas, jangan diartikan lurus sebagaimana teori dasar geopolitik yang dicetuskan oleh Prof Friedrich Ratzel (1844-1904), German; Prof Rudolf Kjellen (1864-1922), Swedish; atau Sir Halford Mackinder (1861-1946) dan lain-lain. Meski nantinya disinggung sedikit. Mohon disimpan dulu teori-teori mereka. Geopolitik disini, silahkan dimaknai sebagai bentuk keuniqan, kelebihan, kedalaman, atau tentang seluk beluk “makna sesuatu” —sekali lagi, makna sesuatu— bukan menjelaskan arti, maksud, ataupun definisi daripada ‘cinta’ itu sendiri. Dalam perspektif filsafat, ini sering diungkap dalam kalimat: “menguak hal-hal tersirat dari (cinta) yang tersurat”.

Siapapun orang, apapun agama serta ideologinya, dan dimanapun ia berada – selama disebut manusia (insan), niscaya mata batinnya tertuju pada satu arah, yaitu: ingin menggapai CINTA dan CITA-CITA. Betul? Inilah premis awal. Seorang bapak misalnya, pasti ingin mengurai cintanya pada anak dan istri dengan menggapai cita-cita yaitu keluarga bahagia, sejahtera, lahir dan batin. Apalagi suatu negara. Sebagai organisme dinamis, negara cq pemerintah melalui berbagai program kebijakan niscaya berupaya mewujudkan masyarakat yang adil berkemakmuran dan makmur berkeadilan. Tak bisa tidak.

Di Indonesia, aplikasi cinta dan cita-cita negara sebagaimana di atas, tercantum pada pembukaan UUD 1945 dimana esensi adalah: (1) melindungi segenap tumpah darah, (2) memajukan kesejahteraan umum, (3) mencerdaskan kehidupan bangsa, (4) turut serta dalam ketertiban dunia. Pertanyaannya: sejauhmana implementasi cinta dan cita-cita Ibu Pertiwi di era kini?

Mengibaratkan cinta, ia pun menggelegar laksana debur ombak di samudera tidak bertepi. Bukankah cinta tak pernah membosankan bagi siapapun? Tengoklah! Bahkan orang-orang usia lanjut bisa kebacut; sedang yang remaja dan pemuda pun kerap membuat kecewa. Adakah cinta lain selain dirinya? Begitu asyiknya mereka mencari hakiki “rasa” yang tersembunyi dibalik sebuah cinta.

Betapa rasa cinta itu sejatinya bersembunyi di antara (sedap)-nya garam dan pahit yang melekat di air. Sedapnya bercinta di satu sisi, sering membuat buta, terkadang membikin hati gundah gulana. Hal ini tentu dapat menerpa siapa saja. Tidak tua, tak pula muda. Tidak penguasa juga rakyat jelata. Kaya atau si miskin, sama saja. Namun di sisi lain, pahitnya bercinta, ibarat petualang yang sekedar mereguk secangkir kopi lalu pergi. Entah kemana.

Dan kehidupan di jagad ini, boleh disyairkan seperti bahtera yang mengarungi lautan guna meraih cinta dan cita-cita. Tak bisa dipungkiri, setiap diri niscaya ingin menggapai kesenangan dan kebahagian baik dalam kehidupan nyata (kini) maupun di kehidupan nanti sebagaimana lafaz harapan pada doa-doa manusia: Ya, Tuhan kami, berilah kami kebaikan di dunia dan kebaikan di akhirat dan peliharalah kami dari siksa neraka.

Cinta, kata sebuah sastra yang berbaju filsafat, adalah “sesuatu” berujud pengungkapan, perasaan, pengorbanan, pengertian, dan program. Silahkan simak retorikanya: (1) bagaimana disebut cinta jika tak pernah mengungkapkan apa-apa;  (2) mungkinkah cintamu disebut suci, sedangkan kamu tak memiliki perasaan apa-apa; (3) bagaimana cintanya dikatakan sejati bila ternyata ia tidak pernah berkorban apa-apa; demikian seterusnya. Retorika terakhir: bagaimana cintamu dikatakan tulus dan iklas, sementara engkau tak punya program apa-apa? Itulah cinta dari sisi (sastra) filosofi — silahkan dijabarkan atau dianalogi pada masing-masing diri, keluarga, institusi, negara, dan lainnya.

Catatan khusus dalam hal ini, seringkali nafsu-nafsu angkara tampil dalam dinamika sosial politik di suatu bangsa namun (berkedok) dilembagakan atas nama cinta oleh segelintir elit politik, kelompok, golongan bahkan negara (asing). Padahal jika diurai sesuai logika cinta – ternyata tidak satu pun unsur masuk dalam kriteria. Mungkin inilah yang dikatakan rekayasa cinta atau pendangkalan maknanya. Bagaimana mengatakan cinta, bila dirimu sama sekali tidak punya pengertian apa-apa?

Meraih cinta dan cita-cita itu satu tarikan nafas. Tak boleh tidak. Pada sastra Jawa dibunyikan: culiko mlebu warongko. Andaikan terhunus pedang dari rangkanya, niscaya menghujam lawan-lawannya. Maknanya adalah, bahwa sifat adigang – adigung –  adiguna, sopo wani mring ingsun akan terkesan angkuh, congkak lagi arogan di permukaan, namun bila diletak pada TEMPAT SEMESTI-nya justru merupakan piyandel  (andalan). Ia dapat berubah menjadi ageman kang sunyotoalias pegangan hidup. Prabowo kang sumebar (wibawa yang bersinar).

Dalam panggung politik global misalnya, tatkala”kalimat sastra” di atas DITEMPATKAN dalam paradigma politik luar negeri Indonesia, niscaya akan meningkatkan nasionalisme bangsa, atau bahkan mampu memperkokoh ketahanan nasional. Foreign affair begin at home. Ya, politik luar negeri merupakan refleksi atas urusan-urusan internal sebuah negeri.

Negeri-negeri lain pun bakal berpikir ribuan kali jika hendak mencoba mengusik kedaulatan republik ini, karena “baju” segenap rakyat, ageman para elit politik dan pejabat negaranya ialah “cinta tanah air” (nasionalis). Bukan sebaliknya. Maka sungguh sangat  memprihatinkan, ketika salah satu elit pengambil kebijakan di negeri ini justru menyuruh mengantongi dulu nasionalisme di tengah arus globalisasi. Ibarat seorang bapak yang disuruh menanggalkan ‘cinta’-nya kepada anak, istri dan keluarga. Mungkinkah?

Mengakhiri tulisan sederhana ini —sekali lagi— sifat adigang-adigung-adiguno sebaiknya ditempatkan sebagai paradigma politik agar segenap tumpah darah, terutama para elit politik dan kaum diplomat memiliki pegangan nyata (komando) dan wibawa yang bersinar dalam menjalankan amanat rakyat. Demikianlah adanya, demikian sebaiknya.

Bangkitlah bangsaku!

 

Facebook Comments
Social Media Auto Publish Powered By : XYZScripts.com