Geopolitik – Energy Security untuk Kepentingan Nasional RI (Bagian 1)

Bagikan artikel ini

M Arief Pranoto, Research Associate Global Future Institute (GFI)

“Gerak ialah sumber kehidupan dan gerak yang dibutuhkan di dunia ini bergantung pada energi. Siapa yang menguasai energi maka dialah pemenang. Dunia akan bertekuk lutut kepada siapa yang punya minyak. Hey, joullie (kalian = bahasa Belanda) tahu siapa yang punya minyak paling banyak, siapa yang punya penduduk paling banyak. Inilah bangsa Indonesia, Indonesia punya minyak, punya pasar. Jadi minyak itu dikuasai penuh oleh orang Indonesia untuk orang Indonesia, lalu dari minyak kita ciptakan pasar-pasar dimana orang Indonesia menciptaken kemakmurannya sendiri” (Bung Karno, 1960).

Sebelum gaduh kemunculan urgensi energy security bagi suatu negara, setidaknya pasca oil shock 1973-an tatkala Amerika Serikat (AS) dan sebagian negara Eropa diembargo oleh Arab Saudi, kemudian oil shock 1979 berupa embargo minyak oleh Iran, tampaknya ‘trawangan’ (semacam ramalan, atau prakiraan) Bung Karno (BK) sebagaimana prolog di atas perihal the power of oil sudah melampaui zaman. BK memang luar biasa!

Catatan tak ilmiah ini mencoba membahas energy security yang mutlak harus dimiliki negara manapun dan sampai kapanpun, baik ia net oil exporter apalagi jika statusnya sudah net oil importer semacam Indonesia sekarang ini. Ya. Terkait energy security, mutlak diperlukan strategi jangka panjang, atau lebih tepat bila disebut “strategi sepanjang masa”!

Tidak ada definisi baku soal energy security. Hampir setiap negara memiliki pemahaman masing-masing sesuai urgensi dan geopolitik negara. Yang prinsip, energy security tidak boleh diartikan sekedar “keamanan energi” belaka, akan tetapi lebih dimaknai sebagai jaminan pasokan energi pada sebuah negara dalam waktu tertentu. Artinya sejauh mana pemerintah bersangkutan mampu menjamin ‘keadaan’ atau ketersediaan stock energi bagi dinamika bangsa dan negara. Itu garis besarnya.

Membahas energy security dimanapun, menurut Dirgo D Purbo, pakar geopolitik dan geo-ekonomi serta dosen pada beberapa pendidikan kedinasan dan perguruan tinggi —- kata kuncinya adalah 4-A yaitu availability, acceptibility, accesibility, affordibility. Adapun 4-A tersebut antara lain:

Availability

Ketersediaan energi (minyak). Hal yang mutlak dipastikan ialah darimana asal dan sumbernya. Dalam catatan ini diambil contoh Cina. Ia memilih Kaspia yang kaya sumber energi sebagai partner, dengan pertimbangan selain kedekatan geografi juga di kawasan tersebut ada beberapa negara penghasil minyak lainnya, seperti Kazaktan, Turkmenistan, Kyrgistan dan Uzbekistan. Yang terbanyak memang Kazaktan karena memiliki cadangan 30 triliun barel serta ranking ke-11 dunia. Ini merupakan terbesar kedua di Asia setelah Rusia. Kemudian maksud availability disini boleh dimaknai, bahwa Kazaktan merupakan “lumbung minyak” bagi Cina dalam jangka panjang.

Acceptibility

Intinya bahwa energi dimaksud dapat diterima atas pertimbangan lingkungan dan keamanan. Dibanding minyak misalnya, batu bara cenderung polutif. Minyak lebih menguntungkan secara ekonomis dan bisa diolah menjadi bentuk energi lain serta mudah disalurkan meski permintaan tinggi. Maksud acceptibility di atas, bahwa minyak lebih dapat diterima baik dari sisi lingkungan maupun keamanan daripada batu bara.

Accessibility

Artinya dapat diakses. Sebagai contoh supply 44% minyak Cina berasal dari Timur Tengah, 27% dari Brazil, Libya, Angola, Sudan dan lainnya yang harus ditempuh melalui perairan serta memakan waktu. Sementara di satu sisi, beberapa pemasok Timur Tengah seperti Saudi Arabia, Kuwait, Irak, dan Oman ialah sekutu dekat Paman Sam — rival beratnya. Dari aspek accessibility, bahwa supply dari Timur Tengah melalui perairan apabila beralih ke Kazaktan via jalur darat akan lebih menguntungkan bagi Cina.

Affordibility

Keterjangkauan baik biaya maupun daya beli. Misalnya, 62% minyak Cina dari Saudi Arabia, Oman, Sudan, Kuwait, Brazil, dan Libya melalui perairan. Sudah barang tentu hal ini sangat berisiko serta memakan biaya bila dibanding supply melalui pipa dari Rusia, Iran dan Kazaktan.  Transportasi jalur pipa lebih rendah resiko dan biaya daripada via kapal-kapal tangki, ataupun jalur kereta api.

Dari telaahan energy security, khususnya aspek affordibility, posisi Cina sebenarnya masih rawan mengingat lebih 62% supply minyaknya berasal dari Saudi Arabia, Oman, Sudan, Kuwait, Brazil, dan Libya melalui perairan yang indikasinya —jalur tersebut— hendak diblokade oleh AS dan sekutu. Selanjutnya pasokan minyak lainnya, selain ia sendiri mampu mencukupi, juga berasal dari beberapa negara Kawasan Kaspia terutama Rusia, Iran dan Kazaktan melalui jalur pipa. Sebaiknya dalam waktu dekat, Cina harus segera melakukan creative breakthrough atau terobosan kreatif —kalau perlu juga kreatif menerobos?— dalam rangka menjamin pasokan energi, apalagi menghadapi “gonjang-ganjing” situasi di Laut Cina Selatan. Kerjasama lebih erat harus dilakukan dengan kelompok negara Kaspia, sebab selain faktor kedekatan secara geografis, lebih aman pula karena menggunakan pipa

Bersambung Bag-2

Facebook Comments
Social Media Auto Publish Powered By : XYZScripts.com