Geopolitik – Energy Security untuk Kepentingan Nasional RI (Bagian 2)

Bagikan artikel ini

M Arief Pranoto, Research Associate Global Future Institute (GFI)

Geopolitik dan Kepentingan Nasional
Tak dapat dipungkiri, sebuah konsep energy security selalu akan berimplikasi kepada dimensi geopolitik maupun geo-ekonomi daripada negara. Inilah konsekuensi realitas kembar. Dengan kata lain, membahas geopolitik berujung ekonomi, bicara geo-ekonomi tak lepas dari peran geopolitik serta implementasinya, dan tidak boleh disangkal, ia akan menjadi agenda prioritas kepentingan nasional negara manapun, terutama bagi negara konsumen yang sangat tergantung dari negara-negara produsen.
Tatkala merasuk dimensi kepentingan nasional, tak ayal segenap elemen bangsa wajib hukumnya dan mutlak bersikap SATU SUARA guna meraih tujuan tersebut. Pada konteks ini boleh dicontoh Paman Sam. Ketika ia meletakkan minyak sebagai prioritas kepentingan nasional, maka siapapun presiden terpilih doktrinnya: the power of oil. Tak bisa tidak. Otomatis setiap langkah dan kebijakan luar negeri merupakan cermin kepentingan di dalam negeri. Foreign policy is reflection domestic affairs, atau dalam adagium lain: foreign policy begin at home.
Merujuk hal di atas, bahwa kebijakan luar negeri semestinya mencerminkan (politik) urusan internal negeri, namun paradigma tersebut tampak mulai berubah, atau jika tidak “dipaksa” bergeser, artinya beberapa negara kini justru menganut kebalikannya. Indonesia salah satunya, betapa ia merancang kebijakan impor dan/atau menambah atau mengurangi kuota impor-ekspornya semata-mata karena tekanan asing, bukannya faktor kebutuhan (internal) nasional. Ini sekedar satu contoh kecil, silahkan dicari lagi hal-hal yang lebih signifikan ketimbang sekedar ekspor-impor. Soal jerat utang mungkin, atau masalah terorisme, dan lainnya.
Persoalannya adalah, tatkala politik domestik bisa dipengaruhi dinamika eksternal, sebenarnya kemandirian dan otonomi negara dimaksud yang perlu digugat, artinya bagaimana strategi, antisipasi, membendung, merespon dll pengaruh dari luar. Tengoklah Iran, Venezuela, Bolivia, Rusia, India dan lain-lain adalah contoh bangsa mandiri serta tidak begitu, sekali lagi — tidak begitu terpengaruh atas kecamuk (trend global) lingkungan eksternal.
Sesuai judul artikel sederhana ini, bahwa antara energy security, geopolitik dan kepentingan nasional itu ibarat satu tarikan nafas —- lagi-lagi, boleh dicontoh Paman Sam. Entah ini aplikasi Teori Polisi Dunia yang dianutnya, atau upaya penguasaan geopolitik global, dll yang jelas ia telah mengembangan apa yang disebut “Kekaisaran Militer” — istilah Connie Rahakundini.
“Kekaisaran Militer”
Dalam perspektif geopolitik global, konon planet bumi cuma dibagi enam komando kawasan militer melalui format US Command guna mengamankan kepentingan nasional Amerika, antara lain adalah US AFRICOM, US CENTCOM, US PASCOM, US EUCOM, US NORTHCOM dan US SOUTHCOM. Selain enam US Commad yang tentunya membawahi unit-unit dan pangkalan militer, total “Kekaisaran Militer AS” berjumlah 1.000-an lebih pangkalan di berbagai negara. Fakta ini memberikan gambaran bahwa hanya sedikit ruang di dunia ini yang tidak terisi oleh militer Paman Sam. Data resmi dari US Departement of Defence (DoD) tahun 2003 menyebut, Pentagon memiliki 702 pangkalan militer pada 130 negara. Dan setidaknya dibutuhkan antara $ 113,2 miliar — $ 591,5 miliar US dollar hanya untuk menggeser satu pangkalan saja. Sedangkan untuk di luar AS, jumlah tentara tidak berseragam mencapai 253.288  dan 4.446 orang lain adalah staf lokal tambahan. Pentagon mengklaim, pangkalannya militernya mencakup 44.870 barak, hanggar, rumah sakit dan lain-lain sebanyak 4.844 bangunan. Luar biasa!
Secara formal  tersurat, pendirian US Commad umumnya dalam rangka mempromosikan keamanan dan membangun kedamaian melalui pencegahan agresi militer, kerjasama keamanan dan lain-lain, akan tetapi temuan Nil Bowie, wartawan kontributor Tony Cartalucci dari Central for Research on Globalization (CRG), Kanada, dalam penelitian perihal US AFRICOM, menarik dicermati bersama. Selain ia dapat menguak hidden agenda lain dari motivasi pendirian komando kawasan militer AS di Afrika, Bowie juga mengetahui tujuan serta tata cara AS menjalankan “the power of oil”-nya. Misalnya, ketika Konferensi AFRICOM, di Fort McNair, 18 Februari 2008, Wakil Laksamana Robert T. Moeller menyatakan: “pedoman prinsip Africom adalah untuk melindungi aliran sumberdaya alam dari Afrika ke pasar global”. Kemudian dalam Konferensi Pers berikutnya, 13 Maret 2008, Jenderal William Ward lebih benderang mengungkap, bahwa ketergantungan AS terhadap minyak Afrika ditindaklanjuti dengan mengoperasionalkan AFRICOM berdasar prinsip dan tujuan teater “memerangi terorisme”. Ini rupanya!
Pertanyaan menggelitik timbul: adakah perbedaan antara prinsip dan tujuan US AFRICOM dengan kelima US Commad yang tersebar di belahan bumi lain? Memang masih perlu pendalaman, tetapi asumsi penulis melalui pencermatan atas pola-pola kolonialisasi Paman Sam selama ini — kemungkinan besar yang membedakan hanya kemasan atau isue-isuenya saja, misalnya di Afrika masalah terorisme, isue di Asia tentang korupsi, HAM, ataupun di Amerika Selatan perihal demokrasi, di Timur Tengah soal senjata kimia, isue nuklir dan lain-lain. Dan diyakini “isi”-nya tetaplah sama, yakni penguasaan ekonomi dan pencaplokan sumberdaya alam (SDA) di negara target terutama penguasaan atas minyak, minyak dan minyak. Itulah kedahsyatan the power of oil, doktrin siapapun Presiden AS!
Dari uraian tadi bisa dilihat, betapa besar pengerahan sumberdaya oleh Paman Sam dalam rangka mengamankan kepentingan nasional yang titik tolaknya berangkat dari energy security dimana cakupan dimensi teramat luas sebab meliputi geopolitik, geostrategi, dan lainnya. Entah berapa biaya operasionalisasi, termasuk berapa pula perolehan Paman Sam dari penggelaran “Kekaisaran Militer” di planet bumi. Pertanyaan menarik kini: bagaimana praktek-praktek energy security dan cakupan dimensinya di Indonesia?
Bersambung ke Bagian 3
Facebook Comments
Social Media Auto Publish Powered By : XYZScripts.com