Geopolitik Sungai Nil: “Mainan Baru” Kolonial di Jalur Sutera? (Bag-1)

Bagikan artikel ini

 M Arief Pranoto, Research Associate Global Future Institute (GFI)

Geopolitik Sungai Nil? Barangkali menarik diulas terkait konstalasi atas ‘panas’-nya suhu politik di Jalur Sutera. Tak boleh dipungkiri, Nil adalah sungai terpanjang di dunia (sekitar 6.650 km/4.132 mil) dan alirannya melintasi beberapa negara yakni Tanzania, Uganda, Rwanda, Burundi, Kongo, Kenya, Ethiopia, Eritrea, Sudan Selatan, Sudan dan Mesir. Ia memiliki dua anak aliran yaitu Nil Putih dan Nil Biru. Sungai Nil Putih bersumber dari Danau Victoria (Lake Victoria) di Uganda, danau terbesar di Afrika. Arusnya tidak deras, lambat dan berasa asin. Dari sungai ini diperoleh ikan-ikan rasa asin. Aliran Nil Putih menuju Khartoum, Ibukota Sudan harus melewati Juba, ibukota Sudan Selatan. Sedangkan Nil Biru bermula dari air terjun Tis Issat yang mengalir ke Danau Tana (Lake Tana)sebagai hulu (sumber) aliran di Ethiopia.

Kedua aliran sungai, baik Nil Putih maupun Biru bertemu  di Khartoum membentuk induk Sungai Nil kemudian mengalir ke hilir (Mesir) serta bermuara di Laut Tengah. Sungai Nil menyediakan sumber daya air primer sehingga menjadi arteri hidup terutama bagi kelompok negara yang berada di hilir sungai, seperti Mesir dan Sudan.

Kendati alirannya melewati beberapa negara, tetapi dari aspek sejarah, Nil itu identik dengan Mesir karena peranannya yang penting baik bagi peradaban, kehidupan dan terutama sejarah bangsa Mesir tempo doeloe bahkan hingga kini. Tak bisa dielak. Salah satu sumbangan Nil ialah membuat tanah subur di sepanjang daerah aliran sungai sebagai hasil sedimentasi, lalu dengan tanah yang subur ini penduduk Mesir mengembangkan pertanian dan peradaban sejak ribuan tahun lalu. Itulah sepintas tentang Sungai Nil yang akan menjadi topik utama catatan ini.

Pointers yang layak dicermati sehubungan perspektif tulisan ini, bahwa beberapa wilayah aliran Nil, selain terdapat negara yang berkedudukan di HULU bahkan merupakan SUMBER bagi anak-anak sungai. Itulah Nil Putih di Uganda dan Nil Biru di Ethiopia. Juga ada beberapa negara yang hanya menjadi lintasan saja, seperti Tanzania, Rwanda, Burundi, Kongo, Kenya, Eritrea, Sudan Selatan, dll; akan tetapi terdapat pula negara yang letaknya di HILIR aliran Nil yaitu Sudan dan Mesir. Inilah sekilas mapping geografis aliran di Sungai Nil.

Tinjauan geopolitik, menciptakan konflik di negara-negara yang berkepentingan dengan aliran Sungai Nil sangat mudah sekali, secara asimetris, stop atau hambat saja “sistem” di hulu niscaya berakibat fatal bagi negara-negara di bawahnya terutama yang di hilir aliran. Dalam metode divide et impera atau adu jangkrik, inilah yang disebut dengan “titik kritis” atau archilles. Tinggal sulut di hulu maka terbakarlah yang di hilir!

Meyimpang sebentar soal Nil, tapi masih terkait topik tulisan. Bahwa gejolak politik di Jalur Sutera, khususnya khabar tentang kekalahan kelompok oposisi yang didukung oleh Barat pada konflik di Syria, juga munculnya “revolusi jilid II” di Mesir pasca Mubarok tumbang, dan lain-lain. Ya. “Barat” dalam hal ini adalah Amerika Serikat (AS) dan sekutu, baik sekutu ideologis Uni Eropa maupun sekutu pragmatisnya di Arab (terutama kelompok Dewan Kerjasama Teluk/GCC) plus Israel. Sekali lagi, GCC plus Israel.

Sepertinya, apapun istilah gerakan AS dan sekutu, entah itu smart power, US Military Roadmap, asimetris, irraguler, ataupun hard power semodel keroyokan militer oleh AS dan NATO di Irak, Afghanistan, Libya dan lain-lain, intinya adalah kolonialisasi Barat terhadap negara-negara kaya minyak dan gas di Jalur Sutera. Dengan demikian, isue dan stigma semacam senjata pemusnah massal, pemimpin tirani, konflik sektarian, demokratisasi, korupsi, kemiskinan, pelanggaran HAM, dan lainnya, hanya sekedar kedok atau dalih bagi Barat untuk mengacak-acak kedaulatan negara yang ditarget. Inilah pola berulang kolonialisme yang dikembangkan tetapi kenapa banyak bangsa di dunia justru larut ke dalam “tarian gendang” yang ditabuh oleh Barat;  tidak tahu, atau takut? Atau pura-pura tidak tahu karena ikut mencicipi? Retorika ini tak usyah dijawab agar catatan ini bisa dilanjutkan.

Tidak boleh disangkal, out of control-nya serangan asimetris Barat di Jalur Sutera dapat dicatat sebagai potret atas redup serta berubahnya Arab Spring (musim semi Arab) menjadi “Arab Auntumn” (musim gugur) bagi kepentingan Barat di Jalur Sutera. Ini yang jarang di-blow up media mainstream yang mayoritas memang dimiliki serta dalam kendali Barat. Apa boleh buat. Edit dan kontra berita memang bagian daripada metode kolonialisme di muka bumi.

Sebagai contoh pasca kekalahan militer oposisi oleh tentara Bashar al Assad di Syria, ternyata pihak Barat masih saja menebar stigma berulang bahwa Assad menggunakan senjata kimia sarin. Tuduhan tadi berbasis pada klaim London yang didukung Washington, bahwa Badan Intelijen Inggris MI6 mendapat sampel tanah Syria mengandung bahan kimia sarin yang digunakan pasukan Assad. Sungguh lucu. Klaim itu mengemuka ketika sebelumnya, para penyelidik PBB menemukakan fakta bahwa penggunaan senjata kimia justru dilakukan oleh milisi teroris anti-Assad yang didukung Barat sendiri. Mereka mendapatkan kesaksian dari para korban dan staf medis yang menunjukkan para milisi oposisi bersenjata menggunakan gas sarin dalam konflik di Syria. Reuters Senin (6/5) melaporkan, anggota Komisi Independen PBB untuk Penyelidikan di Suriah, Carla Del Ponte, pada Ahad mengatakan, kami tidak menemukan bukti bahwa pasukan pemerintah Damaskus menggunakan senjata kimia terhadap milisi bersenjata.

Tampaknya skenario Barat pasca kekalahan milisi pemberontak adalah “penggunaan senjata kimia oleh Assad”. Itulah isue permulaan. Tema yang bakal diangkat bisa ditebak, yakni penerbitan Resolusi PBB sebagaimana yang terjadi di Irak dengan stigma senjata pemusnah massal, atau di Libya melalui “pelanggaran HAM”-nya Gaddafi, dll. Kemudian skema yang akan ditancapkan boleh dipastikan yaitu “keroyokan militer” ala NATO mirip di kedua negara tadi. Inilah situasi yang tengah berproses dalam panggung hegemoni global. Akan tetapi Rusia dan Cina selaku sekutu dekat Assad tidak akan tinggal diam. Let them think let them decide!

Kita lupakan sejenak soal Syria, kembali membahas Sungai Nil. Merujuk judul tulisan ini bahwa geopolitik Nil berpotensi menjadi “mainan baru” di Jalur Sutera. Hal ini ditemui fakta atas memanasnya suhu politik antara Ethiopia versus Mesir terkait rencana Ethiopia membangun Dam atau Bendungan.

Ya. Pemerintah setempat sudah mengadakan upacara di tempat pembangunan Dam yang diberi nama Renaisans Agung Ethiopia, menandai dimulainya pengalihan air dari Nil Biru, salah satu anak utama Sungai Nil (28/5).  Proyek senilai $ 5 miliar itu tidak akan mengurangi persediaan air. Dikatakan bahwa bendungan itu akan menyediakan aliran listrik bukan hanya untuk Ethiopia tetapi juga untuk negara-negara tetangga. Tetapi tampaknya, baik Mesir maupun Sudan mengutarakan keprihatinan bahwa nantinya tidak akan memperoleh cukup air untuk mendukung penduduk mereka.

Dan Mesir pun tak sabar. Dalam pernyataan (3/6), Morsi mengatakan negaranya tak akan membiarkan “setetes” air pun terkena dampaknya, dan bertekad akan mengambil langkah-langkah untuk menjamin pasokan air bagi Mesir! Sementara Ethiopia via Menteri Perairan, Alemayehu Tenegnu membalasnya secara diplomatis, bahwa bendungan itu tidak menimbulkan ancaman bagi Mesir atau Sudan yang sangat bergantung pada air sungai Nil. Secara politis, rencana Ethiopia telah membuat marah Mesir karena hendak membangun dam hidroelektrik besar di Nil Biru, yang kelak mampu membangkitkan listrik 700 megawatt listrik. Kalau hal ini terwujud, bendungan tersebut menjadi dam dengan kapasitas pembangkit listrik terbesar di Afrika. Etiopia akan mengekspor listrik ke negara tetangga, seperti Sudan, Djibouti dan Kenya.

Para politisi Mesir mengusulkan cara-cara menyabot proyek bendungan Ethiopia yang akan rampung sekitar 2016 nanti. Bahkan pemimpin partai Islamis, Younis Makhyoun, menyiratkan bahwa Mesir mendukung para pemberontak di Ethiopia untuk memberi tekanan terhadap Addis Ababa, ibukota Ethiopia. Seorang politisi liberal, Ayman Nour, menyarankan untuk menyebarkan gosip bahwa Mesir membeli pesawat-pesawat militer untuk melakukan serangan udara.

Ethiopia pun bersuara. Ia menyatakan tidaklah bijak bagi Mesir untuk mengeluarkan ancaman-ancaman terkait proyek bendungan hidro-listrik Ethiopia yang sedang dibangun di anak Sungai Nil. Tak kurang, Getachew Reda, jurubicara Perdana Menteri Hailemariam Desalegn, berbicara kepada VOA sehari setelah Presiden Mesir Mohamed Morsi memperingatkan bahwa “semua opsi terbuka” berkaitan dengan bendungan itu. Morsi mengatakan Mesir tidak menghendaki perang tetapi tidak akan membiarkan ancaman-ancaman terhadap keamanan airnya. Reda menyayangkan pernyataan presiden Mesir. Menurutnya, Ethiopia berharap masih ada ruang bagi dialog dengan Mesir mengenai proyek tersebut. Lalu Reda mengemukakan, bahwa tidak ada ancaman sebesar apapun yang dapat menghentikan pembangunan bendungan itu!

Kerasnya penolakan Morsi atas pembangunan Renaisans Agung bukanah tanpa data yuridis, karena pihak Mesir memiliki sejarah peraturan pemanfaatan air Sungai Nil dalam dua perjanjian yang diteken pada 1929 dan 1959. Dua peraturan itu memberi mandat kepada Mesir untuk memanfaatkan 87% aliran air sungai. Kedua peraturan itu memberikan veto bagi Mesir untuk pengelolaan air sungai. Tapi Ethiopia pun tak kalah data, ada hal yang berubah pada perjanjian 2010 yang meliputi negara-negara di bantaran Sungai Nil, termasuk Etiopia, bahwa pemanfaatan Sungai Nil tidak harus melewati persetujuan Kairo.

Inilah yang kini terjadi antara Ethiopia versus Mesir. Saling gertak, adu data yuridis, dan perang kata-kata melalui media!

BERSAMBUNG KE BAG-2

Facebook Comments
Social Media Auto Publish Powered By : XYZScripts.com