Bahwa pengapalan sapi dari Australia ke Cina selalu melintasi Selat Lombok, dan selainnya, masih banyak produk-produk lain dari Australia melewati perairan Indonesia menuju berbagai negara. Secara geopolitik, bila selat tersebut ditutup untuk sementara waktu —entah dalam rangka latihan TNI-Polri guna menghadapi teroris misalnya, atau karena kepentingan nasional RI terancam, atau alasan lain, dsb. Implikasinya, “Apa Australia tidak menjerit?” Dia bisa muter melalui Papua New Guine/PNG. High cost, produknya akan sulit bersaing.
Selat Lombok adalah salah satu “jantung ekonomi” Australia. Bahkan konon —belum tervalidasi— 80% APBN Aussie tergantung dari perairan Indonesia/Selat Lombok. Ya, seandainya setiap melintas dikenakan fee lintas (sekian $ atau Rp) per kapal, bukankah cukup lumayan mengisi pundi-pundi devisa kita dari sektor choke points ini? Belum lagi lintasan di Selat Sunda, di Selat Malaka, dll.
Tatkala fee pada choke points diwajibkan bayar dengan rupiah, maka niscaya rupiah tak bakal melemah karena dicari oleh banyak negara terutama yang memiliki kepentingan dengan Indonesia. Atau setiap transaksi apapun, kapanpun, dan dimanapun —selama di wilayah NKRI— wajib menggunakan rupiah.
Itulah sebagian kecil makna strategis geoposisi silang di antara dua benua dan dua samudra bila kita memberdayakannya. Sederhana ‘kan?
Penulis: M. Arief Pranoto, Direktur Program Studi Geopolitik dan Kawasan Global Future Institute (GFI)