Halim Hutahuruk. Begitulah nama lengkapnya. Pria yang dilahirkan di Jakarta pada November 1975, merupakan sosok yang unik di jajaran pimpinan Global Future Institute (GFI). Tidak sempat berkuliah di perguruan tinggi, namun punya antusiasme yang cukup kuat untuk belajar sendiri alias otodidak. Punya hobi baca aneka buku baik ilmiah maupun fiksi. Punya panggilan jiwa yang amat kuat untuk bergiat sebagai aktivis sosial-budaya di berbagai lembaga swadaya masyarakat, forum-forum studi maupun organisasi massa.
Meski tidak mengenyam pendidikan di perguruan tinggi, Halim banyak bergaul dengan kalangan aktivis mahasiswa khususnya sejak 1996. Kala itu, para mahasiswa dari berbagai daerah maupun berbagai organ ekstra maupun intra kampus, secara intensif menggalang berbagai aksi berskala nasional untuk melengserkan Presiden kedua RI, Suharto yang dirasa masyarakat sudah terlalu lama berkuasa selama 32 tahun. Tak heran jika banyak pentolan aktivis 1998 cukup akrab dengan pria batak yang mengidolakan Bung Karno dan Tan Malaka ini.
Pada tahun 2000 pria yang lama mukim di bilangan Tanah Abang ini, semakin terpupuk minat khusus dan ketertarikannya pada isu-isu sosial-budaya, utamanya terkait kearifan lokal dan budaya nusantara, ketika bergabung dengan Poros Indonesia, sebuah organisasi kemasyarakatan yang diprakarsai seniman dan budayawan Eros Djarot. Bukan sekadar sebagai pegiat, melainkan juga minat intelektualnya mendalami isu-isu tersebut. Sehingga pada tahun yang sama, Halim juga ikut memprakarsai berdirinya Kelompok Studi Indonesia Raya. Selain sesekali ikut naik gunung bersama rekannya sesama pengurus GFI, Rusman, Halim saat ini juga aktif dalam program advokasi kesehatan dengan bergabung bersama Relawan Kesehatan Indonesia (REKAN).
Ketika ditemui Nesya Aulia melalui obrolan langsung secara tatap muka, suasana perbincangan selama dua jam itu berlangsung rileks, informal, dan mengalir, diselingi makan malam bareng, di daerah sekitaran kampus Binus University, Kemanggisan, Jakarta. Berikut obrolan selengkapnya:
Kalau boleh dapat gambaran sekilas, apa benang merah dari seluruh kegiatan dan kiprah yang Mas Halim jalani sampai saat ini?
Sederhananya gini. Saya ini aktivis atau pegiat di bidang sosial-budaya. Saya tidak kuliah, tapi banyak baca buku, dan tetap meluaskan pergaulan sosial dengan banyak kalangan. Misal antara 1996-1998, oleh karena semakin derasnya arus gerakan mahasiswa untuk melengserkan Presiden Suharto, praktis saya dekat sama para aktivis mahasiswa angkatan 1998 yang sekarang kebanyakan banyak yang di pemerintahan atau anggota DPR.
Nah soal baca buku, saya ini termasuk banyak baca segala macam, termasuk topik-topik berkaitan dengan Sosialisme, Marxisme dan bahkan Komunisme. Pada waktu pemerintahan Suharto, buku-buku model begituan boleh dibilang termasuk buku-buku terlarang. Mungkin gegara sering baca buku-buku inilah, saya peka dengan berbagai ketimpangan sosial, orang kaya semakin kaya, sedangkan yang miskin makin miskin. Jadi saya merasa ada yang salah dengan sistem kenegaraan kita. Maka saya tergugah untuk jadi pegiat sosial-budaya.
Konkretnya seperti apa misalnya sebagai pegiat sosial?
Ya itu tadi. Selain bergelut dalam isu-isu terkait budaya lokal nusantara, kearifan lokal, lingkungan hidup, juga yang saya anggap penting adalah bidang kesehatan. Karena ini jelas terkait langsung dengan hajat hidup rakyat kecil maupun soal kesejahteraan sosial. Maka kemudian saya bergiat bersama teman-teman peduli isu kesehatan membentuk Pergerakan bernama Relawan Kesehatan Indonesia disingkat REKAN.
Wah menarik ini. Apa ini semacam program mengadvokasi masyarakat dalam bidang kesehatan?
Benar banget Nesya. Kita mengadvokasi warga masyarakat yang terkendala di Rumah-Sakit, terkait dengan BPJS dan pelayanan di rumah sakit, mulai dari 2011-sekarang. Bahkan kalau saya tidak salah pada 2018 lalu, bersama kawan lama saya Mas Agung dari REKAN, bersama-sama GFI menggelar seminar untuk mengingatkan pemerintah agar waspada jangan sampai laboratorium berfungsi ganda macam NAMRU-2 AS bisa beroperasi lagi di Indonesia, meskipun dengan nama lain.
Sekadar info buat Nesya, NAMRU-2 AS didirikan pada 1974 antara Departemen Kesehatan RI dengan Angkatan Laut Amerika Serikat. Namun belakangan 30 tahun kemudian, terbongkar bahwa NAMRU-2 AS merupakan sarang operasi terselubung Angkatan Laut AS di Indonesia, berkedok sebagai lembaga penelitian penyakit-penyakit Pandemik.Singkat cerita, benang merah dari semua kegiatan saya adalah di bidang sosial dan kebudayaan.
Mungkin bisa diceritakan bagaimana bisa bergabung di GFI?
Awalnya, awal di GFI saya kenal mas Hendrajit di Poros Indonesia pada 2000 lalu. Mas Hendrajit memang bukan anggota dan juga bukan pengurus Poros Indonesia. Namun ketika Eros DJarot membuat Poros Indonesia, juga merupakan pemimpin redaksi Tabloid Detak yang mana mas Hendrajit merupakan wakil pemimpin redaksi dan redaktur politik. Dari sejak pertemuan itu selain berkawan dan mengenal mas Hendrajit secara pribadi, juga mengenal pemikiran dan sikap politiknya juga sebagai sesame aktivis.
Maka pada saat saya setelah sekian lama jarang bertemua ketika menjalin kontak kembali pada 2010, tiga tahun setelah GFI berdiri, maka otomatis dapat cepat nyambung dan ketemu kemestrinya dengan teman-teman GFI lainnya seperti mas Rusman dan mas Sudarto Murtaufiq. Oh ya, dulu sempat lama bergabung juga di kepengurusan bang Ferdiansyah Ali yang panggilan akrabnya Allay, tapi sekarang aktif di Universitas Trisakti.
Di GFI sendiri apa tugas pokok dan kegiatan utama mas Halim? Mungkin karena minat khusus saya sejak dulu menggeluti budaya, mas Hendrajit kemudian terdorong menempatkan saya sebagai Direktur Pengkajian Nusantara dan Kearifan Lokal sejak 2017. Saya pikir ini bidang yang amat strategis dan bukan sekadar pelengkap belaka. Jika mau membahas tentang politik dan strategi nasional sekalipun, saya kira tetap benang merahnya adalah budaya dan kearifan lokal. Salah satu penyebab lemahnya sistem kenegaraan kita saat ini adalah karena kearifan lokal dan budaya nusantara tidak jadi penuntun buat menangkal arus globalisasi dan modernisasi. Sehingga bukan saja negara kita hancur-hancuran ekonominya, tapi juga kebudayaannya. Kita terancam kehilangan jatidirinya sebagai bangsa. Maka krisis nasional kita saat ini bukan ekonomi, tapi kebudayaan.
Sebagai pengurus maupun anggota komunitas GFI, Gimana mas Halim memandang kiprah GFI?
Ya, kalau dari yang saya lihat maupun kiprahnya selama ini baik dalam program pengkajian maupun serangkaian seminar tema-tema strategis yang diselenggarakan sejak 2010 sampai sekarang, maupun dari segi nama itu sendiri yaitu Global Future Institute, GFI selalu berpikiran kedepan, selalu selangkah atau dua langkah lebih maju dari pemikiran orang lain.
Menurut mas, apakah GFI lembaga think-tank?
Benar Nesya, GFI memang sebuah lembaga think-tank. Namun menurutku yang tak kalah penting, terutama melalui website kita www.theglobal-review.com yang sudah tayang sejak 2009, telah memainkan peran sebagai kekuatan penyeimbang dalam penyebaran informasi dan pemberitaan baik yang datang dari dalam negeri maupun luar negeri. Makanya kalau Nesya baca motto the global review, di itu ada tertulis Pemandu Informasi Perkembangan Dunia. Jadi frase Perkembangan Dunia di sini tidak saja terkait informasi dari luar negeri, tapi juga dari dalam negeri.
Sekarang ini kan masyarakat sepertinya dalam ketidak tahuan mana berita yang benar dan berita palsu alias hoax. Karena kalau dari yang saya lihat sendiri di berita online atau surat kabar sudah tidak ada lagi yang namanya liputan investigasi/investigating report menyingkap apa yang terjadi di balik kejadian atau sebuah kasus atau isu tertentu. Bahkan analisis pemberitaan pun sepertinya sudah diabaikan oleh media-media massa arus utama saat ini. Tidak ada lagi analisis pemberitaan yang lebih mendalam. Jadi sajian berita di berbagai media saat ini hanya menyajikan berita, sekadar reportase saja. Menurutku ini gejala yang menggelisahkan.
Suasana seperti apa yang mas rasakan selama di GFI, adakah coorperate culture yang dibangun?
Kalau mau digambarkan secara sederhananya, suasana di GFI yang kurassakan itu ada suasana buat saling belajar atau berbagi ilmu dan informasi. Saling bertukar pikiran. Jadi tidak ada hirarki dalam “struktur keorganisian” GFI. Jadi kita antar pengurus maupun antar pengurus dan network associate atau mitra jaringan, boleh dibilang saling mengisi dan saling menguatkan satu sama lain. Ada beberapa kelemahan dan kekurangan dari masing-masing kami, bisa saling sharing/berbagi. Jadi corporate culture yang terbangun di GFI ya itu tadi, tidak ada gap atau sekat yang dipisahkan oleh hirarki jabatan. Kita setara. Makanya GFI itu lebih merupakan komunitas dibandingkan sebuah organisasi yang bersifat formal. Semangat komunitas mendahului formalitas kelembagaannya.
Strategi apa yang mas bangun dalam memajukan GFI?
Ya itu tadi, pengembangan lebih luas! Di media social kita sudah ada cukup banyak yang menunggu tulisann-tulisan yang keluar dari GFI, dari segi kualitas analisa-analisanya, harus dipertajam lagi lewat sajian tulisannya. Jadi, untuk tambahan asupan informasi, seperti pada awal yang saya telah bilang, sebagai penyeimbang berita. Ya musti dikembangkan lebih luas lagi. Sayanya pada masa covid-19 saat ibni, saya rasa itu juga menghambat kegiatan. Tapi bukan berarti ini jadi alasan untuk mengendorkan kegiatan lho.
Kebetulan yang saya baca mengenai profil GFI, telah dirintis tahun 2007, Pak Hendrajit masih bertahan dan bisa dikatakan hampir seumuran GFI, bagaimana itu bisa terjadi? Berdasarkan pandangan mas Halim.
Ya, itu GFI sendiri juga terbentuk dari beberapa kawan-kawan yang sebagian saya juga kenal seperti mas Rusman, mas Darto, maupun beberapa pendiri GFI lainnya. Mereka menunjuk mas Hendrajit sebagai direktur eksekutif itu ya kalau yang saya lihat memang sesuai dengan kapasitas dan proporsinya. Kenapa? Ya memang belum ada “klik” yang bisa menggantikan mas Hendrajit sebagai direktur eksekutif di GFI. Ya memang seharusnya menurut saya, setiap tahun, tri wulan atau semester terjadi regenerasi perekrutan dari kawan-kawan yang lebih muda, agar lebih banyak analisa dan menulis baik itu dari segi artikel maupun jurnal. Untuk dalam kepemimpinan ini, ya masih karena tidak ada yang lebih di tuakan lagi. Hehehe.
Dilihat dari profil, mas Halim juga pernah terjun di dunia jurnalisme, apa hal yang relevan untuk jurnalisme dan GFI?
Balik lagi ke kalimat yang saya bilang, GFI menjadi lembaga keseimbangan untuk informasi, ya karena pembicaraan geopolitik dan geoekonomi dan pembahasan sebuah berita tidak hanya sebuah berita tetapi disertai sebuah observasi yang tajam, analisa dan investigasi, baru kemudian dituangkan menjadi sebuah tulisan, agar menjadi menarik.
Tetapi sayangnya dalam era digital seperti sekarang ini, saya lihat orang kok malas untuk membaca ya. Entah itu karena tulisan terlalu panjang da padat lah. Padahal mau lebih rajin membaca dan menangkap intisari dan alur tulisan yang dibaca, maka tulisan itu ibaratnya seperti sebuah perjalananan dan kita bisa menganalisa. Menangkap yang tersirat dari yang tersurat. Menyingkap apa yang sesungguhnya berlangsung di balik berita.
Maka itu, pola kerja dan gaya jurnalisme dalam sajian tulisan, menurutku penting banget buat teman-teman di GFI. Meskipun mereka nggak semuanya dulunya bukan wartawan seperti mas Hendrajit atau mas Rusman. Sebab dalam gaya jurnalisme, kuat sekali dorongan si penulis untuk berkisah dan bertutur. Bukan sekadar beropini. Bahkan analisa pun jadi bermutu karena dirajut melalui bangunan cerita. Sayangnya, sekarang ini semakin langka saja gaya tulisan yang kuat muatan cerita atau kisahnya. Di sinilah pentingnya gaya jurnalistik dalam sajian tulisan.
Pertanyaan terakhir, 11 Oktober sudah semakin dekat, lantas apa saja harapan mas Halim pada GFI untuk kedepannya?
Untuk harapan kedepan, ya lebih kuat dalam sebuah bentuk tulisan, untuk sebuah tulisan agar bisa lebih tajam dan cakupan lebih luas, jadi mengajak penulis untuk membuat sesuatu yang baru. Baru di sini artinya menawarkan sudut pandang baru dalam melihat kejadian atau isu. Dengan kualitas analisa yang lebih kuat. Lalu lebih banyak lagi dalam menggelar serangkaian seminar atau focus group discussion atau lokakarya,
Dalam situasi pandemi Covid saat ini, bisa memanfaatkan wadah seperti google meeting atau zoom, agar GFI juga bisa tetap tampil ya. Kalau bisa dapat tiga hal seperti mas Rusman katakan dalam membentuk apa pun bahkan dalam sebuah negara, harus memenuhi syarat seperti ideologi, koneksi, dan logistik, dan ketiga itu saling berhubungan, satu saja yang hilang, perjalanan akan tersendat. Saya kira itu saja Nesya, harapan saya buat GFI kedepan.