Rusman, Pengiat Sosial Budaya
Beberapa bulan terakhir ini Gunung Tangkuban Parahu bergolak. Tapi penyebabnya bukan karena aktifitas vulkanik yang terkandung didalamnya, tetapi akibat Departemen Kehutanan (Dephut) dalam hal ini MS. Kaban selaku menteri menyalahi kewenangan. Departemen Kehutanan memberikan ijin pengelolaan tempat wisata alam itu kepada PT. Graha Rani Putra Persada (GRPP), Perusahaan Swasta yang berdomisili di Jakarta Pusat.
Pemberian Ijin tersebut dianggap menyalahi kewenangan karena mengangkangi kewenangan Pemerintah Daerah dalam hal ini Pimprov. Jawa Barat. Menurut rumor yang berkembang Dephut bersusah payah memotong kompas karena ada kedekatan secara personal dengan petinggi di PT. GRPP. Bahkah nama Menteri Kehutanan MS Kaban pun dikaitkan dengan nama belakang dari Derektur PT. GRPP Putra Kaban. Persamaan nama belakang kedua tokoh ini bukanlah secara kebetulan, benarkan kedua tokoh ini saling berkaitan darah?. Jika itu benar maka ada nepotisme dibalik pemberian surat ijin pengelolaan Parawisata di kawasan Tangkuban Parahu itu. Hasil penelusuran Putra Kaban adalah kerabat dekat MS Kaban.
Jika menilisik kebelakang, gejala masuknya pihak swsta kekawasan Parawisata Alam Tangkuban Parahu ini sudah tercium sejak tahun 2007. Awalnya Menhut Kaban mencabut ijin pengusahaan Parawisata Alam Perum Perhutani Kawasan Tangkuban Parahu. Menteri Kehutanan MS Kaban melalui Keputusan Menteri Kehutanan bernomor SK.206/Menhut-II/2007 SK mencabut hak pengelolaan Perum Perhutani.
SK tertanggal 22 Mei 2007 itu menyebutkan Perum Perhutani dianggap gagal sebagai pengelola. Selanjutnya pengelolaan kawasan seluas 370 hektare itu diserahkan kepada Direktorat Jenderal Perlindungan Hutan dan Konservasi Alam (Ditjen PHKA) Dephut di tingkat Provinsi, Balai Besar Konservasi Sumber Daya Alam (BBKSDA) Jawa Barat menjadi kepanjang tangan Ditjen ini.
Tiga bulan kemudian setelah ijin pengusaan itu dicabut, MS Kaban menandatangani surat keputusan Menteri bernomor : S.508/Menhut-IV/2007 yang isinya memberikan ijin prinsip pengusahaan pariwisata alam kepada PT GRPP di TWA Tangkuban Parahu. Surat itu menjawab permohonan PT. GRPP yang baru diajukan pada 22 Juni 2007. Tidak tanggung-tanggung, ijin diberikan untuk lahan seluas 250 hektare, yang terdiri atas 175 hektare blok pemanfaatan dan 75 hektare hutan lindung.
Ijin prinsip ini berujung pada keluarnya Ijin Pengusahaan Pariwisata Alam (IPPA) dua tahun kemudian lewat SK.306/Menhut-II/2009, 29 Mei 2009. Ijin ini persisnya diberikan pada lahan seluas 250,70 hektare, terdiri atas 171,40 hektare di Kab. Bandung Barat dan Kab. Subang, serta kawasan hutan lindung Cikole seluas 79,30 hektare di Kab. Bandung Barat.
Dua bulan setelah IPPA keluar, terjadi penggantian kepemimpinan BBKSDA Jabar. Mantan Kepala BBKSDA Riau, Rachman Sidik menjadi Kepala BBKSDA Jabar yang baru. “Saya tidak mengetahui prosesnya begitu saya masuk ke sini, saya terima paket ini. Jadi, saya harus melaksanan tugas ini,“ kata Rachman.
Menurut Rachman Pejabat baru di BBKSDA Jabar ini menjelaskan, surat ijin yang diberikan pada GRPP bukan suatu proses yang singkat. Proses ijin itu dilakukan di Dephut sejak tahun 2005. Apa yang dikatakan Rachman itu berdeda dengan pesetujuan ijin prinsip yang ditandatangani Kaban. Surat bernomor : S.508/Menhut-IV/2007, diketahui permohonan pengusahaan pariwisata alam di TWA Tangkuban Parahu diajukan Dirutnya melalui surat bernomor 03/GRPP/VI/2007 tertanggal 22 Juni 2007. Tiga bulan setelah surat ijin prinsip itu diberikan.
Menurut PP No. 38 tahun 2007 Surat Ijin Prinsip mestinya dikeluarkan atas rekomendasi Gubernur Jawa Barat. Hal ini mengingat ijin pemanfaatan jasa lingkungan di hutan lindung untuk skala provinsi merupakan kewenangan Pemerintah Provinsi. Apalagi Kawasan Gunung Tangkuban Parahu berada di dua Kabupaten yaitu Kabupaten Bandung Barat dan Kabupaten Subang.
Pada 19 Desember 2007 PT. GRPP melayangkan surat permohonan rekomendasi pada Gubernur Bawa Barat, empat bulan setelah mengantongi ijin prinsip dari Menhut, surat tersebut ditembuskan pada Dinas Kehutanan (Dishut) Jabar lalu ditidak lanjuti dengan telaahan surat PT. GRPP dengan maksud melakukan penguasaan Parawisata Alam di TWA Gunung Tangkuban Parahu pada Februari 2008.
Kadishut Jabar Nanang Sudarna menilai pemberian ijin tersebut menyalahi mekanisme perijinan, ijin prinsip itu keluar harus ada rekomendasi dari Gubernur, “kami menyarankan agar Pak Gubernur tidak memberikan rekomendasi,“ ujar Nanang bahkan Kajian Dishut Jabar menyatakan belum mengetahui secara pasti bonafiditas dari PT. GRPP sebagai pemohon IPPA.
Pada September 2008 Wakil Gubernur Yusuf M. Effendi melayangkan surat pada Menhut. Surat tersebut baru dibalas sebulan kemudian tepatnya 3 Juli 2008, surat balasan itu menjelaskan PT. GRPP telah memaparkan proposalnya dihadapan Kadishut atas nama Gubernur dan Sekwikda Jabar dan dihadiri Pemda Jabar, Kepala BBKSDA Jabar, tokoh Masyarakat Jabar serta Perum Perhutani Unit III Jabar. Sampai saat ini tidak ada sanggahan atau penolakan sehingga kami menindak lanjuti,“ katanya.
Ada kejanggalan dalan surat tersebut, anehnya dalam surat itu baru terangkan bahwa surat tembusan Kadishut Jabar bernomor: 522.82/201/PH tentang sarat dan penundaan rekomendasi ijin lokasi yang ditujukan pada Gubernur Jawa Barat tidak pernah diterima Menhut. Kalaupun surat itu diterima kajian dan saran Dishut tidak lagi berlaku karena telah terjadi pertemuan pada 3 Juni yang mengisyaratkan persetujuan dari semua pihak.
Surat jawaban Menhut pun menjelaskan Perijinan yang diberikan pada PT. GRPP tidak menyalahi aturan. Ijin prinsip dikeluarkan atas dasar semangat pembangunan kebudayaan dan parawisata yang diamanatkan pada Dephut. Melalui surat itupula Dephut mendesak Pemprov Jabar segera memberikan tanggapan positif atas niat GRPP. Pemprov. Jabar memang tidak pernah memberikan rekomendasi itu, namun secara ajaib IPPA dapat keluar.
Anggota Dewan Pakar Dewan Pemerhati Kehutanan dan Lingkungan Tatar Suda (DPKLTS) Sobirin Supardiono mengungkapkan, jika rencana ini dilanjutkan bukan hanya akan hilangnya 250 hekter kawasan hijau di Tangkuban Parahu tetapi juga tercederainya Kawasan Bandung Utara (KBU) secara keseluruhan,”jika kebijakan ini lolos, nantinya akan diteruskan injak sana-knjak sini di kawasan hutan lindung lain,”ujarnya.
Hentikan Semua Kegiatan
Gubernur Jawa barat Ahmad Heryawan memerintahkan PT. Graha Rani Putra Persada (GRPP) menghentikan seluruh kegiatannya di kawasan Gunung Tangkuban Parahu. Gubernur meminta yang bersangkutan agar memproses perijinan sesuai dengan peraturan dan mekanisme yang ditetapkan.
Permintaan penghentian tersebut ditegaskan dalam Surat Keputusan (SK) Gubernur Jawa Barat Nomor: 912/Kep.1478-Hukham/2009 tertanggal 6 Oktober 2009. Gubernur memerintahkan agar Kepala Satuan Pamong Praja (Satpol PP) Jawa Barat Untuk mengawal proses ini.
‘SK Gubernur itu berlaku hari Selasa, 6 Oktober 2009, untuk mengamankan SK itu saya minta kepada Satpol PP Jawa Barat untuk malaksanakan segala hal yang diperlukan. Surat perintah untuk Satpol PP sudah saya buat. SK ini dikeluarkan untuk mengamankan kawasan hutan. Intinya kawasan yang sudah hijau harus kita pertahankan dan yang kritis kita rehabilitasi,’ katanya.
Lebih lanjut Hermawan menegaskan lahirnya SK tersebut justru untuk mengembalikan prosedur yang benar sesuai dengan peraturan karena selama ini ijin yang dikantongi GRPP cacat hukum. Apalagi hasil kajian Tim Rekomendasi Penataan Ruang Daerah Provinsi Jawa Barat tertanggal 2 Oktober 2009 merekomendasikan penegakan hukum atas pelanggaran hukum yang dilakukan PT. GRPP di kawasan Gunung Tangkuban Parahu Kabupaten Bandung Barat.
‘Ijin yang dimiliki PT. GRPP bertentangan dengan peraturan, bahkan Kempen Kehutanan Nomor: 446/Kpts-II/1996 tentang tatacara permohonan, pemberian dan pencabutan ijin pengusahaan parawisata hutan,’ujar politisi Partai Keadilan Sejahtera itu.
Dalam SK tersebut diputuskan 4 hal penting, yakni (1) Menghentikan sementara kegiatan pembangunan oleh PT GRPP; (2) Mewajibkan PT GRPP untuk memproses perijinan pemanfaatan ruang di kawasan Gunung Tangkuban Perahu sesuai dengan peraturan; (3) Bila PT GRPP tidak melaksanakan ketentuan poin 2, maka PT GRPP akan dikenakan sanksi sesuai dengan ketentuan peraturan dan perundangan; dan (4) Segala akibat yang timbul dari proses penghentian sementara kegiatan pembangunan di kawasan Gunung Tangkuban Parahu menjadi tanggungjawab PT GRPP.
Selain itu, Gubernur juga meminta Kepala Satpol PP untuk melakukan koordinasi dengan Pemkab Bandung Barat, Pemkab Subang dan Tim Koordinasi Penataan ruang Daerah Propinsi Jabar serta instansi terkait. Adapun laporan dari pelaksanaan surat perintah tersebut agar segera disampaikan kepada Wakil Gubernur Jawa Barat selaku Ketua Tim Koordinasi Penataan Ruang Daerah Propinsi Jawa Barat.
PT GRPP ditunjuk Menteri Kehutanan untuk mengelola Tangkuban Perahu selama 30 tahun. Ijin yang dikeluarkan Menteri Kehutanan dinilai menyalahi aturan, pengelolaan ekowisata dinilai kamuflase untuk melakukan komersialisasi lahan. Selain itu, SK Menteri dinilai salah karena belum ada rekomendasi dari Gubernur Jawa Barat.