Hak Kekayaan Intelektual: Instrumen Hukum untuk Layani Kepentingan Uni Polar AS dan Uni Eropa?

Bagikan artikel ini

Brian Prastyo, Mahasiswa Program Studi S3 Fakultas Hukum Universitas Indonesia

Tanpa banyak diperbincangkan di media massa, Indonesia sesungguhnya sedang menghadapi berbagai medan pertarungan di kancah forum penyelesaian sengketa perdagangan internasiona. Di WTO Indonesia masuk dalam daftar negara berkategori Priority Watch List yang dibuat oleh pemerintah Amerika Serikat. Bagaimana memaknai isu-isu tersebut?

Bicara tentang WTO harus dikonstruksikan dalam tatanan hubungan internasional yang memposisikan Amerika Serikat sebagai aktor yang penting. Kepentingan Amerika Serikat adalah untuk mempertahankan dominasinya sebagai kekuatan unipolar.

Istilah unipolar dalam konteks hubungan internasional bermakna sebuah negara yang sangat mempengaruhi dunia oleh karena kekuatan pertahanan, ekonomi, dan budayanya. Bekerjasama dengan negara-negara sekutunya, Amerika Serikat mengkonstruksikan lembaga-lembaga internasional, seperti WTO, IMF, World Bank, Arbitrase Internasional, untuk mewujudkan tujuannya tersebut.

Salah satu kunci kekuatan Amerika Serikat adalah penguasaan di bidang teknologi. Untuk memastikan supremasinya, Amerika Serikat berusaha sekuatnya untuk mencegah negara lain menyainginya. Instrumen hukum hak kekayaan intelektual kemudian digunakan untuk melindungi kepemilikan terhadap teknologi tersebut dan sekaligus menghambat terjadinya alih teknologi kepada negara-negara lain. Untuk memastikan agar negara-negara lain memiliki sistem hukum hak kekayaan intelektual yang sama, maka dimasukkanlah aspek tersebut sebagai salah satu substansi dalam perjanjian WTO.

Dengan demikian, perlindungan hak kekayaan intelektual sesungguhnya adalah salah satu tema atau agenda Amerika Serikat untuk mensukseskan “hajatannya” atau skemanya, yaitu mempertahankan posisinya sebagai kekuatan unipolar di dunia. Untuk menggerakkan tema tersebut, berbagai isu senantiasa digulirkan.

Isu seperti drug counterfeiting, pembajakan film/software/musik, atau penegakan hukum di bidang hak kekayaan intelektual adalah beberapa contohnya. Isu-isu tersebut membawa pesan bahwa penegakan hukum hak kekayaan intelektual di suatu negara belum baik. Di balik pesan tersebut, Amerika Serikat dan sekutu-sekutunya sudah memiliki agenda, yaitu menawarkan “bantuan” kepada negara-negara tersebut.

Ketika agenda tersebut berjalan, maka investasi dari korporasi Amerika Serikat dan sekutu-sekutunya yang mengandalkan pada komersialisasi produk berbasis hak kekayaan inteletual di negara tersebut akan aman (ekonomi), supremasi teknologi tetap terjaga (pertahanan), dan paradigma sosial yang terbangun adalah: hukum hak kekayaan intelektual sudah baik, harus selalu sejalan dengan aturan internasional, dan tugas pemerintah adalah menegakkannya saja (budaya). Semua itu akan mewujudkan skema utama Amerika Serikat, yaitu mempertahankan dominasinya sebagai kekuatan unipolar di dunia.

Stabilitas Amerika Serikat dalam mempertahankan jatidirinya dalam dinamika hubungan luar negeri dimotori oleh kalangan korporasi besar, terutama yang menguasai sektor energi, teknologi, lembaga keuangan, dan produk budaya (media massa/film/musik).

Berbagai korporasi ini saling bekerjasama, membangun kaderisasi, dan berperan serta aktif dalam pencalonan pimpinan institusi politik terutama dalam pemilihan presiden. Oleh karena itu, pemerintah Amerika Serikat pasti bertindak untuk mengamankan korporasi-korporasinya di luar negeri, baik dengan cara diplomasi maupun dengan cara militeristik.

Mereka sangat paham tentang geopolitik dan geostrategi, sehingga dominasi mereka terhadap teritori yang dianggap kaya sumber energi, penting untuk perlintasan moda logistik, dan memiliki potensi konsumen yang melimpah adalah suatu keharusan.

Oleh karena itu, Amerika Serikat tidak menggunakan cara yang sama untuk menguasai suatu teritori, karena memandang karakter sosial politik di teritori tersebut. Ketika Amerika Serikat telah berhasil memegang kepala pemerintahan di suatu teritori, maka demokrasi tidak dibutuhkan di negara tersebut. Itulah sebabnya, di negara-negara Timur Tengah, Amerika Serikat tidak mendukung demokrasi, tetapi di AmerikaLlatin dan Asia Tenggara isu demokrasi selalu digulirkan jika kepala pemerintahannya dianggap tidak lagi sejalan dengan skema dari Amerika Serikat.

Saat ini tantangan unipolarisme-nya Amerika Serikat semakin besar. China, Brazil, Iran, dan Venezuela adalah beberapa negara yang mulai terlihat memiliki posisi tawar yang lebih baik terhadap Amerika Serikat. Hal tersebut tidak terlepas dari keberhasilan kepala pemerintahannya membangun kontra-skema terhadap Amerika Serikat.

Kesadaran terhadap geostrategis dan geopolitik adalah landasan awal untuk menyusun kontra-skema. Namun agar kontra skema tersebut sukses, kepala pemerintahan yang berani dan cerdik adalah prasyaratnya.

Ke dalam, kepala pemerintahan tersebut harus dapat memenangkan hati rakyatnya dan sekaligus memegang kendali terhadap korporasi besar, partai/organisasi politik, dan militer. Ke luar, kepala pemerintahan tersebut harus dapat membangun aliansi dengan negara-negara sekutu non  tradisional Amerika Serikat yang memiliki kekuatan pertahanan, ekonomi, dan budaya yang cukup besar. Selain itu, untuk menginstitusionalkan kontra-skema yang dibangun, maka setiap kepala pemerintahan harus mengubah semua instrumen hukum yang dipandangnya tidak sejalan.

Lula di Brazil, Ahmadinejad di Iran, dan mendiang Chavez di Venezuela adalah beberapa contoh kepala pemerintahan yang berhasil melakukan itu. Namun kesinambungan kontra-skema tersebut akan terganggu dan bahkan hancur ketika penerus mereka tidak melanjutkan agenda-agenda kontra-skema yang telah digerakkan.

Terkait konsep Poros Maritim Dunia dari Presiden Jokowi, masih perlu pembuktian apakah itu merupakan suatu kontra-skema ataukah hanya salah satu agenda dari skema yang dibuat oleh kekuatan unipolar dunia yang bernama: Amerika Serikat.

Facebook Comments
Social Media Auto Publish Powered By : XYZScripts.com