Hakekat Geopolitik, Geostrategi dan Geoekonomi (2)

Bagikan artikel ini

Berbincang tentang geopolitik —perspektif tulisan ini— mungkin kali ini tak perlu berpanjang lebar, langsung pada inti dan pokoknya saja. Yang pasti, geopolitik ialah ‘sesuatu’ yang mampu menjelma menjadi geoekonomi dan geostrategi. Tetapi tohkembali pada the man behind the gun. Geografi misalnya, jika tanpa pemahaman geopolitik secara matang akan menjadi peta statis tanpa makna, tetapi di tangan Presiden Iran Ahmadinejad beberapa waktu berselang, Selat Hormuz dapat diubah menjadi “geopolitical weapon” (senjata geopolitik) terutama bagi negara-negara yang memiliki kepentingan atas hilir mudik kapal-kapalnya di perairan Hormuz. Dalam praktek empiris geopolitik, niscaya akan disertai oleh geostrategi dan geoekonomi. Mengapa demikian, sebab pada tataran implementatif, bahwa ketiganya — ibarat ‘satu tarikan nafas’ dalam dinamika politik global. Nanti kita ulas lebih jauh kenapa begitu.

Selanjutnya, catatan ini tak juga akan membahas ajaran geopolitik semacam “Teori Ruang”-nya Friederich Ratzel (1844–1904); ataupun “Teori Kekuatan”-nya Rudolf Kjellen (1864–1922), “Teori Pan Region”-nya Karl Haushofer (1869–1946), teori Halford Mackinder (1861–1947) tentang Heartland (Jantung Dunia); dan lain-lain kecuali selintas, termasuk “Teori Kekuatan Maritim”-nya Alfred T. Mahan (1840–1914) akan sedikit diulas karena terkait materi utama tulisan ini.

Ya. Hakekat geopolitik selain dapat dimaknai sebagai ilmu (teori), wawasan atau cara pandang, konsepsi. ataupun keadaan tertentu, namun sejatinya ia adalah alat serta strategi sebuah negara bangsa dalam rangka menetapkan program dan kebijakan (politik) —terutama politik luar negeri— berbasis geografi dan local wisdom daripada bangsa tersebut agar mampu dan tetap survive di muka bumi. Indonesia misalnya, dengan kondisi alam dan geografi dua musim, pantai terpanjang kedua di dunia, curah hujannya tinggi dan masuk dalam ring of fire (lingkaran sabuk api), harusnya bisa menjadi negara produsen pangan dan energi (food and energy) baik bagi rakyatnya sendiri maupun ekspor. Ketika sekarang kita justru mengimpor berbagai komoditi baik pangan maupun energi dari negara lain, maka inilah yang disebut IRONI GEOPOLITIK. Dan disinyalir, kondisi ini seperti (dan sengaja) “diciptakan”. Entah kenapa, oleh siapa, dan inilah POKOK-POKOK PERMASALAHAN bangsa yang sesungguhnya.

Pangan dan energi adalah basic needs human being yang mutlak menjadi prioritas Kepentingan Nasional negara siapapun, dimanapun dan kapanpun. Tatkala sebuah bangsa mampu memenuhi sendiri kebutuhan kedua unsur tersebut tanpa KETERGANTUNGAN dari pihak atau negara lain (impor), maka ia layak disebut AUTARKY atau self sufficiency seperti halnya Kanada, Rusia, dll. Autarky ialah swasembada serta keadaan negara berkecukupan dimana ia bisa memenuhi food and energy sendiri bagi kebutuhan rakyatnya.

Sekarang bicara soal “ketergantungan” (dependence). Manakala sebuah negara telah mempunyai ketergantungan terhadap negara lain dalam hal pangan dan energi, maka secara geopolitik, nilai-nilai kedaulatan negara tersebut telah tergerus atau berkurang. Betapa tidak, menurut Dirgo D Purbo, ahli geopolitik dan pakar perminyakan Indonesia, “Disinilah keputusan suatu negara masuk dalam pemahaman geostrategi, yang intinya bagaimana suatu negara harus melakukan upaya-upaya sistematis (strategi) dengan negara lain penghasil pangan atau energi agar terus survive”.

(Geo) Strateginya, kata Dirgo, bisa soft (smart) power atau hard power. Dalam konteks ini bisa dilihat bagaimana negara-negara yang punya ketergantungan tinggi atas supply minyak. Lihatlah! Strategi apa yang dilakukan —entah smart power ataupun hard power— oleh Amerika dan sekutu terhadap negara-negara penghasil minyak dan gas (migas) terutama di Kawasan Jantung Dunia atau Heartland (Asia Tengah dan Timur Tengah), juga di Afrika. Dalam bahasa sederhana, bahwa cara dan bagaimana mendapatkan migas dari negara lain akibat ketergantungan, itulah yang disebut “geostrategi”.

Ada beberapa pola geostrategi. Hard power (gunakan militer) dan soft atau smart power. Misalnya hard power, pola ini kerapkali dimainkan oleh Paman Sam bila sang penguasa dari Partai Republik. Sebaliknya, manakala Presiden Amerika (AS) berasal dari Partai Demokrat, biasanya cenderung memakai smart power melalui modus dan paket DHL (demokrasi, HAM dan lingkungan hidup), atau berbagai modus lain melaluipeperangan non militer (asymmetric warfare) semacam Arab Spring di Jalur Sutera, atau melalui proxy war di Ukraina dan Semenanjung Korea, atau perang informasi melalui “proxy”-nya semacam Wikileaks, Edward Snowden dll, atau bahkan melalui hybrid war sebagaimana konflik di Syria, Libya, dan lain-lain. Substansi modus, motif dan pola peperangan di atas, pokok awalnya dikarenakan faktor ketergantungan AS terhadap migas untuk keperluan negara (militer dan konsumsi rakyat).

Berikut (sekilas) tentang geoekonomi. Ada istilah ‘realitas kembar’ di kalangan penggiat (atau pengkaji) geopolitik, artinya geopolitik dan geoekonomi boleh dimaknai, “Tujuan penerapan geopolitik tidak lain adalah kuasai ekonomi negara, sedang apabila ingin mengontrol (geo) ekonomi mutlak harus dilemahkan dulu, lalu kendalikan anasir-anasir geopolitik pada negeri target.” Abstraksi ini dapat dipakai secara internal (defensive) atau eksternal (offensive). Kenapa demikian, karena bila merujuk data empiris pada konflik global, bahwa perilaku geopolitik Barat terlihat offensive (menyerang), sedang perilaku geopolitik Timur cq Indonesia cenderung defensive aktif, atau bertahan namun akan menyerang jika diserbu oleh lawan, sebagaimana petuah (geopolitik) Panglima Soedirman, “Pertahankan rumah serta pekarangan kita sekalian” (1947).

Namun konsep geostrategi bukanlah hak negara (ketergantungan) non autarky saja, bahkan sekelas Rusia pun masih membutuhkan geostrategi dalam kiprah dan perannya (existance) dalam politik global. Meski berstatus autarky, Putin tetap memainkan “geostrategi”-nya dalam mengawal “Kepentingan Nasional” Rusia yaitu menjadikan diri sebagai peace conflict catalisator; penyeimbang global; keluar dari cengkraman AS dan sekutunya; dan pengembalian dirinya sebagai superpower. Itulah “ruh geostrategi” dari Beruang Merah, sebutan lain Rusia di lentera global.

Kembali ke geoekonomi. Indonesia misalnya, jika bertolak dari dua unsur kebutuhan hidup (food and energy) sekitar 240-an juta penduduk melalui import, akan sangat kental unsur geoekonomi oleh karena impor pangan dan energi — jelas menggerus devisa negara dan membikin defisit APBN. Ini contoh sederhana tentang ‘realitas kembar’. Politik (geo) ekonomi. Pada gilirannya kian terlihat mengapa antara geopolitik, geostrategi dan geoekonomi itu ‘satu tarikan nafas’. Dengan kata lain, tanpa geostrategi akurat yang berbasis geopolitik, maka geoekonomi kita akan senantiasa mengalami ketergantungan, ketergantungan dan ketergantungan tidak berujung. Pertanyaannya sekarang, “Bagaimana geostrategi republik ini dalam menghadapi ketergantungan pangan dan energi selain impor?” Hampir tidak ada. Padahal hakiki impor di negeri ini cuma sekedar alat bagi pemerintah guna menstabilkan harga-harga ketika biaya hidup sudah mencekik leher rakyat, jadi (impor) bukannya ideologi yang mesti dijalankan sepanjang masa. Jangan-jangan tanpa disadari (atau sadar namun pura-pura tak sadar), kita justru telah larut pada skema asymmetric (jerat impor) yang hakikinya merupakan penerapan geostrategi asing di negeri ini?

Dapatkah kita mengurangi impor, atau mampukah Indonesia menghilangkan ketergantungan? Bisa. Sekali lagi, BISA! Masalah pangan misalnya, bukankah semua komoditi pangan yang kini impor justru berkelimpahan di negeri ini? Tinggal bagaimana political will  elit-elit politik dan political action para pengambil kebijakan di republik tercinta iniMigas pun demikian. Selama ini kita tak pernah (mau) mengurai tajam, kenapa lifting minyak terus menurun di tengah kelimpahan berbagai jenis tambang namun dikuasai (80%) oleh asing; adakah penggelapan data (dark number) atas data-data migas? Kita juga tak pernah jauh beranjak dari isue klasik dan kebijakan pencabutan subsidi, mafia migas, penambahan kilang dll. Tapi pada sisi lain, Natuna adalah penghasil gas terbesar di Asia Tenggara, apakah hasilnya mengalir ke Indonesia? Hasil diskusi di GFI, Jakarta, sewaktu bedah dan peluncuran Journal ke-6, mencatat pointers, “Bahwa yang menikmati gas Natuna justru Malaysia, Singapura, dll yang dialirkan melalui pipa!” Belum lagi gas Papua yang dijual murah ke Cina sejak zaman Megawati. Ujungnya Indonesia malah mengimpor gas. Itulah ironi geopolitik. Sebagaimana isyarat di muka, itu namanya “diplokoto” (diperkuda) — kita hanya diletak sebagai buffer zone (wilayah penyangga/dan penyuplai) dalam geoposisi silang.

Di tengah pelemahan dan berkurangnya nilai-nilai kedaulatan bila ditinjau dari koridor Ketahanan Nasional baik aspek pancagatra (ideologi, politik, ekonomi, sosial budaya dan pertahanan keamanan) juga aspek trigatra (geografi, kependudukan dan SDA), belum lagi pe-NIHIL-an beberapa aspek/gatra seperti gatra KOMUNIKASI, TRANSPORTASI dan SEJARAH pada elemen geopolitik Indonesia (Baca: Geopolitik Ilmunya Ketahahan nasional), maka sisa aset yang belum dilemahkan oleh asing dan hanya sedikit tergerus oleh globalisasi adalah (geo) posisi silang di antara dua samudera dan dua benua. Inilah aset tak ternilai. Menurut Dirgo, “Kondisi posisi silang ini bisa dimaksimalkan keberadaannya melalui kajian strategis agar kapal-kapal dagang dan migas yang melintas perairan kita wajib membayar tol pada pintu ALKI I, II, III dan/atau ALKI III-A, III-B dan III-C”. Siapa yang masuk “rumah dan perkarangan kita” (harus) dan wajib BAYAR, termasuk wilayah udara. Lumayan untuk menggantikan devisa yang tergerus oleh impor migas dan pangan, juga kelak untuk tabungan anak cucu, ungkap Dirgo D Purbo. Untuk itu memang harus  didukung oleh UU yang tegas, keras dan lugas terkait geostrategi dimaksud. Pertanyaannya kini, “Adakah geo (defensive) strategi kita mengarah kesana?” Atau anak bangsa ini cuma gaduh dan asyik sendiri soal HAM, kebebasan, demokrasi, intoleransi, dll yang disinyalir justru bagian (asimetris) geostrategi asing untuk merongrong Ibu Pertiwi dari sisi internal?

Maka dari itu, indoktrinasi kepada segenap anak bangsa wajib ditanamkan semenjak sekolah dasar, sekolah menengah bahkan hingga ke tingkat perguruan tinggi (S-1 hingga S-3) tentang bagaimana konsep pandangan atas diri dan lingkungan baik wilayah darat, laut dan udara sebagai kesatuan bulat dan utuh. Pemahaman Wawasan Nusantara (“Geopolitik”-nya Indonesia) harus digebyarkan secara gegap gempita pada berbagai lapisan masyarakat dan merasuk sesuai level-level pendidikan. Dengan demikian, apabila Ambalat dicaplok oleh Malaysia, atau Tanjung Datu diklaim negara asing, maka seluruh rakyat Indonesia mulai Sabang sampai Merauke dari Miangas hingga Rote merasa tercolek dagingnya, dan ikut tersumbat aliran darahnya, serentak BANGKIT MELAWAN atas nama manisnya nasionalisme dan sedapnya cinta Tanah Air. Inilah pemaknaan 3-G (geopolitik, geostrategi dan geoekonomi) yang selaras dengan nilai-nilai Kepentingan Nasional RI.

(Bersambung ke-3)

Artikel ini lanjutan tulisan berjudul: Membaca Poros Maritim Dunia dan Posisi Silang dari Perspektif Geopolitik.

Penulis: M Arief Pranoto, Research Associate Global Future Institute (GFI)

Facebook Comments
Social Media Auto Publish Powered By : XYZScripts.com