Hanya Enam Hari Nafas UU Pilkada

Bagikan artikel ini

B.R Rajo Nagari, Penulis adalah pemerhati masalah Indonesia. Tinggal di Bukittinggi, Sumatera Barat

Rapat paripurna Dewan Perwakilan Rakyat tanggal 26 September yang lalu, telah mengesahkan revisi Undang-Undang Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) melalui Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD), yang sebelumnya dilakukan dengan pemilihan langsung. Pengesahan revisi Undang-Undang Pilkada tersebut melalui voting, yang diwarnai dengan walkout-nya anggota Fraksi Demokrat, dengan sendirinya opsi pilkada langsung otomatis kalah suara. Berdasarkan rekapitulasi pemungutan suara (voting), fraksi pendukung pilkada lewat DPRD, yang tergabung dalam Koalisi Merah Putih (KMP), yakni Golkar, Gerindra, PAN, PPP dan PKS, unggul dengan perolehan 256 suara., sedangkan   pendukung pilkada langsung, yang tergabung dalam Koalisi Indonesia Hebat (KIH), yakni PDI Perjuangan, PKB, Nasdem dan PKB kalah karena hanya mengantongi 135 suara. Sementara fraksi Demokrat dengan anggota yang hadir 129 memilih walkout lantaran aspirasi dari mereka tentang pilkada langsung dengan sepuluh syarat ditolak.

Dengan dimenengkannya opsi pilkada tidak langsung atau melalui DPRD, hal tersebut memicu reaksi keras dari berbagai kalangan, sehingga bermacam rencana akan ditempuh, saperti untuk mengajukan uji materi ke Mahkamah Konstitusi dan Presiden menerbitkan Peraturan Pemerintah penganti Undang-Undang (Perpu). Ada sejumlah alasan kenapa pilkada melalui DPRD perlu digugat, salah satunya dari sebagian kecil kelompok minoritas beranggapan kepala daerah yang dipilih oleh DPRD dikawatirkan akan cenderung diskriminatif karena hanya mengabdi kepada segelintir orang yang ada di DPRD, tanpa mempedulikan masyarakat.

Diputuskannya pemilihan tidak langsung oleh DPR, seharusnya pemerintah dan masyarakat tidak perlu ragu dan bingung, karena berdasarkan fraksi-fraksi mayoritas yang ada di DPR sudah sepakat untuk mewujudkan kembali pemilihan kepala daerah secara tidak langsung. Perlu diketahui revisi undang-undang Pilkada tersebut sudah diajukan oleh Pemerintah melalui Kementerian dalam negeri sejak tahun 2012 yang lalu. Oleh sebab itu tidak tepat setelah undang-undang tersebut direvisi, kemudian ada tudingan dari beberapa kalangan, bahwa ada perampokan atau pengkhianatan terhadap suara rakyat. Seharusnya tudingan tersebut seharusnya tidak perlu terucap, karena nantinya akan membingungkan masyarakat kita sendiri.

Pemilihan kepala daerah secara langsung sudah berjalan 10 tahun, makanya Undang-Undang Pilkada tersebut perlu dievaluasi. Selama berjalan mekanisme pilkada langsung, banyak dampak buruk yang dilahirkan. Di antaranya adalah ekses sosial, pemborosan anggaran, dan terjeratnya 332 kepala daerah dalam kasus dugaan korupsi. Evaluasi dilakukan untuk meninjau kembali apakah perjalanan pilkada selama ini sudah sesuai dengan harapan masyarakat. Kita bisa melihat belakangan ini pelaksanaan pilkada langsung menimbulkan beberapa permasalahan, salah satunya perselisihan antara kelompok pendukung yang menang dengan kelompok pendukung yang kalah pemilihan, oleh sebab itu lah, maka pemerintah bersama-sama DPR untuk meninjau atau membahas kembali apakah yang selama ini dijalankan sudah sesuai dengan yang kita harapkan untuk kepentingan rakyat. Dengan pertimbangan-pertimbangan yang dilakukan oleh DPR maka dengan suara mayoritas diambil keputusan untuk melakukan Pilkada secara tidak langsung.

Mekanisme UU Pilkada yang dipilih melalui DPRD merupakan aturan yang bersifat lex generali, yaitu, aturan yang bersifat umum berlaku di semua wilayah di Indonesia., namun aturanyang bersifat lex generalis tidak berlaku terhadap daerah yang memiliki aturan lex specialis, yakni aturan bagi daerah otonom yang ditetapkan dalam sebuah UU khusus. Di republik ini ada empat wilayah atau propinsi yang tidak mempunyai dampak terhadap UU pilkada tidak langsung yaitu DKI Jakarta dengan UU Nomor 29 Tahun 2007, Nanggroe Aceh Darussalam dengan UU Nomor 11 Tahun 2006, Daerah Istimewa Jogjakarta dengan UU Nomor 13 Tahun 2012, kemudian di ubah dengan Perpu Nomor 1 Tahun 2008 setelah itu menjadi UU Nomor 35 Tahun 2008 dan Provinsi Papua dengan UU Nomor 2001.

Beberapa kepala daerah mengomentari Undang-Undang Pemilihan tidak lansung, seperti Gubernur Papua Lukas Enembe, dirinya lebih setuju dengan sistem pilkada lewat DPRD karena lebih cocok dilakukan di daerahnya. Selain itu, sistem ini juga sesuai dengan budaya keterwakilan di Papua seperti noken atau lewat kepala suku dalam pilkada. Pemilihan tidak langsung tersebut melekat di DPRD baik untuk kepala provinsi, walikota atau bupati. Kita kan sudah ada noken atau keterwakilan. Itu bukan sistem yang baru. Tapi, ini buat di Papua. Lukas juga mengatakan pilkada langsung belum siap dilakukan di bumi Papua. Ada beberapa alasan yang menurutnya sistem ini sulit diterapkan di daerah paling ujung timur di Indonesia tersebut. Selain menibulkan perpecahan komunitas suku, pilkada langsung tidak cocok dengan kondisi geografis alam di Papua, disamping itu pilkada secara langsung sering menimbulkan perpecahan komunitas yang ada di Papua. Untuk menghindari saling bunuh, perang antar komunitas suku, maka pilkada tidak langsung lebih cocok dilakukan. Lain halnya dengan Gubernur Sumatera Barat Irwan Prayitno, dia mendukung pemilihan tidak lansung, karena terbatasnya anggaran untuk pemilihan langsung, oleh sebab itu kalau dilakukan pemilihan langsung biayanya harus dibebankan kepada pemerintah pusat.

Dengan di setujuinya pilkada tidak langsung dan walkout anggota fraksi Demokrat saat dilakukan voting, maka kemarahan dan cacian akhirnya ditumpahkan kepada Presiden SBY yang juga sebagai ketua umum Partai Demokrat, salah satunya melalui media online. Hujatan yang datang bertubi-tubi terhadap SBY, yang akhirnya pada 2 Oktober yang lalu SBY meneken Undang-Undang Pemilihan Kepala Daerah yang baru disahkan oleh Dewan Perwakilan Rakyat dan pada saat yang sama Presiden menandatangani langsung dua peraturan pemerintah pengganti undang-undang (Perpu) untuk menganulir pemilihan kepala daerah secara langsung. Dua peraturan pemerintah pengganti undang-undang, yaitu Undang-Undang Pemilihan Kepala Daerah Perpu Nomor 1 Tahun 2014 dan Undang-Undang Pemerintah Daerah Perpu Nomor 2 Tahun 2014.

Diterbitkannya dua Perppu oleh Presiden SBY hanyalah sebuah sandiwara belaka, tidak lebih dari sekedar pencitraan, karena setelah Perpu tersebut diterbitkan harus dikirim ke DPR untuk disetujui, hal ini cukup sulit disetujui oleh DPR, karena sudah ada deal-deal politik dalam komposisi kekuasaan di DPR, dimana koalisi merah putih telah membagi kekuasaan kepada demokrat dengan mengangkat Agus Hermanto sebagai wakil ketua DPR dan E.E Mangindaan sebagai wakil ketua MPR. Kalau perpu ini tidak secepatnya dilakukan pembahasan di DPR, akan terjadi kekosongan hukum dalam mengatur teknis pilkada karena Perpunya baru akan dibahas dalam paripurna tahun depan.

Menurut penulis terkait dengan Perpu tersebut, sebaiknya DPR menjadikannya sebagai prioritas pertama dalam persidangan pertama pemerintahan terpilih Jokowi-Jusuf Kalla, karena pembahasan Perpu tersebut sangat ditunggu oleh masyarakat banyak, terutama KPU, Gubernur, Bupati dan Walikota seluruh Indonesia. Namun pembahasan Perpu Pilkada tersebut ditanggapi dingin oleh fraksi Partai Kebangkitan Bangsa (PKB). Anna Muawanah Anggota fraksi PKB mengatakan Perpu Pilkada yang baru dikeluarkan oleh Presiden SBY, belum tentu nantinya bisa didukung oleh fraksi PKB, karena PKB ingin mempelajari dulu substansi Perpu tersebut, agar sikap yang akan diambil nantinya tidak menuai kesalahan.

Masalah yang ditimbulkan dengan revisi undang-undang pilkada, menjadi Undang-Undang Pilkada dimana pemilihannya melalui DPRD, namun enam hari umur Undang-undang tersebut sudah dirobah lagi oleh Presiden menjadi Perpu. Dengan kegalauan tersebut maka Gubernur Kalimantan Barat Cornelis pada 5 Okteber yang lalu mengatakan kepada pers, bahwa dia akan mengajukan referendum kepada Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) untuk memperjuangkan pemilihan kepala daerah secara langsung di Indonesia. Cornelis akan melakukan hal tersebut ke PBB, apabila Perpu Pilkada yang sudah diterbitkan oleh Presiden SBY tidak disetujui oleh DPR. Langkah ini diambil, karena kecewa dengan hasil gugatan MD3 yang ditolak oleh Mahkamah Konstitusi (MK), oleh karena itu langkah referendum yang diajukan ke PBB berisi tiga pilihan, yaitu mencabut UU Pilkada, membentuk negara bagian yang terdiri dari provinsi-provinsi dan memberikan kemerdekaan bagi pulau-pulau.

Pernyataan Gubernur Kalimantan Barat Cornelis sudah diluar batas, karena sebagai warga negara yang baik, apa lagi kedudukannya sebagai Gubernur pernytaanya sudah melantur kemana-mana. Dipilihnya Cornelis sebagai Gubernur di Kalimanatan Barat perlu dipertanyakan kesetiannya terhadap republik ini, karena pernyataanya tersebut akan membingungkan masyarakat Kalimanatan Barat khususnya dan masyarakat Indonesia pada umumnya. Apapun masalah yang timbul di negara kita sendiri, seharusnya diselesaikan denagan baik, banyak cara untuk mencarikan solusinya, tidak perlu mengadukan masalah ini ke PBB, karena ini menyangkut masalah internal. Dengan ikut campurnya PBB terhadap permasalah dalam negara kita, belum tentu menyelesaikan masalah, malah akan menimbulkan masalah baru. Penulis berkesimpulan bahwa Gubernur Kalimantan Barat seorang pemimpin yang cepat putus asa dalam menghadap suatu permasalahan, disamping itu tidak menutup kemungkinan bahwa masalah-masalah yang terjadi dalam rumah tangga Gubernur tersebut sering diselesaikan oleh orang luar atau tetangganya. Oleh sebab itu pemimpin-pemimpin seperti ini tidak perlu lagi dipilih, karena akan membahayakan terhadap kelangsungan hidup NKRI.

Penulis menghimbau kepada seluruh pembaca, agar apapun permasalahan yang terjadi di negara kita ini, agar dalam penyelesainnya tidak mengundang orang luar, karena tidak di undang saja orang luar, sudah berbagai tipu daya caranya agar bisa masuk ke negara kita ini, apa lagi dibukakan jalan masuk sebagai penenggah dalam menangani permasalahan di negara kita ini, seperti kata pepatah “tidak ada kusut yang tidak bisa diselesaikan dan tidak ada keruh yang tidak bisa dijernihkan”. Dengan tulisan ini diharap kepada para petinggi republik dan petinggi partai bisa mencari solusi yang baik terhadap pelaksanaan Perpu Pilkada, karena mau pilkada tidak langsung dan pilkada langsung semua itu punya kelemahan, hanya tinggal mengukur prosentase dari kelemahan aturan tersebut dan kepada Gubernur Kalimantan Barat agar lebih banyak lagi belajar terhadap pemahaman hidup bernegara, karena sesuai dengan pepatah “alam terbentang jadi guru”.

 

Facebook Comments
Social Media Auto Publish Powered By : XYZScripts.com