Dina Y. Sulaeman-Pengamat Internasional Universitas Padjajaran
Penulisan buku Obama Revealed ‘memaksa’ saya mencerna berbagai tulisan tentang sistem keuangan global (yang akhirnya ternyata berguna sekali saat saya kuliah lagi dan mengambil mata kuliah ‘Ekonomi Politik Global’). Salah satu penemuan besar saya (karena bisa dibilang sebelumnya saya awam soal keuangan) adalah bahwa uang kertas ternyata ilusi belaka. Saya jadi menertawakan diri sendiri karena dulu, saat kerja di Iran Broadcasting, saya bisa dibilang ‘mencintai’ dollar.Oh, oh, betapa senangnya saya saat itu, menggenggam lembaran dollar, yang kemudian bisa digunakan untuk banyak hal, di antaranya membeli rumah di Indonesia yang kini kami tempati sekarang.
Awalnya, negara-negara Barat punya perjanjian bahwa setiap uang kertas yang dicetak di-back-up oleh emas dalam perbandingan tertentu. Sehingga uang kertas hanya berfungsi sebagai ‘kwitansi’ dari penyimpanan emas itu. Tapi kemudian AS melepaskan diri dari perjanjian itu dan mencetak uang sebanyak mereka mau tanpa ada back-up emas. Sehingga, hakikinya, setiap lembar dolar (berapapun angka yang dicetak di atasnya) hanya berharga 4 sen dollar (biaya cetaknya saja). Lembaran kertas bernama dollar itu lalu disebarkan ke seluruh penjuru dunia, ditukar degan gas, minyak bumi, emas, batu bara, dibagi-bagi dalam bentuk hutang ke negara-negara berkembang, dan kemudian dibayar tiap tahun dengan hasil keringat rakyat negara itu, atau dengan menjual aset-aset negara itu ke pengusaha-pengusaha dari negeri pemilik dollar. (Parahnya lagi, yang mencetak dollar ternyata bukan Departemen Keuangan AS tetapi lembaga independen di luar kontrol pemerintah AS bernama The Fed. Cerita lebih lengkap bisa dibaca di Obama Revealed).
Dalam tulisan ini saya hanya ingin mengutip kata-kata Umar Ibrahim Vadillo, penulis buku The End of Economic, yang sangat bersesuaian dengan masalah uang ilusi ini:
“Lihatlah ini [Vadillo memperlihatkan uang rupiah logam dan kertas], sebenarnya ini hanyalah ilusi. Begitu banyak orang berlomba meraih kertas dan ilusi ini. Mereka seperti terhipnotis untuk meraih secarik kertas yang tidak berguna ini. Kita seperti bertindak untuk menggapai sesuatu yang tidak ada (nyata). … Hanya dengan memproduksi tumpukan kertas (dolar), Amerika dapat membeli banyak hal tanpa perlu bekerja. Yang mereka butuhkan hanya membuat seluruh dunia terhipnotis dengan sistem yang mereka terapkan.”
Coba perhatikan mata uang Anda, mungkinkah Anda menyatakan bahwa mata uang itu sebagai sesuatu yang nyata? Terlebih dibandingkan dengan koin emas?
Tiga tahun lalu, dinar emas berada pada kisaran tiga hingga empat ribu rupiah, namun lihat kini, harganya telah mencapai delapan ribu rupiah. Andapun merugi 70% selama tiga tahun ini. Karena, mata uang yang Anda gunakan itu terbuka terhadap inflasi. Begitulah cara kapitalisme mengontrol Anda. Karena itu, kapitalisme adalah bahaya besar layaknya mulut singa yang menganga, bahayanya melebihi gigitan nyamuk di tubuh Anda.
Coba perhatikan lagi, rupiah yang beredar di bank, bukanlah rupiah dalam bentuk kertas, tetapi hanya berbentuk rupiah elektronik. Semuanya berputar dalam sistem perbankan.
Perbandingan antara elektronik dan rupiah fisik sekitar 1:40 atau 1:50. Ini berarti kira-kira setiap satu uang kertas yang ada memiliki perputaran 40 atau 50 uang elektronik. Dan semua uang ini sifatnya kredit, yang dibuat oleh sistem perbankan. Setiap kali mereka mengeluarkan tiga triliun rupiah, mereka pun kemudian akan menambah tiga triliun rupiah dalam perputaran uang nasional. Karena itulah setiap kali Anda membeli sesuatu dengan rupiah Anda, maka setiap kali itu pula nilai rupiah Anda menurun.
Makanya, jika makin banyak, maka valuable akan berhenti, dan ketika Anda menggandakan jumlah uang yang bersirkulasi, maka nilai mata uang Anda akan menurun hingga setengahnya. Memperbanyak uang yang beredar, bukan akan membuat Anda menjadi kaya, tetapi justru membuat nilai uang Anda akan kian menurun. Begitulah dalam hitungan matematika dasarnya.
Setelah pemerintah menciptakan kembali uang seharga tiga triliun rupiah, menurut saya itu diambil dari uang kita semua. Ironisnya, tiga triliun yang diciptakan itu justru lari kepada para konglomerat.
Coba lihat, uang yang diambil dari kumpulan uang seluruh masyarakat di Nusantara, lalu kemudian hanya diberikan kepada segelintir orang yang justru memiliki uang. Karena, jika Anda ingin meminjam tiga triliun rupiah, pastilah Anda tidak akan mampu. Sebab Anda harus memiliki uang tiga triliun lain sebagai jaminan pengganti (pailit).
Begitulah yang terjadi berulang-ulang. Dari situlah maka terjadi ketidakstabilan nilai uang. Banyak orang bertanya mengapa ini terjadi. Itu terjadi karena kapitalisme telah menciptakan ketidakstabilan.”