IMPEACHMENT

Bagikan artikel ini

Toni E

Impeachment telah menjadi tema yang seksi dalam proses politik di Indonesia dalam beberapa tahun terakhir. Sejak terbentuknya Kabinet Indonesia Bersatu II pada 2009, isu impeachment muncul hanya dalam waktu beberapa bulan saja, sampai menjelang akhir jabatan Presiden SBY 2014, isu ini terus bergema dan hampir tiap tahun dibulan Maret berdengung keras. Isu impeachment pada saat itu dimulai dari penggunaan hak angket yang dilakukan oteh Partai Golkar, Partai Keadilan Sejahtera, dan Partai Persatuan Pembangunan yang bergabung bersama partai-partai lainnya seperti Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan, Partai Gerindra dan Partai Hanura. Hak angket diajukan partai-partai tersebut untuk menanggapi pemberian dana talangan (bail out) terhadap Bank Century. Isu Bank Century tersebut bertahan sejak sebelum Pemilu 2009 hingga saat ini. Meskipun pengajuan hak angket sah secara procedural bahkan sampai mengarah kepada impeachment pun sah secara procedural hukum ketatanegaraan yang berlaku, namun fenomena ini menjadi fenomena yang janggal dalam politik. Kejanggalan ini dilatarbelakangi oleh konsepsi koaltsi partai yang baru saja terbentuk antara partai pemenang yaitu Partai Demokrat yang mengusung Presiden terpilih Susilo Bambang Yudhoyono dengan partai-partai lainnya seperti Partai Golkar, Partai Keadilan Sejahtera dan Partai Persatuan Pembangunan.

Kejanggalan ini bukanlah fenomena biasa dalam politik, pengajuan hak angket interpelasi bahkan impeachment dari partai koalisi memperiihatkan bahwa pemerintahan Presidensial yang baru saja dibentuk sebenarnya memiliki fondasi yang rapuh. Seperti dikutip Kompas.com tanggal 23 Desember 2009, “Jarak antara kasus Century dan proses impeachment masih jauh, Belum waktunya, belum ada relevansinya” kata Mahfud. Terkait kasus Century yang sedang bergulir, secara hukum tata negara, setidaknya ada dua jembatan besar yang harus dilalui untuk menggulingkan Wapres dari takhtanya. Pertama, Pansus Angket Century harus sepakat menetapkan terjadi pelanggaran yang dilakukan Boediono. Kedua, hasil itu dibawa dalam Rapat Paripuma DPR yang harus dihadiri sekurangnya dua pertiga anggota dan disetujui dua pertiga anggotanya yang hadir. Namun, arah itu sulit terwujud dengan komposisi partai koalisi pendukung pemerintah di DPR. “Kalau Partai Demokrat menggandeng satu partai saja untuk menyatakan tidak, maka tidak akan tercapai dua pertiga.

Bila keputusan Rapat Paripuma menyetujui usuian tuduhan impeachment tersebut maka pendapat tersebut disampaikan kepada MK untuk mendapatkan putusan. Dan hanya apabila MK memutuskan membenarkan pendapat DPR, DPR kemudian menyelenggarakan Rapat Paripuma untuk melanjutkan usul pemberhentian presiden dan/atau wakil presiden kepada MPR. Secara hukum pidana, Mahfud menyatakan, langkah ini juga beriaku jika Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menyatakan bahwa Wakil Presiden Boediono bersalah dalam kasus Bank Century. “Harus tetap Pariemen yang memutuskan, tidak bisa dari KPK. Dan temuan KPK itu bisa jadi bahan untuk sidang MK nantinya,”. Saat ditanya soal DPR yang mengimbau Wapres Boediono nonaktif, Mahfud menegaskan, hal itu tidak ada dalam perundang-undangan. Lagi pula, presiden dan/atau wapres baru bisa dinonaktifkan jika melakukan pelanggaran hukum dengan keputusan pengadilan yang bersifat tetap (incrah). Karena itu, Mahfud menganjurkan presiden ataupun wakil presiden untuk menolak tuntutan untuk mundur sementara dan jabatannya. “Dalam konstitusi krta, penonaktifan presiden atau wakil presiden tidak ada. Kalau imbauan itu kuat, tolak saja,” ujar Mahfud. Menurut Undang-Undang Dasar 1945, kewajiban dan wewenang MK salah satunya adalah memberi putusan atas pendapat DPR mengenai dugaan pelanggaran oleh presiden dan atau wakil presiden.

Wewenang MK lainnya adalah mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk menguji UU terhadap UUD 1945, memutus sengketa kewenangan lembaga negara, memutus pembubaran partai politik, dan memutus perselisihan tentang hasil pemilihan umum. Meskipun begitu tentu isu ini memiliki dampak bagi popularitas dan dukungan bagi presiden terpilih. Munculnya isu impeachment yang sebelumnya asing di tataran masyarakat menimbulkan mufti interpretasi di kalangan masyarakat. Di kalangan gerakan sosial yang cenderung menggunakan metode protes sosial, isu impeachment tidaklah menjadi isu besar selain krisis politik elrt. Namun berbeda hal dengan kalangan gerakan sosial lainnya yang menganggap bahwa impeachment merupakan jalan konstituslonal bagi penjatuhan presiden terpilih, berbeda lagi di tingkatan masyarakat awam, isu impeachment ditafsirkan sebagai upaya pembangkangan para legislative pada pemerintah terpilih. Tidak jarang di kalangan masyarakat menaruh harapan pada pariemen yang mampu melakukan fungsi pengawasan yang aktif dan mampu membatasi kekuasaan presiden sebagai tindakan preventif terhadap kemunculan kembali kediktatoran di Indonesia. Aksi demo/unjuk rasa merupakan bagian dari kehidupan berdemokrasi untuk mengekspresikan pendapat/opini/keinginan, namun demikian dalam pelaksanaannya harus dapat dilaksanakan secara tertib dan tidak memaksakan kehendak karena kelompok demo/unjuk rasa hanya sebagian dari aspirasi yang berkembang di kelompok masyarakat, tentunya kelompok lain di masyarakat memiliki berbagai aspirasi lainnya yang belum tentu sama dengan kelompok lainnya. Isu impeachment sendiri sebenarnya hanya dipahami oleh masyarakat sebagai konflik polrtik elft bukan proses normal dalam demokrasi. Isu ini bahkan mampu memecah dukungan masyarakat ke dua kubu menjadi kubu pro dan kontra impeachment tanpa memahami impeachment sebagai proses politik.

Untuk melihat impeachment sebagai proses politik, kita harus mampu mencermati beberapa faktor politik yang mendorong munculnya isu impeachment. Faktor-faktor tersebut dilihat dari konteks sistem kuasi presidensial yang berlaku di Indonesia. Sistem kuasi presidensial di Indonesia dipahami sebagai sistem presidensial namun memiliki sistem kepartaian yang multi partai. Keadaan ini mengharuskan terjadinya koalisi dalam pemerintahan yang dibentuk. Koalisi dimaksudkan untuk menjaga kestabilan pemerintahan. Kemudian, faktor lainnya adalah konstitusi yang mengatur prosedur impeachment presiden yang terdapat pada UUD 1945 amandemen.

Kerangka Konseptual

Salah satu hasil amandeman UUD 1945 adalah munculnya aturan secara eksplisit yang mengatur tentang pemberhentian presiden dan wakil presiden. Pemberhentian presiden dan wakil presiden yang sebelumnya murni sebagai proses politik yang merupakan pencabutan mandate rakyat melalui Majelis Permuswaratan Rakyat (MPR) sebagai perwakilan rakyat, kini dirubah dengan memasukkan prosedur hukum di dalamnya. Alasan ini dilatari oleh pemilihan presiden yang tidak lagi dipilih oleh MPR sebagai representasi rakyat melainkan langsung dipilih oleh rakyat melali pemilu presiden. Meskipun begitu, DPR sebagai lembaga legislative dan representasi rakyat tetap memiliki kuasa untuk mengusulkan pemberhentian presiden.

Alasan pemberhentian Presiden dan/atau Wakil Presiden disebutkan secara limitatif dalam konstitusi, yaitu pengkhianatan terhadap negara, korupsi, penyuapan, tindak pidana berat lain, perbuatan tercela, atau tidak lagi memenuhi syarat sebagai Presiden dan/atau Wakil Presiden. Ketentuan tersebut diatur dalam Pasal 7A dan 7B Perubahan Ketiga UUD 1945. Istilah impeachment sendiri berasal dari Inggris di abad ke-14. Pada saat itu, parlemen Inggris menggunakan lembaga impeachment untuk memroses pejabat-pejabat tinggi dan individu-individu yang memiliki kekuasaan besar di dalam negara dan terkait kasus korupsi atau hal lain yang berada diluar kewenangan pengadilan. Lembaga impeachment tersebut mengeluarkan artikel impeachment yaitu surat resmi yang berisi tuduhan yang menyebabkan terjadinya proses impeachment (MK,2005;8) Impeachment menurut Jimmly Asshidiqie, impeachment berasal dari bahasa Inggris, yaitu “to impeach” yang artinya memanggil atau mendakwa untuk meminta pertanggung jawaban. Dalam hubungannya dengan kepala pemerintahan, impeachment bukan berarti pemberhentian kepala negara akan tetapi pemanggilan atau pendakwaan untu diminta pertanggungjawaban atas persangkaan pelanggaran hukum yang dilakukan dalam masa jabatan. Dengan kata lain, proses impeachment diproyeksikan pada ketentuan pelanggaran hukum bukan hanya faktor polrtik semata. Apabila Mahkamah Konstitusi memutuskan bahwa Presiden dan/atau Wakil Presiden terbukti melakukan pelanggaran hukum berupa pengkhianatan terhadap negara, korupsi, penyuapan, tindak pidana berat lainnya, atau perbuatan tercela; dan/atau terbukti bahwa Presiden dan/atau Wakil Presiden tidak lagi memenuhi syarat sebagai Presiden dan/atau Wakil Presiden, Dewan Perwakilan Rakyat menyelenggarakan sidang paripurna untuk meneruskan usul pemberhentian Presiden dan/atau Wakil Presiden kepada Majelis Pemnusyawaratan Rakyat. Majelis Permusyawaratan Rakyat wajib menyelenggarakan sidang untuk memutuskan usul Dewan Perwakilan Rakyat tersebut paling lambat tiga puluh hari sejak Majelis Permusyawaratan Rakyat menerima usul tersebut. Perubahan III (9 November 20017) Keputusan Majelis Permusyawaratan Rakyat atas usul pemberhentian Presiden dan/atau Wakil Presiden harus diambil dalam rapat paripurna Majelis Permusyawaratan Rakyat yang dihadiri oleh sekurang-kurangnya 3/4 dari jumlah anggota dan disetujui oleh sekurang-kurangnya 2/3 dari jumlah anggota yang hadir, setelah Presiden dan/atau Wakil Presiden diberi kesempatan menyampaikan penjelasan dalam rapat paripurna Majelis Permusyawaratan Rakyat. Perubahan III November 2001 Pada prosedur yang dijelaskan pada pasal diatas, dapat dilihat bahwa proses impeachment dimulai dari proses politik yang berasal dari usul DPR yang dilanjutkan pada proses hukum melalui Mahkamah Konstitusi. Mahkamah konstitusi melakukan pemeriksaan, pengadilan dan mengambil keputusan atas dakwaan yang diajukan oleh DPR kepada Presiden.

Ketentuan  suara  minimal  pengusulan   impeachment  Presiden dengan quorum 2/3 jumlah anggota DPR pada pasal diatas memiliki konsekuensi politik secara procedural dan dinamis. Konsekuensi ini mengharuskan munculnya oposisi solid dalam proses pengusulan impeachment. Dalam sistem kepartaian multipartai baik oposan yang solid ataupun koalisi pemerintah yang solid sangat jarang terjadi.

Proses hukum yang terjadi di Mahkamah Konstrtusi bukanlah puncak dari proses impeachment karena setelah pembuktian di Mahkamah Konstitusi hasil kembali diserahkan pada DPR. Selanjutnya proses yang menentukan impeachment adalah sidang MPR. Pada sidang MPR dijelaskan pada pasal 7B ayat 7 yang menentukan bahwa jumlah quorum sedikitnya dihadiri % anggota dan disetujui oleh sekurang-kurangnya 2/3 anggota MPR, syarat ini sangat sulit dipenuhi dalam sistem multipartai dimana terdapat banyak partai yang memiliki perbedaan pandangan polrtik.

Mengenai prosesdur impeachment presiden dan wakil presiden, DR Nandang Alamsyah dalam artikelnya mengenai impeachment Wakil Presiden menggambarkannya secara ringkas pada skema berikut; (Alamsyah, 2006;9) Dalam situasi sekarang, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono hampir tidak dapat diimpeach karena partai pengusungnya juga partai pemenang pemilu yang memiliki 148 kursi dengan presentase 25,60 % dari keseluruhan 560 kursi di DPR-RI. Dengan pemilikan jumlah kursi tersebut keseluruhan prosedur impeachment dapat drtangkal hanya dengan jalan walkout Impeachment jelas tidak dapat disamakan dengan pencabutan mandat, dengan prosedur impeachment yang diatur oleh konstrtusi, pencabutan mandate terhadap presiden bukan hanya rumit, namun juga hampir tidak mungkin jika dihadapkan pada kondisi sistem kepartaian yang multi partai. Ketidakstabilan pariemen dalam sistem multipartai berkonsekuensi langsung pada Presiden. Seperti yang dijelaskan pada paparan diatas, presiden dalam kondisi sistem Presidensial yang menganut sistem multipartai memiliki kecenderungan memakai koalisi untuk mempertahankan stabilitas pemerintahan sehingga dinamika koalisi sangat berpengaruhpada kinerja lembaga kepresidenan.

Selain itu karena salah satu cara untuk menghindari proses impeachment adalah walkout, presiden sangat bergantung pada kebulatan suara dan dukungan dan partai pengusungnya agar dapat mempertahankan kelangsungan pemerintahan tanpa diwarnai oleh impeachment. Aksi demo atau aksi jalanan lainnya yang memaksakan kehendak dan terlebih ingin menjatuhkan pemerintahan yang sah tentunya tidak dapat diterima di alam demokrasi Indonesia. Semua aspirasi politik termasuk impeachment saat ini sudah diatur dalam perundang-undangan yang ada di Indonesia.

Tata Cara Pemberhentian Presiden dan/atau Wakil Presiden (Pasal 83 Keputusan MPR Rl Nomor 7/MPR/2004 Tentang Peraturan Tata Tertib MPR Rl Sebagaimana Telah Diubah Dengan Keputusan MPR Rl Nomor 13/MPR/2004 Tentang Perubahan Peraturan Tata Tertib MPR Rl) MPR Rl, 30 hari menyelenggarakan Sidang (Presiden dan/atau Wapres diundang) Pengambilan Putusan:- Kuorum > 3/4 jumlah anggota- Keputusan > 2/3 jumlah anggota yang hadir MK Memeriksa, Mengadili.dan Memutuskan(< 90 hari).
 

Facebook Comments
Social Media Auto Publish Powered By : XYZScripts.com