Kemitraan Lintas Pasifik (TPP): Menyeret Indonesia Masuk Dalam Persekongkolan Rahasia antara Pejabat Pemerintah dan Pelaku Bisnis

Bagikan artikel ini

Hendrajit, Direktur Eksekutif Global Future Institute (GFI)

Manuver Amerika Serikat untuk menggalang kekuatan politik di forum regional Asia Pasifik harus kita cermati bersama karena dalam jangka panjang akan memperlemah blok ekonomi negara-negara di kawasan ASEAN termasuk Indonesia. Hal ini semakin nyata ketika Amerika Serikat dan Jepang pada akhir Februari 2013 lalu bersepakat untuk menindak-lanjuti penggalangan kekuatan negara-negara Asia Pasifik melalui blok perdagangan yang dirancang oleh Amerika Trans Pacific Partnership (TPP).

Jika agenda ini semakin solid dan terus bergulir, maka Amerika dan sekutu-sekutu Eropa Barat yang tergabung dalam G-8, bisa dipastikan akan berhasil memecah-belah soliditas dan kekompakan negara-negara Asia Pasifik yang tergabung dalam forum APEC, dan bahkan juga kekompakan negara-negara berkembang yang tergabung dalam G-20.

Betapa tidak. Jika kita cermati anatomi negara-negara Asia yang sudah menyatakan bergabung ke dalam blok perdagangan TPP yang disponsori AS, setidaknya ada beberapa negara ASEAN seperti Malaysia, Brunei Darussalam, Singapore dan Vietnam. Malaysia, Brunei dan Singapre,  bisa dipastikan dari sejak awal kemerdekaannya, memang sudah terikat dalam komitmen sebagai negara-negara eks koloni Inggris yang tergabung dalam Perhimpunan Negara-Negara Persemakmuran (Common Wealth). Sedangkan Vietnam, meski pada era Perang Dingin berkecamuk merupakan musuh Amerika namun saat ini berada dalam satu fron bersama negara Paman Sam tersebut karena sama-sama menaruh kekhawatiran terhadap semakin menguatnya pengaruh Cina di kawasan Asia Pasifik.

Negara-negara lain yang juga tergabung dalam blok perdagangan TPP juga secara nyata merupakan sekutu strategis AS seperti Australia, Kanada, Selandia Baru, Meksiko,  dan Peru. Hingga saat tulisan ini hadir pada anda, sidang pembaca, Jepang dan Korea Selatan masih sedang dilobi oleh Amerika dan blok persekutuan ekonomi Eropa Barat yang tergabung dalam G-8, untuk ikut serta bergabung.

Pada tataran ini, Indonesia sebagai negara terbesar di kawasan ASEAN dan Asia Tenggara pada umumnya, harus memandang tren ini secara cermat dan penuh perhitungan. Karena di balik gagasan TPP untuk menggalang dukungan dari negara-negara Asia Pasifik, sasaran sesungguhnya adalah untuk membendung pengaruh dan kekuatan Cina sebagai negara adidaya baru di kawasan Asia Pasifik, dan Asia Tenggara pada khususnya.

Tren ini kiranya bukan suatu hal yang berlebihan, apalagi mengada-ada. Beberapa waktu lalu, sebuah perusahaan jasa profesional PricewaterhouseCoopers (PWC) dalam sebuah laporannya,  mengatakan Cina kemungkinan akan menjadi kekuatan ekonomi terbesar di dunia pada tahun 2017, sehingga bisa menyusul dan mengungguli kekuatan ekonomi Amerika Serikat.

Bukan itu saja. Laporan PWC juga menjelaskan, dalam satu laporan bahwa produk domestik bruto Cina diukur pada paritas daya beli (PPP) dasar akan hampir mencapai 20 triliun dolar AS, melebihi angka di pihak AS.(Baca kembali PricewaterhouseCoopers: Cina Akan Jadi Ekonomi Terbesar Dunia pada 2017http://www.theglobal-review.com/content_detail.php?lang=id&id=11133&type=6#.UUgnLzdP1kg).

Pada tahun 2030, tiga negara ekonomi terbesar secara PPP akan tercatat China dengan 30,6 triliun dolar AS, Amerika Serikat 23,4 trilyun dolar AS, dan India dengan 13,7 triliun dolar AS. Saat ini Jepang yang berada di nomor tiga diproyeksikan akan jatuh ke tempat keempat dengan 5,8 triliun dolar AS.

Melihat perkembangan pesat pertumbuhan ekonomi Cina dan manuver korporasi-korporasi negara ‘Tirai Bambu” tersebut, sudah barang tentu mencemaskan para pelaku bisnis di Amerika maupun Eropa Barat. Apalagi dalam prediksi PWC, pertumbuhan Cina akan tetap di kisaran 3 sampai 4 persen per tahun. Bahkan pada 2040-an, masih akan tetap lebih unggul daripada proyeksi pertumbuhan di Amerika dan Eropa.

Juga PWC mencatat kegelisahan para pelaku bisnis Amerika dan Eropa yang melihat adanya cara para pelaku bisnis Cina dalam melancarkan operasi  bisnisnya di kawasan Asia Pasifik, dengan meningkatkan biaya mendorong operasi produksi Cina ke luar Cina, yang secara khusus melayani para konsumen lapisan ekonomi menengah dan kecil dengan harga murah tapi dengan kualitas yang relatif sama dengan produk Amerika dan Eropa. Hal ini terlihat secara terang-benderang  di Vietnam dan Indonesia, dua negara yang jadi sasaran utama sebagai daerah pasar penjualan barang-barang produk Cina. Sehingga meski kualitas barang sama antara Cina dan produk Amerika-Eropa, namun Cina mampu menawarkan harga yang jauh lebih murah sehingga terjangkau oleh pangsa pasar.

 

TPP: VOC Gaya Baru

Tak heran jika pada November 2011 lalu, Kepala Perwakilan Dagang AS Ron Kirk, secara agresif mendesak 12 negara yang tergabung dalam forum ekonomi Asia-Pasifik APEC untuk bergabung dalam Kemitraan Lintas Pasifik (TPP). Manuver ini jelas merupakan sebuah aksi memecah-belah kekuatan  blok ekonomi APEC melalui penggalangan TPP sebagai kontra skema terhadap skema ekonomi APEC.
Pada saat Ron Kirk berkampanye mempromosikan TPP, sembilan negara anggota APEC yang sudah bergabung dalam TPP. Mereka adalah Australia, Brunei Darussalam, Chile, Malaysia, Selandia Baru, Peru, Singapure, Vietnam, and Amerika Serikat. Dan 12 negara yang waktu itu sedang dilobi pihak Amerika untuk bergabung dengan TPP adalah Kanada, China, Hong Kong, Indonesia, Jepang, Korsel, Meksiko, Papua New Guinea, Filipina, Rusia, Taiwan, Thailand.

Namun, benarkah TPP sekadar sebuah blok perdagangan yang dirancang oleh para ekonom di Gedung Putih? Artikel Dr Paul Craig Roberts bertajuk Towards Global Government? Trans Pacific Partnership (TPP). Corporate Escape from Accountabiliy, menginformasikan adanya perundingan rahasia antara Ron Kirk dan 600 korporasi besar Amerika. Bahkan Ketua Sub-Komite Perdagangan Ron Wyden yang mempunyai Juridiksi/kewenangan mengawasi TPP ini, tidak diberi akses dan izin untuk mengetahui apa materi yang diagendakan dalam perundingan tertutup antara Ron Kirk dan 600 korporasi besar AS tersebut.

Dalam analisis Dr Paul Craig Roberts yang sejalan dengan pandangan kami di Global Future Institute, TPP sepertinya diracang sebagai sebuah basis sekaligus alat dari kekuatan korporasi-korporasi global AS untuk menjalankan agenda-agenda strategisnya sendiri di luar kendali pemerintahan Amerika maupun Kongres. Dengan kata lain, korporasi-korporasi global AS yang beroperasi di luar negeri, melalui TPP ini akan punya payung hukum untuk menghindari tanggungjawabnya kepada pemerintah AS dalam melakukan deal-deal bisnis dengan negara-negara lain.

Dalam skema ini, menurut Paul Craig Roberts, TPP pada perkembangannya akan menjadi sebuah langkah strategis menuju terbentuknya Global Government in the New World Order. Sebuah pemerintahan Global dalam sebuah Tata Dunia Baru. Melalui TPP ini, dengan melepaskan diri dari jangkauan pengawasan pemerintah AS dalam kegiatan bisnis global mereka di luar negeri, maka praktis TPP merupakan perwujudan dari korporasi yang menegara. Atau dengan kata lain, TPP telah menjadi sebuah tahapan penting menuju terbentuknya Negara dalam Negara.

Jadi kalau dalam skema TPP ini, korporasi membangun sebuah mekanisme hukum bisa bebas dari jeratan hukum dan regulasi pemerintah, maka bisa dipastikan agenda ini juga akan didorong oleh Amerika ke negara-negara Asia Pasifik, termasuk Indonesia. Sehingga pada perkembangannya akan menimbulkan sebuah privilege atau hak istimewa yang dinikmati oleh korporasi sebagai sebuah kelas yang bebas dari jeratan hukum dan regulasi pemerintah. Kejadian yang baru-baru ini terjadi di dalam kasus desakan Amerika agar pemerintah Indonesia merevisi pembatasan impor hortikultura(sayur dan buah-buahan), hanya sebuah contoh kecil bagaimana skema TPP memang dibuat sebagai alat untuk melayani hak-hak istimewa kepentingan korporasi-korporasi Global AS.

Yang lebih mengerikan lagi, jika terjadi dispute atau pertikaian bisnis dengan negara-negara lain, melalui skema TPP ini korporasi global AS akan bisa menghindari jeratan hukum karena ada ketentuan dalam perjanjian rahasia antara Kepala Perwakilan Perdagangan AS dan 600 korporasi tersebut, bahwa korporasi yang terlibat dalam pertikaian bisnis dengan suatu negara, diberi hak imunitas untuk tidak dikenakan ketentuan hukum dari negara yang bersangkutan.

Jika skema TPP ini memang dirancang untuk memberi payung hukum semacam ini kepada korporasi-korporasi global AS, maka bisa dipastikan mealalui TPP ini perusahaan-perusahaan besar berskala raksasa dari AS akan mampu melakukan penetrasi bisnis melampaui kemampuan pemerintah AS itu sendiri, di beberapa negara anggota TPP seperti Brunei Darussalam, Selandia Baru, Malaysia, Meksiko, Peru, Singapore, dan Vietnam.

Tak pelak lagi, TPP akan jadi semacam VOC gaya baru seperti model penjajahan Belanda di Indonesia dulu maupun penjajahan model Inggris di India seperti EIC. Yang sejatinya merupakan perwujudan dari hajatan kepentingan bisnis korporoasi-korporasi besar(Kongsi Dagang) untuk menjarah Sumber Daya Alam negara-negara jajahannya.

Karena itu masuk akal jika di Amerika sendiri, seperti dikemukakan oleh Dr Paul Craigh Roberts, telah meresahkan beberapa kalangan di Amerika itu sendiri. Karena TPP sepertinya lebih dimaksudkan sebagai instrumen untuk melayani kepentingan pelaku binsis sektor swasta, bukan untuk melayani atau melindungi kepentingan publik.

Dari jalina  kisah ini, sudah bisa ditarik sebuah kesimpulan: Bahwa TPP bukan sekadar blok perdagangan sebagai alternatif membendung pengaruh Cina di kawasan Asia Pasifik. Bahkan ancaman terhadap pengaruh Cina sekadar digunakan sebagai alasan saja. Lebih dari itu, dengan menelusur kisah perundingan rahasia antara Ron Kirk dan 600 korporasi global AS, TPP bahkan di tataran pengambilan kebijakan ekonomi di Washington itu sendiri,  telah mengindikasikan adanya Konspirasi atau persekongkolan rahasia antara pejabat pemerintah/pejabat publik dengan kepentingan sektor swasta yang dalam hal ini adalah dengan para pemain kunci dari 600 korporasi global AS.

Dengan begitu, skema TPP yang sedang diupayakan pihak Washington kepada Indonesia dan beberapa negara ASEAN dan bahkan juga beberapa negara Asia Pasifik yang tergabung dalam APEC, bisa dipastikan akan menyeret Indonesia agar masuk dalam skema persekongkolan rahasia antara pejabat pemerintah dan sektor swasta/pelaku bisnis.

Facebook Comments
Social Media Auto Publish Powered By : XYZScripts.com