Penyelesaian Kasus Ianfu Indonesia Masih Berlarut-Larut Hingga Sekarang (Catatan Sekilas dari Diskusi Ianfu Indonesia, 9 Maret 2013, di Balai Sudjatmoko, Solo, Jawa Tengah)

Bagikan artikel ini

Ferdiansyah Ali, Global Future Institute (GFI)

Salah satu isu penting yang mencuat dalam forum diskusi dalam rangka acara Pameran Ianfu Indonesia 1942-1945, adalah tentang perkembangan penyelesaian Ianfu di Indonesia. Hendrajit, dalam presentasinya menggarisbawahi beberapa hal terkait latar belakang mengapa kasus Ianfu Indonesia hingga saat ini masih berlarut-larut.

Menurut Hendrajit, Direktur Eksekutif Global Future Institute(GFI) yang merupakan salah satu narasumber dalam forum diskusi pada 9 Maret 2013 lalu, mengatakan bahwa pampasan perang dan comfort women adalah sebagian dari sisa-sisa persoalan yang ditinggalkan Jepang di kawasan Asia Pasifik. Saat ini, persoalannya bukan lagi terletak pada kejelasan duduk perkara kasus-kasus yang menjadi warisan kolonialisme Jepang di masa lalu. Kasus-kasus itu sendiri secara terang benderang mengharuskan ditariknya sebuah kesimpulan bahwa pemerintah Jepang adalah satu-satunya pihak yang harus memikul bertanggung jawab. Yang menjadi pertanyaan dan perlu untuk ditelusuri adalah mengapa persoalan semacam itu berlarut-larut hingga saat ini?
Untuk sebagian, persoalan ini dilatarbelakangi oleh posisi dan postur AS di kawasan Asia Pasifik pasca PD II. Sebagaimana diketahui, sebagai pemenang perang di Asia Pasifik AS memegang peran kunci dalam perubahan geo politik di kawasan ini. Dihantui oleh kebangkitan kembali militerisme Jepang di Asia Pasifik, tentara pendudukan AS di Jepang memainkan peran penting dalam mendesain wajah Jepang pasca PD II. Di di samping memperkenalkan sistem demokrasi, tentara pendudukan AS—di bawah Jendral Douglas McArthur—juga menyusun konstitusi Jepang yang mengatur agar budget untuk sektor pertahanan tidak membuat negara ini memiliki potensi untuk melakukan ekspansi militer.
Lebih dari itu, era pasca PD II juga telah membuat AS mengubah secara drastis desain politik globalnya. Jika di era PD II AS bersekutu dengan negeri-negeri Barat dan bekas Uni Soviet untuk melawan kekuatan Axis yang terdiri atas Jerman, Italia dan Jepang, namun pada masa pasca PD II AS bersekutu dengan eks negara-negara Axis vis-a-visUni Soviet. Lawan politik global AS di era pasca PD II bukan lagi kaum ultra-nasionalis Jerman, Fasis Italia dan militeris Jepang, melainkan kaum komunis.
Sekutu di bawah kepemimpinan AS memang telah menggelar pengadilan internasional bagi para penjahat perang di Tokyo menyusul kapitulasi Jepang. Namun, upaya tersebut dinilai belum cukup memadai dan masih menyisakan persoalan besar. Sejumlah eks penjahat perang dari kalangan militeris Jepang—bahkan terdapat beberapa di antaranya yang tergolong ’Kelas A’—yang lolos dari tiang gantungan diberi keringanan hukuman dan menghirup udara bebas di era 1950-an.
Dalam kerangka ini, AS agaknya ingin menempatkan Jepang sebagai sekutu untuk membendung ancaman meluasnya pengaruh komunisme di kawasan Asia Pasifik. Bertolak dari desain semacam ini AS sama sekali tidak menghendaki Jepang direpotkan untuk urusan-urusan yang menjadi warisan pendudukan Jepang di negeri-negeri Asia. Upaya keras AS untuk memakmurkan Jepang sebagai bagian dari strategi globalnya untuk menghadang ancaman komunisme di Asia Pasifik sedemikian rupa telah membuat AS tidak dapat membiarkan Jepang dibelit oleh tanggungjawab masa lalunya.
Kaum militeris Jepang yang dikenal sangat anti-komunis itu—yang sebelumnya merupakan musuh bebuyutan AS semasa PD II—menjadi sekutu strategis bagi AS dalam desain politik globalnya di kawasan Asia Pasifik pada pasca PD II. Desain politik global AS yang menempatkan komunisme sebagai musuh yang tak termaafkan itu telah mendorong Washington merapatkan barisan dengan Jepang di masa pasca PD II. Dalam kerangka inilah persoalan warisan kolonialisme Jepang di Asia Pasifik diletakkan.
Dengan demikian, perjuangan bangsa-bangsa Asia Pasifik untuk menagih tanggungjawab Jepang atas peran masa lalunya di era PD II masih terus berlangsung hingga hari. Meskipun persoalan warisan kolonialisme Jepang menjurus ke arah pelanggaran HAM, posisi AS tetap tak bergeming. Pelanggaran HAM yang ditinggalkan kolonialisme Jepang di Asia Pasifik sama sekali berada di luar skenario politik global AS. Sebagai pemenang PD II di kawasa Asia Pasifik AS sesungguhnya memiliki daya dan legitimasi untuk membuat Jepang melaksanakan kewajiban internasionalnya terkait dengan peran masa lalunya. Bukankan wajah Jepang hari ini merupakan produk dari desain yang dibuat oleh tentara pendudukan AS di negeri itu pada PD II?
Dewasa ini beberapa elemen progresif yang dipelopori generasi muda Jepang memang mulai mempersoalkan peran masa lalu negerinya. Gejala ini memperlihatkan bahwa di Jepang sendiri mulai muncul kegelisahan terkait dengan peran masa lalunya. Namun, sebagaimana diketahui, gerakan ini belum cukup efektif untuk dapat mempengaruhi para pengambil keputusan di Jepang untuk menjalankan tanggung jawab atas peran masa lalunya.
Berdasarkan analis tersebut, Hendrajit merasa perlu mengingatkan kembali rekomendasi Ihwal Potensi Kebangkitan Kembali Militerisme Jepang di Asia Pasifik pada Seminar 65 Tahun Kapitulasi Jepang dalam Perang Asia Pasifik, 25 Oktober 2010:
  1. Menyadari konstalasi dan dinamika politik internasional yang semakin menajam antara Amerika Serikat dan Cina di kawasan Asia Pasifik akhir-akhir ini, maka trend dan potensi kebangkitan kembali postur Angkatan Bersenjata Jepang yang semakin agresif dan ekspansif harus mendapat perhatian yang intensif dan penuh kewaspadaan oleh para pemegang kewenangan keamanan nasional di Indonesia.
  2. Perlu segera dibentuk panel para ahli dengan melibatkan berbagai elemen strategis bangsa yang menaruh minat dan perhatian yang intensif dalam bidang politik internasional, untuk memantau dan menganalisis perkembangan pertahanan dan kemiliteran Jepang dalam dua sampai tiga tahun mendatang.
  3. Para peserta seminar mengingatkan adanya indikasi kuat Jepang untuk digunakan sebagai proxi (perpanjangan tangan) Amerika Serikat untuk menghadapi Cina sebagai kekuatan baru dan pesaing baru di kawasan Asia Pasifik, sehingga Amerika ada indikasi kuat kali ini untuk mendukung penguatan kembali kekuatan militer Jepang pada skala yang jauh lebih agresif dan ekspansif di masa depan.
  4. Menyadari tren dan potensi menguatnya kembali aspirasi berbagai kalangan ultra-nasionalis Jepang untuk menghidupkan kembali kekuatan militerisnya pada skala agresif maupun dorongan kuat dari dalam negeri Jepang untuk merevisi kembali buku-buku sejarahnya dari perannya sebagai agresor menjadi pembebas dalam Perang Asia Pasifik pada Perang Dunia II, maka para peserta seminar merasa perlu untuk membuka dan meluruskan kembali berbagai kejahatan perang Jepang yang merupakan buah dari sejarah kelam militerisme Jepang di Asia Pasifik dan Indonesia pada khususnya.
  5. Seluruh pembicara maupun peserta aktif seminar bersepakat bahwa Jugun Ianfu (Kebijakan Paksa bagi Perempuan Indonesia sebagai Pekerja Sex), Romusha (Kebijakan Buruh Paksa terhadap warga masyarakat Indonesia) serta Heiho (Kebijakan paksa wajib militer pada para pemuda Indonesia), merupakan buah langsung dari militerisme dan kejahatan perang Jepang di Indonesia pada periode 1942-1945.
  6. Maka tuntutan bangsa-bangsa Asia Pasifik, utamanya Indonesia, agar Jepang menunaikan kewajiban internasionalnya terkait dengan peran masa lalunya yang kelam itu,  tidak saja sah dilihat dari sudut norma Hak-Hak Asasi Manusia secara universal, melainkan juga mengandung nilai-nilai etis dan keadilan.
Sikap Pemerintah Indonesia Dalam Upaya Penyelesaian Ianfu
Pada bagian lain, Eka Hindra, Peneliti Independen Ianfu yang juga Research Associate Global Future Institute, soal ianfu Indonesia telah dianggap selesai pemerintah Indonesia melalui Menteri Sosial Inten Suweno yang menerima dana bantuan dari Pemerintah Jepang melalui Asia Women’s Fund (AWF) yang didirikan pada 1995 oleh Pemerintah Jepang dalam upaya menyelesaikan masalah ianfu di Asia Pasifik.
Pemberian dana bantuan antara dua pemerintah ini tertuang dalam Memorandum of Understanding (MoU) pada 25 Maret 1997. Ditandatangani di Jakarta. Dana yang diberikan sebesar 380 juta yen atau 7,6 miliar rupiah yang diangsur pemerintah Jepang kepada pemerintah Indonesia selama 10 tahun. Uang ini digunakan Departemen Sosial untuk membangun panti jompo.
Menurut Eka, tindakan yang diambil pemerintah Indonesia dalam upaya penyelesaian soal ianfu di Indonesia mendapat kecaman dan penolakan dari para ianfu. Karena cara ini tidak menyentuh langsung kepada kebutuhan ianfu. Selain itu, juga panti jompo bukan menjadi suatu kebudayaan di Indonesia di mana para lansia (lanjut usia) biasanya diurus oleh keluarganya. Bukan dimasukkan ke panti jompo.
Sementara itu pemerintah Jepang, lanjut Eka, selalu mengelak dari tanggungjawab perangnya dengan dalih soal ianfu Indonesia sudah dianggap selesai sesuai Perjanjian Pampasan Perang pada 20 Januari 1958. Begitu pula dengan Korea yang dikunci Jepang melalui perjanjian bilateral yang ditandatangani pada 1965 dan Cina pada 1972. Padahal, di dalam Perjanjian Pampasan Perang Indonesia-Jepang tidak dicantumkan ganti rugi atas penderitaan manusia (Ianfu, Romusha, Heiho).
Facebook Comments
Social Media Auto Publish Powered By : XYZScripts.com