Miskalkulasi AS dan Turki

Bagikan artikel ini

Dina Y. Sulaeman, alumnus Magister Hubungan Internasional Universitas Padjadjaran, research associate of Global Future Institute (GFI)

Menlu AS, John Kerry awal bulan ini mengunjungi Turki untuk membicarakan masalah Suriah. Namun, seperti diduga, tak ada yang bisa dilakukan. Semua sudah terlanjur, jalan keluar konflik masih terlihat gelap.

Presiden Obama selama ini menggandeng Turki untuk mencapai tujuannya di Suriah, yaitu menggulingkan Assad dari tampuk kekuasaan. Di hadapan publik, AS berusaha mengesankan bahwa yang diinginkannya adalah solusi yang menjamin kehidupan damai bagi semua umat beragama dan seluruh etnis di Suriah. Namun, AS justru menggandeng pihak-pihak yang tidak memiliki interes dalam hal pluralisme. Turki adalah salah satu di antaranya. Turki justru memperburuk situasi sektarian (perseteruan antarmazhab) di Suriah, alih-alih berkontribusi memberikan solusi yang damai dan pluralistik.
Obama selama ini telah menginvestasikan modal politik yang cukup besar di Turki dan membina hubungan erat dengan Perdana Menteri Recep Tayyip Erdogan. Para pejabat Amerika dan Turki telah mengadakan pertemuan rutin perencanaan operasional sejak musim panas 2012, untuk mencari jalan mempercepat kejatuhan Assad. Dalam sebuah wawancara baru-baru ini dengan surat kabar Turki, ‘Milliyet’, Obama mengucapkan terima kasih kepada pemerintah Turki atas ‘kepemimpinan yang mereka berikan dalam upaya untuk mengakhiri kekerasan di Suriah dan memulai proses transisi politik.’
Ucapan terimakasih Obama ini jelas salah sasaran. Di lapangan, sementara pemerintahan Obama berupaya mendorong dibentuknya koalisi oposisi Suriah yang ‘moderat’ dan menyingkirkan kelompok-kelompok garis keras (dan pura-pura terkejut mendengar kabar bahwa senjata yang disuplainya ternyata jatuh kepada kelompok garis keras), Turki malah mengambil kebijakan sebaliknya. Justru Turki menggunakan konflik Suriah untuk mencapai ambisinya menjadi kekuatan baru di Timur Tengah dengan mengupayakan agar dominasi kelompok ‘jihad’ semakin kuat. Sikap Turki yang mendukung habis-habisan para pemberontak Sunni, justru menimbulkan resistensi yang besar dari kelompok Alawi, Kristen, dan Kurdi. Turki telah menyediakan base-camp untuk para pemberontak Sunni, bahkan memberikan pelatihan dan senjata kepada mereka. Sikap Turki ini telah memperparah perpecahan antarmazhab di Suriah.
Bahkan Turki telah memanfaatkan para pemberontak itu untuk kepentingan Turki sendiri, yaitu melemahkan kekuatan Kurdi. Seperti diketahui, kaum Kurdi dipandang sebagai ancaman disintegrasi di Turki. Selama ini, kaum minoritas Kurdi mendapatkan perlakuan represif dari pemerintah Turki. Pada bulan November 2012, kelompok jihad Jabhah Al Nusra dari Turki masuk ke kota Ras al Ain di perbatasan Suriah-Turki. Mereka menyerang  pejuang Kurdi dari Partai Uni Demokrasi. Pejuang Kurdi berhasil mengusir JN, tetapi mereka tetap bisa  masuk ke dalam wilayah Suriah.
Kini, ketika kelompok ‘jihad’ Suriah yang didukung Turki semakin merasa kuat, mereka malah mengambil posisi berseberangan dengan AS. Mereka menolak koalisi nasional baru yang dibentuk ‘atas petunjuk’ AS di Doha dan menuduh AS tengah ‘membajak revolusi bangsa Suriah’. Tuduhan ini terdengar lucu, karena pada saat yang sama,  AS yang merasa sudah mengeluarkan modal cukup banyak untuk mendukung kelompok oposisi juga menyatakan bahwa kelompok ‘jihad’ (AS menyebutnya ‘teroris’) sudah membajak revolusi. Dan, jangan dilupakan, meski menampilkan diri berlepas tangan dari kelompok ‘jihad’ Suriah, namun kenyataannya sejak tahun 2007, AS sudah menyusun rencana untuk bekerjasama dengan mereka. Beberapa media massa juga mengungkap adanya pengiriman 3000 ton senjata kepada kelompok jihad itu. Senjata-senjata itu masuk ke Suriah lewat negara-negara Eropa Timur.
Di sini bisa disimpulkan bahwa AS telah gagal dengan rencananya. AS mengira, dengan memanfaatkan Turki, Barat bisa mengontrol tingkat keekstriman kelompok ‘jihad’ yang selama ini didukungnya. AS tidak mengira bahwa justru pemerintahan Erdogan justru memiliki ideologi yang sama dengan kelompok jihad tersebut. AS juga miskalkulasi soal kultur perjuangan atas dasar sentiment mazhab yang bisa menjadi sedemikian liar dan buas. Ketika aksi-aksi terorisme sadis para pemberontak Suriah tidak bisa lagi ditutupi, AS berusaha cuci tangan dengan cara menaruh salah satu kelompok jihad itu dalam list organisasi teroris.
Sebaliknya, bagi Erdogan, konflik di Suriah justru berujung pada kerugian politik. Konflik Suriah, bagi Erdogan adalah sebuah petualangan politik yang sangat impulsif. Erdogan awalnya berusaha menjadi pemain utama di Timur Tengah dengan berbaik-baik kepada semua negara tetangganya dan membawa slogan zero problems with neighbours (nol problem dengan tetangga). Hanya setahun sebelum krisis Suriah meledak, Erdogan dan Assad bahkan bertemu dalam sebuah pertemuan yang penuh persahabatan,untuk membangun sebuah bendungan di sungai Orontes. Bendungan itu bahkan dinamai ‘Bendungan Persahabatan’.
Turki juga berusaha menjadi mediator bagi Israel-Suriah untuk menyelesaikan konflik panjang mereka selama ini, meski akhirnya gagal. Kedua negara, Suriah dan Turki, sudah mencabut aturan visa di antara mereka sehingga membuat warga keduanya bisa dengan mudah saling berkunjung. Kedua pemerintah bahkan pernah mengadakan rapat kabinet gabungan, yang menunjukkan betapa dekat hubungan antara keduanya.
Namun segalanya mendadak berubah. Entah bagaimana cara AS membujuknya, Erdogan mau mengubah kebijakan luar negerinya yang semula ‘nol problem dengan tetangga’ menjadi kebijakan perang melawan Suriah. Erdogan, dan Menlunya, Davutoglu, terlihat sangat berambisi untuk menjadi penguasa Timur Tengah dan untuk itu mau bersekutu dengan AS. Namun, mereka pun miskalkulasi. Dengan berpihak kepada Barat dan menjadi pion pelaksana ambisi Barat terhadap Suriah, justru akhirnya Turki yang kelimpungan. Sumber dana terkuras untuk ikut saweran mendanai para pemberontak Suriah. Wilayah perbatasannya menjadi tidak aman karena digunakan sebagai base-camp para pemberontak. Saling balas serangan rudal pun terjadi antara militer Turki dan Suriah, menimbulkan ketidakamanan. Etnis Kurdi pun seolah mendapat kesempatan untuk bangkit melawan rezim Erdogan. Gelombang pengungsi dari Suriah juga membanjiri Turki dan siapapun tahu betapa repotnya (dan mahalnya) mengurus pengungsi perang. Tak ayal, di dalam negeri, kebijakan perang Erdogan menimbulkan protes dari rakyat.
Semua ini adalah hasil miskalkulasi politik Erdogan dan Davutoglu. Mereka terlalu meremehkan situasi di Suriah dan terlalu percaya pada kekuatan AS. Mereka tidak mengenal Suriah dengan baik, dan mengira Assad dalam waktu singkat bisa ditumbangkan. Mereka tidak memperhitungkan faktor Rusia, Cina, dan Iran yang akan membela Assad habis-habisan. Kini, mereka merasakan sendiri akibatnya.  Tidak ada yang akan mau mengganti semua kerugian yang diderita Turki akibat ikut-ikutan melibatkan diri dalam konflik Suriah. Rakyat Turkilah yang harus menanggung kerugian akibat ketertipuan Erdogan.
Sumber:  
Facebook Comments
Social Media Auto Publish Powered By : XYZScripts.com