Independensi Media Menjelang Pemilu 2014 Dipertanyakan

Bagikan artikel ini

Masdarsada, MSi, alumnus pasca sarjana Kajian Strategik Intelijen (KSI), Universitas Indonesia

Terbukanya kran demokrasi selalu ditandai dengan kebebasan pers. Perubahan politik pasca Orde Baru telah menjadi titik balik bagi kehidupan pers yang lebih baik. Dimasa era liberalisasi demokrasi, pers seolah telah menjadi salah satu kekuatan tunggal demokrasi dalam menyebarluaskan informasi ke ruang publik dalam batas kaidah dan etika jurnalisme secara berimbang dan akurat. Pers juga telah menjadi alat kontrol publik terhadap penyelenggara negara.

Namun seiring dengan pesatnya perkembangan tehnologi dan informasi, pers justru terjebak dalam kepentingan kapital dan politik. Pers dalam era sekarang telah bertransformasi dan bergeser fungsi utamanya karena telah dikuasai oleh kepentingan elit politik dan pemilik modal. Di titik krusial seperti inilah yang kemudian dapat mengancam independensi pers dalam memotret satu perstiwa secara akurat dan berimbang.
Ada hal penting dalam perkembangan pers di Indonesia, Tidak hanya pemilik modal yang kini menguasai media, tokoh politikpun terjun untuk menjadi pemilik media. Beberapa pemilik media besar ini adalah pebisnis yang juga berafiliasi dengan partai politik. Hal ini dapat kita saksikan pada sejumlah media massa telah dikuasai oleh pemilik modal dan sekaligus elit politik, misalnya Surya Paloh (Partai Nasdem) dengan metrotv, media indonesia dan lampung post; Hary Tanoesudibyo (Hanura) dengan MNC group (RCTI, Globaltv, Sindo,dll); Aburizal Bakri (Golkar) dengan Tvone, Antv dan Vivanews; Chairul Tanjung (pengusaha yang dekat dengan Persiden SBY/Ketua KEN) dengan Transtv dan Trans7; Dahlan Iskan (menteri BUMN) dengan Jawapos group; kelompok Gramedia Group (Kompas, Kontan, kompas tv, dan lain-lain) dan beberapa elit politik nasional dan lokal juga menguasai bisnis media cetak dan online yang belakangan terus tumbuh pesat.
Secara pasti pengaruh kepentingan politik dan bisnis setidaknya juga mempengaruhi informasi yang diberikan ke publik. Tidak jarang peran media sebagai corong kemanusiaan dan keadilan terjerambab pada kepentingan politik dan bisnis pemiliknya daripada melayani kepentingan publik. Produk berita dan siaran media massa di Indonesia sudah dipengaruhi oleh kepentingan bisnis dan politik pemiliknya, akibatnya isi pemberitaan mereka lebih sering melayani kebutuhan bisnis dan politik daripada melayani kepentingan publik.
Menurut Thomas Meyer, ada tiga dimensi relasi antara media dan politik. Pertama, media dapat menjadi ruang publik bagi terjadinya interaksi politik, ikut mempengaruhi pembentukan sistem komunikasi politik di kalangan publik dan pembentukan karakter dan agenda politik berlangsung secara terbuka. Kedua, media tidak hanya menjadi cermin dari kehidupan politik tetapi melakukan generalisasi realitas politik, mengkonstruksi realitas politik sebagai sesuatu yang bersifat kompleks dan mengundang antusiasme respon publik. Ketiga, konstruksi realitas media atas dunia politik itu secara positif akan memperkuat komitmen pencapaian tujuan politik ideal dari partai politik atau politisi dan kontrol publik yang tajam atas proses itu (Meyer,2002).
Dinamika politik menjelang pemilu 2014 pun terus meningkat. Media memiliki andil besar terhadap perkembangan situasi politik saat ini. Mediapun juga menjadi satu-satunya alat propaganda yang strategis bagi kepentingan modal pemiliknya terutama yang memiliki afiliasi dengan partai politik tertentu. Dengan media-pun mampu membuat image dan karakter seseorang figur menjadi baik. Namun dengan mediapun, image dan karakter seseorang akan dapat dijatuhkan. Saat ini keberadaan kebebasan pers yang begitu terbuka lebar bersifat anomali, satu sisi jika media hanya berorientasi pada profit tanpa mengedepankan nilai-nilai kejurnalistikan juga akan menurunkan kepercayaan publik, pun sebaliknya jika media hanya dijadikan alat politik kekuasaan pemiliknya tentunya media yang demikian akan mati secara perlahan.
Melihat fenomena persekutuan kepemilikan media antara pemodal dan kepentingan partai politik menjelang pesta demokrasi 2014 pasti akan meriah. Media pasti akan dijadikan ruang untuk melakukan kompetisi pencitraan baik partai politik maupun figur parpol dalam proses politik 2014 ataupun pemilihan kepala daerah. Sejauh ini, kepentingan politik nasdem, golkar dan hanura yang memiliki basis dukungan media terbesar memperlihatkan peningkatan elektabilitasnya. Sementara partai politik yang tidak memiliki basis dukungan media kuat hanya memanfaatkan momentum politik saja, pun demikian dengan media yang tidak memiliki afiliasi dengan partai politik terus merangkak memberikan informasi secara edukatif dan berimbang ditengah gerusan dan agresifnya kepentingan politik dan modal.
Dalam pemilu legislatif dan pilpres 2014 bukan semata-mata karena calon kuat melainkan juga memiliki pencitraan yang bagus di media. Misalnya image Jokowi yang bentuk oleh media juga memperlihatkan elektabilitas yang tinggi, Dahlan Iskan yang cekatan dan apaadanya, Aburizal Bakri pro terhadap KUR, Surya Paloh dengan wawasan kenegarawanan yang tinggi, dan lain-lain. Medialah yang selama ini membentuk image dan karakter calon dapat diterima oleh publik secara luas.
Pelaksanaan pemilihan umum yang bertepatan dengan era komersialisasi media (age of media commercialism) memperlihatkan berlakunya teori ekonomi pasar dalam jurnalistik (market theory of journalism). Prinsip ini bertolakbelakang dengan norma dasar produksi berita yang rnengutamakan dampak dan kepentingan publik sebagai pertimbangan menjadikan sebuah peristiwa atau isu layak menjadi sebuah berita. Tujuan hakiki jurnalisme adalah pencerahan publik (public enlightenmurt), maka jurnalisme yang dikendalikan pasar (market driaen journalism) hanya bertujuan memaksimalkan keuntungan ekonomi pemodal. Dalam konteks Pemilu, pemodal sesungguhnya adalah politisi pemasang iklan atau politisi yang berani menjamin keamanan investasi pengelola media jika ia menang.
Tantangan media dalam Pemilu 2014 adalah lemahnya profesionalisme yang terjadi hampir di semua level. Ini terlihat dengan lemahnya objektivitas, tidak ada keadilan, keberpihakan pada salah satu kandidat atau parpol, tak ada keberimbangan, dan tidak akuratnya pemberitaan. Pemberitaan informasi yang tidak akurat dan terkontrol akan menjadi informasi sampah. Di titik inilah diperlukan jurnalisme untuk menjaga ruh pers dari kooptasi kepentingan politik dan juga peran regulasi KPU, Bawaslu, KPI dan Dewan Pers untuk mengatur pemberitaan dan iklan kampanye secara berimbang dan tentunya publik harus mengawal dan mengawasi juru warta yang menjaga independensi dalam menyurakan kebenaran demi pemilu yang berkualitas.
Facebook Comments
Social Media Auto Publish Powered By : XYZScripts.com