Berlian Helmy, Direktur Ideologi dan Politik, Deputi Bidang Kajian Strategis, Lembaga Ketahanan Nasional (Lemhannas).
Disampaikan dalam Seminar Terbatas GFI dengan tema: Telaah Strategis dan Kritis terhadap Konsepsi Indo-Pasifik, di tengah semakin menajamnya persaingan global AS versus Cina (Perspektif Politik Luar Negeri RI Bebas-Aktif). Selasa 15 Oktober 2019, di Wisma Daria, Jakarta-Selatan
Ketika kita melihat konteks Indo-Pasifik berarti bicara konsep provokatif buatan dari beberapa negara dominant power yang sebenarnya bersaing dalam merebut hegemoni. Lebih dari itu, Indo-Pasifik merupakan modus politik pemimpin negara-negara besar seperti Amerika Serikat (AS) berserta sekutu tradisionalnya macam, Jepang Australia dan India untuk kembali mengukuhkan dominanasinya hingga hegemoni di kawasan dan juga sebagai manuver untuk memancing Cold War jilid kedua. Dua hal itu menjadi alasan konvensional mengapa muncul terminologi Indo Pasifik yang seakan menggantikan penyebutan Asia Pasifik.
Di sisi lain perlu diketahui juga, Indo Pasifik bisa dikatakan sebagai konsep dari wujud politik luar negeri AS lewat American First—All American. Pemahaman itu harus menjadi pendulum bagi Indonesia agar konsistensi politik luar negeri bebas aktif selalu terjaga, karena pertanyaan yang akan muncul adalah “Bagaimana kita bisa mendayung di antara dua karang?”.
Menjawab pertanyaan tersebut Indonesia mengandalkan ASEAN lewat ASEAN Way-nya dengan mengutamakan azas kerja sama yang bersifat constructive engagement diplomacy yang mengedepankan unsur kultur-kultur antar sepuluh negara. Sehingga terciptalah ASEAN Outlook on Indo-Pacific. Adapun tujuannya adalah guna mengimbangi dua konsepsi kontradiktif antara Indo Pasifik ala AS dan sekutu-sekutunya dan manuver kebijakan luar negeri Cina, Belt Road Initiative (BRI).
Lalu apa misi politik luar negeri bebas aktif Indonesia dalam menyikapi semakin menajamnya dualisme AS-Cina? Tentu yang menjadi konsen adalah bagaimana menghadapi new world order. Karena bila kita lihat tendensi politik global kekinian tidak terlepas dari pengaruh ideologi antar negara kuat. Semisal AS lewat Trump yang mengedepankan paham liberal-demokratik. Sementara itu Cina lewat Xi Jinping bermain dengan dua sistem, yang mana menekankan liberalisme untuk melihat ke luar.
Atas kedua paham dua negara itu, maka muncullah politik pragmatisme dengan segala kebijakan praktisnya. Tepat di sini AS Indo-Pacifik dan BRI-nya Cina menjadi wujud nyatanya. Politik pragmatisme yang dimainkan dua negara ini juga berefek terhadap bangkitnya populisme global. Sehingga mereka dengan mudah menggalang opini global untuk mendiskreditkan masing-masing kebijakan. Bahwa AS Indo-Pacific itu sebagai ancaman global maupun sebaliknya menggiring opini bahwa BRI adalah manuver Cina untuk menguasai ekonomi dunia.
Kehadiran dua kebijakan ini (Indo Pasifik dan BRI) bisa dibilang sebagai wujud perimbangan kekuatan antara AS dan Cina. Kemudian bagi negara negara lain semisal Jepang dan India dianggap sebagai keseimbangan ancaman. Karena bagi dua negara tersebut Indo Pasifik menjadi cara membendun manuver Cina dengan BRI-nya. Selain itu, Jepang juga berharap Indo-Pasifik dapat membendung dominasi Cina di Asia Timur.
Bila ditengok secara lebih mendalam, persaingan Indo-Pasifik dan BRI ini sejatinya bukan sebatas perimbangan kekuatan. Namun bisa dibilang sebagai asymetric balancing atau keseimbangan semu. Karena di satu sisi Cina dengan kekuatan ekonominya berhadapan dengan realitas kekuatan negara-negara pembentuk Indo-Pasifik.
Melihat realisme politik global seperti itu, Indonesia seharusnya membangun aliansi guna mengkonter AS dan Cina dengan merevitalisasi aliansi Asia-Afrika ke dalam bentuk yang lebih paripurna, yaitu Asia Africa Indo Pacific concept. Sederet keuntungan bakal didapat bila kita berhasil menghidupkan aliansi progresif ini seperti sediakala.
Pertama, kita bisa mendapat suntikan power lebih yang bersumber dari kumpulan negara berkembang. Hal itu didasari oleh konsep aliansi, bahwa aliansi antar negara berkembang berpotensi mengimbangi kekuatan negara-negara semisal AS dan Cina. Kedua, kita bisa menggaet India masuk ke dalam aliansi dan mungkin juga menarik Cina berkat pertimbangan historis. Dengan kata lain Asia Africa Indo Pacific Concept bisa menarik lawan menjadi kawan.
Namun masalahnya adalah apakah Indonesia mampu memprakasai konsep tersebut? Kita ketahui orientasi politik luar negeri hari ini agak berbeda dengan rezim sebelumnya. Presiden Joko Widodo lebih cenderung mengambil apa yang disebut foreign policy pragmatism. Jadi presiden sering menekankan hal-hal yang di luar preseden. Diplomasi Indonesia juga hari ini lebih banyak bersifat praktis ketimbang konseptual. Padahal Indonesia seharusnya mengambil langkah yang bersifat matang dengan melihat power dalam negeri dan eskalasi geopolitik global.
Sudah saatnya kita mengetahui tren politik dunia hari ini yang mulai memunculkan kembali bipolarisme seperti di era Perang Dingin. Cina bisa kita anggap sebagai game changer dan AS sebagai game maker, dan kita Indonesia seharusnya menjadi game balancer. Modal kita menjadi game balancer semakin terbuka bila kita mampu memanfaatkan celah Indo-Pasifik yang digarap AS dengan sedikit demi sedikit menggiring Cina keluar dan bergabung dalam Asia Africa Indo Pacific Concept. Sejujurnya, kohesivitas Indo Pasifik pun bermasalah, karena hanya AS, Jepang, dan Australia yang punya daya ikat kuat.