Indonesia, Anggota Tidak Tetap DK PBB dan Semangat Dasa Sila Bandung

Bagikan artikel ini

Rusman, Direktur Global Future Institute (GFI)

Terpilihnya kembali Indonesia menjadi anggota tidak tetap Dewan Keamanan (DK) Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) bukan capaian yang luar biasa. Sebelumnya Indonesia telah (pernah) terpilih menjadi anggota tidak tetap DK PBB sebanyak tiga kali. Saatnya Indonesia memanfaatkan momentum secara maksimal di periode keempat ini.

Majelis Umum PBB pada Jumat (8/6/2018) telah memilih lima negara, termasuk Indonesia sebagai anggota tidak tetap DK mulai 1 Januari 2019. Kelima negara terpilih lainnya adalah Jerman, Belgia, Afrika Selatan dan Republik Dominika. Kelima negara tersebut akan menempati posisi sebagai anggota tidak tetap DK untuk masa jabatan selama dua tahun hingga akhir 2020 mendatang.

Menyikapi hal ini, Direktur Eksekutif Global Future Institute (GFI) Hendrajit menilai seharusnya Indonesia dapat memanfaatkan momentum menghidupkan kembali peran kepeloporan Indonesia melalui keanggotaan tidak tetap di Dewan Keamanan PBB. “Bisa lebih berperan aktif menjabarkan politik luar negeri RI yang bebas dan aktif. Seraya menjabarkan semangat dasa sila bandung 1955 dan gerakan non blok 1961,” ujar Hendrajit.

Hal terpenting lagi menurut Hendrajit, Indoneisa bisa ikut serta menawarkan solusi perdamaian dunia. “Khususnya konflik di Palestina, di semenanjung Korea dan Suriah. Mengingat keterlibatan kepentingan tiga negara adikuasa, seperti AS, Cina dan Rusia.

Menurutnya, posisi Indonesia sebagai anggota tidak tetap DK saat ini merupakan tantangan besar di saat persekutuan blok barat di Asia Pasifik empat negara makin menguat, yakni Australia, AS, Jepang dan India bentuk persetujuan keamanan bernama Quad untuk membendung pengaruh Cina di sektor maritim melalui ONE BELT ONE ROAD. Sedangkan Cina sendiri makin agresif dengan dalih blok barat pun makin agresif mengepung Cina. “Semangat Dasa Sila Bandung menemukan kembali momentumnya untuk menjawab tantangan global maupun regional saat ini,” ujar Hendrajit.

Seperti diketahui negara yang menjadi anggota tetap hanya lima negara, yakni Amerika, Inggris, Prancis, Cina dan Rusia. Kelima negara ini merupakan kekuatan utama Blok Sekutu yang memenangkan Perang Dunia II.

Kelima negara ini memiliki kursi tetap di DK PBB dan masing-masing memiliki hak Veto, yaitu hak untuk membatalkan keputusan atau resolusi di Dewan Keamanan, sekalipun disetujui oleh semua anggota lainnya.

Dalam sejarahnya, Indonesia kali pertama dipilih menjadi anggota DK pada periode 1974-1975. Kemudian Indonesia dipilih kembali untuk kedua kalinya pada periode 1995-1996. Lalu untuk ketiga kalinya pada periode 2017-2018.

Dalam masa jabatannya yang ketiga, Indonesia dipilih oleh 158 suara dari 192 negara anggota yang melakukan pemungutan suara di Majelis Umum PBB pada saat itu. Kini keempat kalinya Indonesia menjadi anggota tidak tetap DK PBB untuk untuk periode 2019-2020.

Indonesia dan PBB

Indonesia resmi menjadi negara anggota Perserikatan Bangsa Bangsa ke-60 pada tanggal 27 September 1950, yang ditetapkan dengan Resolusi Majelis Umum PBB nomor A/RES/491 (V) tentang “penerimaan Republik Indonesia dalam keanggotaan di Perserikatan Bangsa Bangsa.” Artinya, kurang dari satu tahun setelah pengakuan kedaulatan Indonesia oleh Belanda dalam Konferensi Meja Bundar di Den Haag (23 Agustus – 2 November, 1949).

Namun pada 7 Januari 1965 Indonesia mengundurkan diri dari Perserikatan Bangsa Bangsa selama dua tahun (1965-1966). Ini terjadi saat panasnya konfrontasi Indonesia-Malaysia. Sikap Indonesia ini sebagai reaksi atas terpilihnya Malaysia sebagai anggota tidak tetap Dewan Keamanan PBB. Saat itu Presiden Soekarno marah, Indonesia memutuskan untuk mundur dari PBB dan mendirikan Conference of The New Emerging Forces (CONEFO)– merupakan gagasan Presiden Soekarno untuk membentuk suatu kekuatan blok baru yang beranggotakan negara-negara berkembang untuk menyaingi dua kekuatan blok sebelumnya (Blok Uni Soviet dan Blok Amerika Serikat).

Sikap Indonesia saat itu didukung Republik Rakyat Tiongkok, Republik Demokratik Rakyat Korea, dan Republik Demokratik Vietnam. Namun, dalam sebuah telegram tertanggal 19 September 1966, Indonesia memberikan pesan kepada Sekretaris Jenderal PBB atas keputusannya “untuk melanjutkan kerjasama penuh dengan Perserikatan Bangsa Bangsa, dan untuk melanjutkan partisipasinya dalam sesi ke-21 sidang Majelis Umum PBB”. Sehingga pada 28 September 1966, Majelis Umum PBB menindaklanjuti keputusan pemerintah Indonesia tersebut dan mengundang perwakilan Indonesia untuk menghadiri sidang kembali.

Indonesia dan Majelis Umum PBB

Indonesia menjadi anggota Majelis Umum PBB semenjak tahun 1951. Indonesia pernah sekali ditunjuk sebagai Presiden Majelis Umum PBB pada 1971, yang pada saat itu diwakili oleh Adam Malik yang memimpin sesi ke-26 sidang Majelis Umum PBB. Adam Malik merupakan perwakilan Asia kedua yang pernah memimpin sidang tersebut setelah Dr. Carlos Pena Romulo dari Filipina.

Sebagai anggota PBB, Indonesia juga menjadi anggota Dewan Ekonomi dan Sosial PBB untuk periode-periode 1956-1958, 1969-1971, 1974-1975, 1979-1981, 1984-1986, 1989-1991, 1994-1996, 1999-2001, 2004-2006, 2007-2009 dan 2012-2014. Indonesia pernah dipilih dua kali sebagai Presiden Dewan Ekonomi dan Sosial PBB pada tahun 1970 dan 2000, dan dipilih sebagai Wakil Presiden Dewan Ekonomi dan Sosial PBB pada tahun 1969, 1999 dan 2012.

Pada periode 2012-2014, Indonesia menjadi anggota dewan tersebut dengan mendapatkan suara terbanyak dibandingkan dari negara-negara Asia lainnya yang diambil pada sesi Majelis Umum PBB pada 24 Oktober 2011 di New York.

Di lembaga Dewan Hak Asasi Manusia PBB, Indonesia telah terpilih sebanyak tiga kali sebagai anggota Dewan Hak Asasi Manusia PBB semenjak dewan tersebut dibentuk pada 2006. Indonesia menjadi anggota dalam periode 2006-2007, 2007-2010 dan 2011-2014. Indonesia sekali menjadi Wakil Presiden Dewan Hak Asasi Manusia PBB pada 2009-2010, diwakili oleh Duta Besar Dian Triansyah Djani.

Facebook Comments
Social Media Auto Publish Powered By : XYZScripts.com