Indonesia Butuh UU Lugas dan Galak! (5/Habis)

Bagikan artikel ini

Kegelisahan ahli hukum tata negara, Prof Ismail Suny ternyata sangat beralasan, terutama ketika Undang-Undang (UU) Anti-Subversi —dulu dikenal sebagai UU yang ‘galak’— dicabut tahun 1999, “Betapa republik ini tidak lagi punya tameng dan alat pertahanan dari ancaman serta gangguan keamanan (kedaulatan) negara.” Kegelisahan Suny dahulu, kini menjadi riil kondisi di masyarakat. Anomali hukum? Mungkin asumsi terlalu dini. Tetapi sewaktu pencabutannya dahulu, memang tidak ada jaminan bahwa negara tidak akan menghadapi keadaan bahaya. Siapa berani menjamin?

Alasan pencabutan, menurut Muladi, Menteri Kehakiman waktu itu, selain tidak sesuai UUD 1945 tentang jaminan kemerdekaan berserikat dan berkumpul, mengeluarkan pikiran dengan lisan dan tulisan, juga substansi maupun penjelasan UU tersebut tidak memiliki basis hukum yang kuat. “Legal spirit yang melatar-belakangi sudah mengalami perubahan total.” Legal spirit yang mendasari lahirnya UU Subversi adalah ketetapan (Tap) MPRS No I/1960 tentang Manipol sebagai GBHN dan Tap MPRS No II/1960 tentang Garis-Garis Besar Pola Pembangunan Nasional Semesta Berencana Tahapan Pertama 1961-1969. Dan semua Tap MPR tersebut sudah dicabut pada masa Orde Baru.

Ibarat syair lagu, “Bukan perpisahan yang kutangisi, tetapi pertemuan yang kusesali,” makna yang ingin saya sampaikan ialah, manakala the exercise of freedom kini melimpah di luar kepatutan pada satu sisi, sedang di sisi lain kontrol negara kian longgar bahkan melemah karena kuatnya arus Hak Azasi Manusia (HAM). Ini menimbulkan kecenderungan pada aparat menjadi ragu-ragu dalam bertindak, atau mungkin sebab ketiadaan UU yang galak, dll. Maka bukan pencabutan UU yang disesali, kata syair di atas, namun aturan pengganti tak kunjung terbit, hingga sekarang. Sampai detik ini. Itu yang mesti disesali.

Sebelum melangkah jauh, kiranya perlu menengok sekilas tentang UU Subversi yang lahir di era Orde Lama, dimana sebelumnya hanya berupa Penetapan Presiden No 11/PNPS/1963, kemudian disahkan menjadi UU No 11/PNPS/1963 tanggal 5 Juli 1969. Adapun substansi pasal UU yang pernah menjadi catatan hitam ‘dua rezim’ terdahulu (Orde Lama dan Orde Baru), tercantum pada Bab I pasal 1-3. Tak boleh disangkal, sejumlah aktifis yang kritis terhadap kebijakan rezim saat itu, dijebloskan ke penjara melalui pasal-pasal tersebut.

Ada elasitas unsur, atau istilahnya “pasal-pasal karet” yang memiliki kemampuan mengejar kemana individu bergerak, menguak alibi dan modus, atau menjerat golongan yang dinilai ‘nyleneh’ oleh rezim penguasa. Dan kedepan, semoga pengalaman dekade tadi menjadi hikmah serta “cermin” bersama, agar tidak terulang kembali di masa yang akan datang. Inilah uraian unsur-unsur pasal dimaksud:

Seseorang dapat dipersalahkan melakukan tindak pidana subversi jika melakukan suatu perbuatan dengan maksud atau nyata-nyata dengan maksud atau yang diketahuinya atau patut diketahuinya dapat:
(a) memutarbalikkan, merongrong atau menyelewengkan ideologi negara Pancasila atau haluan negara;
(b) menggulingkan, merusak atau merongrong kekuasaan negara atau kewibawaan pemerintah yang sah atau aparatur negara;
(c) menyebarkan rasa permusuhan atau menimbulkan permusuhan, perpecahan, pertentangan, kekacauan, keguncangan atau kegelisahan di antara kalangan penduduk atau masyarakat yang bersifat luas atau di antara negara Republik Indonesia dengan suatu negara sahabat;
(d) mengganggu, menghambat atau mengacaukan bagi industri, produksi, distribusi, perdagangan, koperasi atu pengangkutan yang diselenggarakan oleh pemerintah, atau berdasarkan keputusan pemerintah, atau yang mempunyai pengaruh luas terhadap hajat hidup rakyat.

Menurut Deliar Noer (Baca: Masih Perlukah Undang-Undang Subversi? Majalah D&R, 04 April 1998), kelemahan UU ini ada di penafsiran dan penerapannya, terutama pasal 1 yang bersifat “karet” atau lentur. Misalnya, rangkaian kata-kata: perbuatan, ungkapan, sikap yang memperlihatkan keinginan perubahan ataupun usaha penyaluran aspirasi rakyat secara konstitusional, mudah diartikan sebagai “memutarbalikkan, merongrong, ataupun menyelewengkan ideologi negara Pancasila atau haluan negara”. Atau, hal itu bisa dikategorikan sebagai “menggulingkan, merusak, atau merongrong kekuasaan negara atau kewibawaan pemerintah yang sah atau aparatur negara.”

Satu lagi, itu juga bisa dianggap “menyebarkan rasa permusuhan atau menimbulkan permusuhan, perpecahan, pertentangan, kekacauan, kegoncangan, atau kegelisahan di antara kalangan penduduk atau masyarakat yang bersifat luas….”. Padahal memperingatkan itu seharusnya dianggap positif dan merupakan kewajiban kita semua, kata Noer.

Terkadang saya beretorika sendiri, seandainya hidup di era otoritarian kemarin, apakah virus Islamic State of Irak and Syam (ISIS) dapat berkembang di republik ini; atau para demonstrans masih seenaknya membakar simbol negara? Atau, bolehkah para mahasiswa atau kelompok tertentu di masyarakat menyuarakan separatisme dalam koridor NKRI? Mungkin, UU Subversif bakal menjeratnya!

Dan lagi, seandainya masih berada di masa lalu, beranikah kelompok negeri sebelah main klaim pulau-pulau dan perairan Indonesia, atau beranikah Aussie menyadap telpon Ibu Negara, Menteri, dll atau masih punya nyalikah kapal perang mereka ‘bermain-main’ di pekarangan kita? Retorika pun terhenti seketika, tatkala salah satu ormas mengibarkan bendera ISIS, kemudian lambang-lambang Zionist Israel kini banyak dijadikan accessary di kaos, di mobil, atau bahkan simbol ‘palu arit’ kini berserak di banyak media sosial, dan lain-lain. Retorikaku pun bubar!

Kendati terlalu dini menyebut anomali hukum, namun kondisi ini sungguh mengkhawatirkan. The exercise of freedom. Apakah perlu kembali ke otoritarian? Jawabannya: “Tentu tidak,” karena ujung otoritarian ternyata krisis (1998). Ini catatan sejarah tak terelak, meski krisis politik (dan ekonomi) itu pun sebenarnya ciptaan asing dan para antek (komprador)-nya. Lalu, apakah luapan demokrasi dan surplus kebebasan ini terus dilanjutkan?

Dari perspektif kolonialisme, bukannya kondisi ini merupakan bagian (asymmetric strategy) ‘serbuan asing’ agar anak bangsa ini cuma mampu gaduh di (hilir) jalanan, sementara skema kolonial di hulu yakni cengkraman ekonomi serta penguasaan sumberdaya alam (SDA) oleh asing tetap lestari di Bumi Pertiwi? Catatan sederhana ini tidak mengupas lebih jauh modus-modus kolonialisme di muka bumi.

Dalam kondisi memprihatinkan di atas, jika dibanding situasi Syria, Libya, Afghanistan, dan lain-lain, dari kacamata internasional, Indonesia masih disanjung sebagai negara multi etnik yang penuh toleransi. Harian Republika, 30/8/2014, menyitir pujian Ban Ki-moon, Sekjen Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) pada Forum Global ke-6 PBB tentang Aliansi Peradaban, di Nusa Dua, Bali, Jumat (29/8), ”Indonesia sebagai rumah bagi seribu etnis yang mampu hidup berdampingan,” kata Ban, perbedaan tidak seharusnya memisahkan. Persatuan di tengah perbedaan tidak hanya sebagai slogan, tetapi juga diterapkan dalam kehidupan. Saat memberi sambutan, Ban Ki-moon mengaku terinspirasi semboyan Bhinneka Tunggal Ika yang dimiliki oleh Indonesia.

Tak kurang, Nassir Abdulazis Al Naser, Ketua Aliansi Peradaban PBB, pun menyatakan hal yang sejiwa dengan ucapan Sekjen PBB, “Indonesia patut menjadi negara percontohan demokrasi. Setidaknya bisa mengelola konflik internalnya dan tidak membiarkan terjadi kondisi sesama saudara saling membunuh.”

Gilirannya memang serba membingungkan. Betapa pakem global di satu sisi, memuji kiat Indonesia dalam praktek-praktek demokrasi, toleransi, dll yang bisa dijadikan percontohan, namun di sisi lain khususnya pakem (lokal) internal justru menilai bahwa kebebasan dan praktek demokrasi kita sudah surplus serta mengkhawatirkan. Bagaimana ini sebaiknya?

Tanpa mengabaikan apresiasi publik global atas praktek demokrasi selama ini, jika kembali pada perspektif (konflik) lokal-nasional yang memprihatinkan, juga selaras jutaan (aspirasi) SMS kepada SBY agar ber-mindset otoritarian, serta berpegang ujaran: ‘tidak pernah ada sistem dan tatanan yang sempurna, selalu ada kekurangan-kekurangan’, maka kritik dan rekomendasi yang ingin disampaikan pada catatan ini, apabila kita tidak mau dikoreksi lagi oleh sejarah —sebagaimana 1966 dan 1998— semestinya tak sekedar berbekal political will semata, tetapi mutlak harus ada political action para elit dan segenap elemen bangsa agar dalam tempo sesingkat-singkatnya merumuskan sebuah UU yang lugas, cerdas, tetapi juga galak.

Pada dasarnya, ketiga unsur (lugas, cerdas dan galak) tadi saling bersenyawa menghidupi UU dimaksud dalam koridor ‘kepentingan nasional’ serta rasa cinta (nasionalisme) demi tetap tegaknya kedaulatan negara, martabat bangsa, serta persatuan dan kesatuan dalam kerangka NKRI. Tengoklah orang sebelah, bukankah Malaysia dan Singapura juga memiliki Internal Security Act yang tergolong UU galak?

Seandainya kelak ada hasrat kuat menasional, maka rekomendasi ruh UU pengganti tersebut selain segalak UU Subversif dulu, ia juga mesti lugas dan cerdas. Maksud lugas ialah selain bisa melindungi kedalam (negeri), mampu pula bermanuver keluar apabila muncul ancaman negara lain yang hendak mengganggu kedaulatan. Pun harus cerdas. Artinya, dalam operasional hukumnya mengikut sertakan rakyat dalam menangani ancaman dan gangguan. Agar kelak aparat yang berkompeten, tidak asal comot ini, comot itu, hantam sana, hantam sini, dst. Inilah makna culture building yang lebih memberdayakan dan/atau memerankan segenap warganya menuju good and responsible society guna mengantisipasi permasalahan yang timbul di tengah-tengah masyarakat terkait keamanan (kedaulatan) negara. Dan mungkin ini pula, maksud daripada responsibility sharing sebagaimana isyarat SBY pada ‘pokok-pokok kegelisahan’-nya di prolog tulisan ini (Baca: Pokok-Pokok Kegelisahan SBY).

Tanpa mengabaikan pujian global atas gemuruh kebebasan dan surplus demokrasi di Tanah Air tercinta ini, kita mutlak waspada, waspada, dan waspada. Dan pada konteks politik tingkat tinggi sering diajarkan, bahwa sanjungan itu kerap merupakan modus jebakan agar si (negara) target masuk perangkap skema (pihak lawan) yang tengah dimainkan. Masih ingat sanjungan beberapa bulan sebelum krisis moneter 1997? Seluruh dunia termasuk Bank Dunia dan IMF memuji ekonomi Asia Timur, termasuk menyanjung ekonomi Indonesia bahkan dijuluki ‘Macan Baru Asia’. Tetapi, kenapa sesaat (pujian) kemudian malah ekonomi kita dibuat porak-poranda? Itulah yang seringkali terjadi.

Tujuan asymmetric warfare (peperangan non militer) dimanapun ialah melemahkan bangsa dari sisi internal. Dan kondisi ketiadaan (kekosongan) UU ‘galak’ selevel “Internal Security Act”-nya Singapura, atau Malaysia punya, dll kiranya sudah terpetakan oleh kekuatan-kekuatan asing yang ingin mengeksploitasi berbagai sumberdaya di Indonesia.

Kita keluar konteks sebentar, tapi masih dalam koridor topik. Percayalah! Indonesia tidak akan mungkin dibikin seperti Libya, Syria, Irak, dll. Kenapa? Selain faktor geopolitik serta geostrategi kita di antara dua benua dan dua samudera, sudah tentu banyak kepentingan berbagai negara terutama negeri sekeliling yang bakal terganggu (bila Indonesia bergejolak) karena ketergantungan mereka kepada Indonesia. Tak hanya ketergantungan SDA, tetapi hilangnya market (pasar) yang besar, terganggunya lintasan perairan, terhambat atau bahkan hilangnya investasi, dll bila Indonesia bergejolak. Juga serangan simetris (militer) dari luar, diyakini justru akan memicu kebangkitan militansi rakyat, sikap pantang menyerah dan membakar nasionalisme bangsa Indonesia yang maha dahsyat. Hal ini sangat-sangat dipahami oleh kelompok negeri-negeri kolonial. Mereka lebih suka gunakan strategi asimetris dalam menguasai kita, daripada serangan secara militer yang dapat menjadi ‘pukulan balik’ bagi tujuan kolonialisme.

Dalam mindset kaum kolonial, asymmetric warfare merupakan cara yang paling jitu untuk melumpuhkan Indonesia dari sisi internal. Perang senyap model non militer ini malah mampu membunuh dan menciptakan jutaan warga miskin tanpa letusan peluru, atau menjauhkan anak bangsa dari local wisdom leluhur, ataupun tidak sadar diri menjadi pengkhianat bangsanya, saling curiga mencurigai antar kelompok dan golongan, atau bangga menjadi komprador asing, saling bertikai sesama anak negeri, dll. Sebagian rakyat dibikin hanya mampu gaduh di hilir persoalan, tanpa memahami serta menyadari bahwa kaki kolonialisme di hulu (sistem) semakin kuat tertancap. Inilah yang tengah terjadi.

Vivery Pericoloso. Negara dalam keadaan bahaya. Indonesia kini dan kedepan, butuh sebuah UU yang lugas, cerdas dan galak guna melindungi kedaulatan negara, menumbuhkan dan memelihara nasionalisme, serta dalam rangka mengamankan kepentingan nasionalnya.

Bangkitlah bangsaku!

Penulis: M Arief Pranoto, Research Associate Global Future Institute (GFI)

Facebook Comments
Social Media Auto Publish Powered By : XYZScripts.com