Hendrajit, Direktur Eksekutif Global Future Institute
(Disampaikan pada seminar terbatas Global Future Institute (GFI) bertajuk Prospek Media Massa Nasional 2015: Peluang dan Hambatan, Kamis, 28/08/2014)
Inti dari diskusi kita hari ini adalah mencoba menyerap hikmah dari politik pemberitaan dari berbagai media massa cetak, elektronik, maupun digital khususnya selama Pilpres 2014.
Tentu saja ini bukan persoalan pada pilpres semata, tapi mungkin pilpres ini bisa menjadi satu acuan, karena menurut saya peliputan selama Pilpres 2014 merupakan titik ultiminasi dari rangkaian sebelumnya, dimana sejak era reformasi itu media massa praktis didominasi oleh kepemilikan modal besar, setelah berakhirnya era SIUP yang represif selama masa kekuasaan rejim Suharto.
Di sinilah ironinya ketika di tengah-tengah kebebasan pers, media massa sepertinya justru kehilangan fungsi pokoknya. Salah satu gambaran dari Pilpres kemarin memang adanya satu polarisasi yang tampak jelas ketika para pemilik modal itu justru terlibat langsung dalam pentas politik nasional, misalnya saja dalam konteks yang paling nyata adalah tiga sosok pengusaha yang kebetulan menyeburkan diri di dalam dunia media massa seperti Abu Rizal Bakrie, lalu Surya Paloh, Dahlan Iskan dan Hary Tanoe Soedibjo. Hal ini kelihatan sekali di dalam media cetak maupun elektronik, seperti Harian Sindo, Jawa Pos, Vivanews, Detiknews, Bloomberg, maupun TransCorp.
Tentu saja kita tidak semata hendak membahas persoalan di Pilpres-nya. Kita juga hendak bahas agenda setting di dalam konteks media massa itu sebetulnya, seperti apa sih cara menyusunnya? Pada sisi lain, masyarakat pembaca sepertinya diabaikan. Dan menurut saya, masyarakat pembaca kita yang kritis harus layak untuk mendapatkan pencerahan informasi.
Selintas di paper Joko Yuwono tentang ketika jurnalistik kian tertepikan, hal tersebut disinggung juga. Mungkin ini akan jadi porsinya mas Djoko Yuwon untuk mengurai secara lebih mendalam tema ini. Mau dibawa kemana mana readership society, atau masyarakat pembaca kita, terutama the critical readers ini, ketika dihadapkan pada kenyataan bahwa pertarungannya antar pemilik modal melalui media-media mainstream di tanah air saat ini, kecenderungannya lebih kepada persaingan personal, dan bukannya pada pertarungan yang berbeda mazhab. Berbeda ketika di era awal kemerdekaan, ketika harian Merdeka milik BM Diah bertarung secara mahzab dengan harian Pedoman milik Rosihan Anwar.
Kalau kita mengacu pada Washington Post ,New York Times atau Wallstreet Journal, ketiga media Amerika tersebut juga bertarung, ada satu pemihakan entah terhadap partai politik atau figur politik yang ditampilkan, namun ketiga media tersebut bertarung di level mazhab yang sudah menjadi baku, seperti Washington Post pasti mendukung secara tradisional satu paham di demokrat yang otomatis, juga mendukung tokohnya. Tapi, itu bukan kemudian mengorbankan prinsip kerja jurnalistik. Namun pertarungan antar media mainstream Amerika tersebut sama sekali tidak diwarnai oleh perseteruan atau persaingan antar pemilik modal. Atau pertarungan antar pesaing bisnis.
Nah itu yang mungkin satu sisi yang menarik yang bisa menjelaskan mengapa agenda setting media ketika dijabarkan menjadi politik pemberitaan lalu menjadi pemihakan, tapi menjurus pada mengorbankan prinsip kerja jurnalistik. Misalnya, ebagai ilustrasi, persaingan nyata antara TVOne versus Metro TV yang mana memang dua-duanya memihak selama Pilpres 2014, tapi kenapa MetroTV yang ditegur oleh Komisi Penyiaran Etik Indonesia? Karena sudah keluar dari rel prinsip-prinsip jurnalistik.
TVOne, memang dia secara jelas mendukung Prabowo sebagai calon nomor urut satu, tapi TVOne setidaknya masih menjaga betul prinsip-prinsip kerja jurnalistik yang bisa cover both side, tidak ada pemelintiran atau pemerkosaan fakta pemberitaan. Ini gambaran gejala yang mungkin coba kita tangkap apa yang sedang terjadi.
Di sisi lain, bagaimana dengan media asing dalam pembentukkan public opinion. Dalam paper tim research Global Future Institute (GFI) menarik. Walaupun ada pemetaan-pemetaan terkait kepemilikan media oleh para pengusaha besar, namun ada satu sisi menarik di luar persoalan seperti Allan Nair. Karena menurut saya itu hanya sisi hilirnya. Tapi yang hulunya jauh lebih menarik. Wallstreet Journal dari awal memberi satu politik pemberitaan yang memang positioning-nya adalah Prabowo the icon/ideal type dari pemimpin yang dibutuhkan Indonesia yang tegas dan sebagainya.
Di sisi lain New York Times, dengan pendekatan human right approach-nya, memang cenderung memihak kepada Jokowi, atau malah secara tegas Sehingga ikut membentuk opini publik di Indonesia maupun di mancanegara.
Di sisi lain, dalam konteks yang ketiga karena kami di GFI memang lebih banyak mengkaji persoalan-persoalan global, dalam konteks dampak ke dalam negeri. Mungkin ada satu isu lagi yang menarik dan ini porsinya Pak Syarif Hidayat. Bagaimana pemberitaan media massa luar negeri bisa membawa dampak terhadap pola pikir/mindset/cara pandang masyarakat pembaca kita di tanah air.
Rinciannya mungkin bisa dijabarkan Pak Syarif Hidayat. Tapi ini juga penting, misalnya soal ISIS, seperti apa pemberitaan yang terkait konteks konflik di Timur Tengah itu. Yang kemudian berdampak dalam membentuk opini publik di Indonesia.
Selain itu ada banyak berita yang sebetulnya ditujukan untuk konsumsi masyarakat pembaca di luar negeri, namun ketika hal itu juga dilansir oleh media masssa kita di dalam negeri sebagai rujukan berita-berita berita internasional, pada perkembangannya kemudian telah membawa dampak yang negatif dalam cara pandang masyarakat pembaca kita dalam memaknai isu-isu internasional yang berdampak pada pembentukan opini di dalam negeri.
Saya kira itulah hal-hal yang menarik untuk kita bahas bersama ke depannya, sekaligus untuk mencari solusi untuk mengatasinya.
Di saat yang krusial ini yang kita bicarakan semua tadi itu adalah pengaruh media mainstream atau media arus utama yang mapan baik di dalam negeri maupun di luar negeri. Pertanyaan sentral yang mungkin kita jawab:
Bagaimana menyalurkan di tengah berhadapan aspirasi para pembaca kritis untuk mendapatkan akses informasi di tengah persaingan yang tidak sehat antar pemilik modal yang menguasai media arus utama kita?
Mungkinkah lahir para entrepreneur yang kemudian mengelola media massa yang memenuhi kebutuhan informasi publik seperti Raden Mas Tirto Adhi Soerjo? Bagi kami ini merupakan masalah yang serius dan mendesak, di tengah semakin maraknya pergeseran fungsi media massa yang berbasis jurnalistik menjadi Public Relations based news. Atau bahkan pada tingkatan yang lebih ekstrim, menjadi media massa berbasis iklan.
Ini yang kami kira beberapa isu yang harus kita bahas bersama, karena itu menarik sekali kita hadirkan tiga pembicara dalam hal ini Mas Djoko Yuwono, yang kita tahu sudah cukup lama sebagai wartawan senior di Poskota Group dan juga seorang budayawan.
Melalui Djoko Yuwono, kiranya bisa mem beri sebuah perspektif baru tentang media fungsi massa dalam konteks dampak kultural media massa baik secara positif maupun negatif. Seraya memberi gambaran ke depan bagaimana kontribusi media massa dalam mengembalikan jati diri bangsa kita yang tidak sekadar slogan, melainkan didasari skema dan strategi kebudayaan yang jelas.
Sebab saat ini kebanyakan kita ini hanya gusar atau berkeluh kesah atau galau tentang hilangnya jatidiri bangsa, tapi kita tidak punya kontra skema yang tepat apalagi strategi untuk menjabarkan secara kultural di tengah gencarnya arus globalisasi atau perang asimetrik yang dilakukan oleh asing, baik dari pihak barat maupun Cina terhadap negeri kita.
Karena kita semua menyadari betapa Perang Asimetrik yang dihadapi oleh seluruh komponen strategis bangsa kita saat ini, adalah Perang yang dilancarkan pihak asing dengan mendayagunakan sarana-sarana non militer, termasuk media massa arus utama mereka, untuk melemahkan Indonesia dari dalam. Baik untuk melemahkan kekuatan militer kita sebagai bangsa, melainkan juga pelemahan cara pikir atau mematikan ruh kebangsaan kiita atau kepercayaan diri bahwa kita itu sebetulnya kuat.
Ini juga menurut kami satu masalah krusial ke depan, karena sajian-sajian berita media massa arus utama kita sepertinya hendak mensugesti kita bahwa kita telah kehilangan harapan, atau bahkan mewartakan matinya harapan.
Karena itu, harus dipikirkan semacam kontra skema kalau perlu kontra kultur yang dilancarkan asing melalui Perang Asimetris. Di sinilah perlunya kita membahas perlunya membuat media alternatif untuk mendukung kontra skema menghadapi Perang Asimetris pihak asing.
Nah, di dalam usulan akhir kami telah merekomendasi, kita memang mengajukan beberapa poin dalam kesimpulan itu:
- Media-media berbasis komunitas harus kita manfaatkan sekreatif mungkin sebagai media alternatif. Bahkan mempertimbangkan sebagai instrumen dalam perang informasi dan perang presepsi media-media mainstream baik dalam maupun luar negeri.
- Harus dengan sadar menggunakan situs-situs alternatif yang berasal dari berbagai media yang berbasis internet namun harus semakin didayagunakan cara-cara yang semakin inovatif dan kreatif. Bahkan jika mungkin dijadikan sebagai dasar membangun arus baru di ranah media. Jadi kita tidak boleh minder duluan, bahkan kita ini marginal ekstrim karena menghadapi arus. Sekarang, bagaimana caranya kita membangun arus baru.
- Jadikanlah media-media berbasis internet, baik situs maupun sosial media sebagai juru warta sekaligus pemandu informasi yang sesungguhnya. Baik yang objektif dan akurat sehingga menjadi sumber informasi juga mampu menciptakan sebuah kesadaran baru.
- Terakhir membangun komunikasi dan jaringan kerja dari berbagai komponen bangsa yang kiranya perlu membicarakan tindak lanjut atau follow up. Focus group discussion yang output-nya mampu menyusun sebuah armada baru di bidang informasi maupun komunikasi untuk menghadapi peran mainstreamdari media-media yang ada sekarang, baik dari media di dalam maupun di luar.
Kami kira poin terakhir itu yang menjadi catatan penting bagaimana membantu menciptakan armada baru dengan basis komponen-komponen kebangsaan yang punya kepedulian dan kesadaran baru tentang perlunya sebuah keadaan, dimana yang kita hadapi ini perang asimetris, dalam arti bukan menghadapi invasi militer pihak asing, melainkan menghadapi suatu perang persepsi maupun perang perspektif yang mana salah satu sarana mereka adalah dengan pembentukan opini publik melalui media-media arus utama asing.