Indonesia Dalam Keadaan Bahaya Akibat Demokrasi Ala Taman Kanak-Kanak!

Bagikan artikel ini

Kecenderungan nalar pada Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD) alias Playgroup, lebih mengkedepankan kuantitas daripada kualitas. Pun demikian logika Taman Kanak-Kanak alias ‘Anak TK’. Keduanya, entah anak PAUD ataupun anak TK — jika disuruh memilih dua hal antara selembar uang seratus ribu rupiah (Rp 100 ribu) dengan sepuluh lembar uang ribuan alias sepuluh ribu (Rp 10 ribu), maka ia cenderung memilih lembaran yang banyak (kuantitas) yang hanya senilai Rp 10 ribu daripada selembar (kualitas) Rp 100 ribu. “Demikian itu logika anak TK”. Berbeda dengan logika orang dewasa. Atas dua pilihan tadi, orang dewasa pasti memilih kualitas ketimbang kuantitas. Sedikit jumlah, tapi nominalnya lebih banyak. Inilah prolog, analogi, sekaligus asumsi dalam tulisan ini.

Katakanlah, sejak UUD 1945 karya agung the Founding Fathers diamandemen empat kali kurun 1999-2002 —UUD Produk Amandemen kerap disebut UUD2002 oleh pegiat konstitusi— maka sejak itulah mekanisme dalam demokrasi di republik ini, khususnya model pemilihan presiden (Pilpres) memakai logika anak TK atau Taman Kanak-Kanak, apa ujudnya? Yaitu banyak-banyakan suara!

Dengan kata lain, dinamika Pilpres condong memakai parameter kuantitas alias banyak-banyakan suara ketimbang menggunakan variabel kualitas seperti integritas, misalnya, atau kompetensi, intelektual, moral, latarbelakang dll, atau istilah Jawanya bobot, bibit dan bebet.

Pada Sidang Paripurna DPD RI, 14 Juli 2023 lalu, terdapat pointers bahwa UUD Baru yaitu UUD2002, selain telah mengubah wajah konstitusi menjadi individualis, liberal lagi kapitalistik, juga praktik operasional berbangsa dan bernegara sudah meninggalkan Pancasila sebagai Norma Hukum Tertinggi di republik ini. Nah, catatan ini membahas narasi yang terakhir: pengabaian Pancasila!

Contohnya bagaimana?

Terkait demokrasi, contohnya, bahwa model Pilpres Langsung (one man one vote) telah mengubur Sila ke-4 Pancasila yang berbunyi: “Kerakyatan yang Dipimpin oleh Hikmat Kebijaksanaan/Perwakilan”. Ya. Konsekuensi dan implementasi dari Sila ke-4 ini seharusnya Pilpres melalui MPR selaku penjelmaan rakyat, sebagai Lembaga Tertinggi Negara (pola kualitas). Namun, sejak UUD diamandemen dan pada 2004-an silam, kali pertama Pilpres digelar secara langsung maka mekanisme Pilpres tidak lagi melalui forum musyawarah mufakat via MPR, tetapi Pilpres digelar secara langsung atas nama one man one vote. Satu orang satu suara, alias suara seorang profesor sama dengan suara mahasiswa, atau suara tokoh masyarakat disamakan dengan suara (maaf) tukang becak, dan lain-lain.

Apa hendak dikata. Diturunkannya satus MPR dari Lembaga Tertinggi Negara menjadi Lembaga Tinggi Negara, sekali lagi, mengubah tata cara Pilpres dari pola kualitas —musyawarah mufakat— menjadi pola kuantitas yakni one man one vote alias banyak-banyakan suara. Siapa menang 50% + 1, dialah pemenangnya.

Lantas, bagaimana dampak atas praktik sila-sila lainnya terutama sila yang menggapit Sila ke-4 Pancasila yaitu Sila ke-3 dan Sila ke-5?

Dampak pada Sila ke-3: “Persatuan Indonesia”. Implikasi pada Sila ke-3 misalnya, hampir jarang ditemui keguyuban berbasis kesatuan dan persatuan bangsa. Setiap kali digelar hajatan pemilu, terutama saat Pilkada dan Pilpres, seketika rakyat langsung terbelah. Pro ini, pro itu. Dan dirasakan kini merambah pula ke kelompok paguyuban karena beda pilihan. Ada kegaduhan relatif lestari, karena usai Pilpres pun, kelompok dan golongan yang bergaduh dalam politik praktis cenderung dilembagakan. Ada kampret, cebong, atau buzzer ini, pendukung itu dan lain-lain.

Apalagi pada pola kuantitas alias banyak-banyakan suara lebih menonjolkan pencitraan dalam ‘menjual citra’ si kandidat melalui pemasangan banner, selebaran, dan/atau alat peraga kampanye lainnya terutama dominannya money politics. Bahwa sejahat-jahatnya kejahatan ialah money politic, karena secara riil mampu mengubah kemenangan menjadi kekalahan, ataupun sebaliknya. Mengalahkan kebenaran dengan tata cara biadab.

Alangkah mahalnya pola kuantitas dibanding dengan pola kualitas melalui MPR sebagai Lembaga Tertinggi Negara. Singkat kata, bahwa pola kuantitas —cara demokrasi anak TK— cenderung transaksional lagi mahal diongkos, penuh kegaduhan, serta membelah bangsa. Inilah yang kini berlangsung secara sistematis dan masif di republik tercinta ini, namun banyak para elit dan sebagian anak bangsa ini abai bahkan menganggapnya biasa-biasa saja.

Terkait dampak pada Sila ke-5: “Keadilan Sosial bagi Seluruh Rakyat Indonesia”, ada dua pertanyaan filosofi muncul di permukaan:

1. Bagaimana akan lahir pimpinan yang akan bersikap adil dan bijaksana, sedang biaya untuk menjadi pemimpin nasional sangat mahal;

2. Bagaimana akan terbidani sosok negarawan jika sistem yang digunakan sangat transaksional?

Dari dua pertanyaan mendasar di atas, penulis berani mengajukan asumsi bahwa model Pilpres secara langsung hanya akan membidani sosok politisi, bukan negarawan.

Apa perbedaan keduanya?

Sangat beda sekali. Singkat narasi misalnya, bila politisi hanya berpikir next election, bagaimana berkuasa dan mempertahankan kekuasaan dan seterusnya, sedangkan negarawan berpikir next generation, bagaimana mencerdaskan bangsa dan mensejahterakan rakyat dan lain-lain. Ya. Antara politisi dan negarawan sangat berbeda baik orientasi maupun tujuan.

Sesuai judul tulisan ini, sesungguhya Indonesia tengah dalam keadaan bahaya (vivere pericoloso) apabila terus melanjutkan Pilpres ala anak TK, sedangkan konstitusi sebelumnya (UUD 1945 Naskah Asli) karya agung the Founding Fathers telah menyiapkan model pemilihan pimpinan nasional yang cerdas, bermoral dan beradab!

Di Bumi Pertiwi ini, masih banyak tamu tak diundang di antara repumpun kembang sore dan bunga-bunga sedap malam.

M Arief Pranoto, Pengkaji Geopolitik, Global Future Institute (GFI)

Facebook Comments
Social Media Auto Publish Powered By : XYZScripts.com