Indonesia Harus Meneladani Turki-India-Mesir Berani Melawan Skema Undang-Undang CAATSA AS

Bagikan artikel ini

Dalam Focus Group Discussion dalam rangka menyusun Produk Kajian tentang Dampak Countering America’s Adversaries Though Sanctions Act (CAATSA) di Direktorat Jenderal Strategi Pertahanan, Kementerian Pertahanan RI, Rabu, 13 November 2019. Global Future Institute (GFI) dalam rekomendasinya yang disampaikan oleh Hendrajit, Direktur Eksekutif GFI menyarankan agar menjabarkan Politik Luar Negeri RI yang Bebas-Aktif yang bersifat visioner dan imajinatif terkait kebijakan pembelian dan pengadaan alat utama sistem persenjataan (Alutsista). Sehingga kita tidak diatur-atur oleh negara asing. Kepentingan nasional Indonesia harus menjadi panglima.

Kedua, GFI juga menyarankan dalam rekomendasinya, agar pemerintah Indonesia utamanya kementerian pertahanan, ada baiknya kita belajar dari politik bebas aktif dan kemandirian politik pertahanan ala Turki, Cina dan India. Meskipun Turki termasuk sekutu AS dan negara-negara Blok Barat, bahkan masih tercatat sebagai anggota NATO, Turki tetap menganut politik luar negeri dan politik pertahanan yang bebas-aktif, ketika memutuskan membeli pesawat Su-400.

Sedangkan India selama ini kita terikat dalam persekutuan dengan Inggris dalam kerangka Common Wealth. Namun tetap bersikap mandiri dengan membeli peralatan militer dari Rusia, atas dasar kebutuhan nasional pertahanan negaranya.

Baca: Pembelian Maupun Pengadaan Alutsista Harus Dalam Tuntunan Politik Luar Negeri RI Bebas-Aktif

Maka Global Future Institute menyambut gembira kunjungan Menteri Pertahanan Prabowo Subianto berkunjung ke Turki dan India dalam minggu terakhir bulan Juli ini. Seperti dilansir beberap situs berita nasional, Prabowo berkunjug ke Turki pada 23 Juli 2020 lalu, untuk membahas kerjasama kedua negara di bidang industri pertahanan. Termasuk pengadaan UAV atau unarmed aerial vehicle alias pesawat nirawak/drone.

Begitu pula pada 27 Juli 2020 lalu, Menhan Prabowo berkunjung ke India, juga membahas kerjasama pertahanan kedua negara. Tentu saja kunjungan ke Turki dan India diharapkan bisa menginspirasi Indonesia agar dalam kebijakan pengadaan dan pembelian Alutsista, tidak tergantung pada satu atau beberapa negara adikuasa. Tapi memiliki kemandirian untuk memilih dengan negara mana Indonesia menjalin kerjasama bisnis. Dan untuk itu, kerjasama bisnis tidak boleh dipengaruhi oleh tekanan politik negara-negara adikuasa.

Keputusan Presiden Donald Trump untuk menekan negara-negara berkembang agar tidak menjalin kerjasama bisnis dengan negara-negara yang dipandang musuh oleh Washington seperti Cina dan Rusia melalui skema UU CAATSA, harus ditolak oleh pemerintah Indonesia.

Dan dalam hal ini, Turki dan India sudah memperlihatkan keberaniannya untuk menentang campurtangan dan tekanan politik AS lewat CAATSA. Maka itu, sangat logis bagi Indonesia agar tetap meneruskan  kesepakatan kontrak kerjasama dengan Rusia terkait pembelian 11 unit pesawat tempur Sukhoi  Su-35 yang sudah ditandatangani antara RI-Rusia pada 2018 lalu.

Jika pemerintah Indonesia tetap bertahan dan berkomitmen melaksanakan kesepakatan kontrak kerjasama dengan Rusia terkait pembelian Sukhoi, dalam jangka pendek boleh jadi kita akan menghadapi kesulitan ekonomi yang cukup parah. Namun harkat-martabat dan kredibilitas kita sebagai bangsa berkarakter akan terselamatkan baik di dunia internasional, maupun di dalam negeri.

Mesir, bisa jadi contoh satu lagi sebuah negara berkembang yang berani menentang skema UU CAATSA AS maupun ancaman AS untuk mengenakan sanksi ekonomi kepada negara-negara yang menjalin kerjasama bisnis pertahanan dengan negara-negara adikuassa pesaing AS seperti Rusia.

Seperti dilansir oleh situs berita Sindonews 29 Juli 2020,  Militer Mesir segera menerima lima jet tempur buatan RusiaSukhoi Su-35. Atau lebih tepatnya, Lima Sukhoi Su-35 Flanker akan segera jadi milik Angkatan Udara Mesir.

Baca: Mesir Terima Lima Jet Tempur Rusia Sukhoi Su-35 Meski AS Marah

Padahal AS sangat berkeberatan dengan keputusan Mesir membeli Sukhoi Su-35 buatan Rusia tersebut. Dengan alasan untuk menjaga superioritas militer Israel di Timur-Tengah. Sehingga tahun lalu AS sempat mengancam Mesir akan mengenakan sanksi ekonomi. Namun nyatanya, Mesir tetap bersikeras membeli Sukhoi Su-35.

Seperti halnya Indonesia menandatangani kontrak pembeian pesawat tempur jet Sukhoi Su-35 pada 2018 lalu Mesir pada awal 2019  menandatangani kesepakatan senilai USD2 miliar dengan Rusia untuk membeli lebih dari 20 jet Sukhoi Su-35.

Dengan keputusan ini, Pemerintahan Mesir di bawah kepemimpinan Jendral Al- Sisi, tetap konsisten menganut garis haluan politik luar negeri bebas aktif seperti yang dilakukan para presiden Mesir terdahulu seperti Gamal Abdel Nasser dan Anwar Sadat.

Dengan begitu Turki, India ddan Mesir, merupakan teladan bagi Indonesia agar berani melawan skema UU  CAATSA AS, dan menciptakan kemandirian politik dalam pembelian dan pengadaan peralatan militernya.

Hendrajit, Pengkaji Geopolitik Global Future Institute (GFI)

Facebook Comments
Social Media Auto Publish Powered By : XYZScripts.com