Indonesia Incorporation

Bagikan artikel ini

Khoiron Mustafitpenulis dan spiritual trainer

Pada tahun 2014 lalu, Wiranto, yang kini menjabat menjadi Menkopolhukam, mengatakan bahwa Indonesia masih dijajah asing. Bidang-bidang seperti migas, gula, garam, susu, Indonesia masih bergantung kepada asing. Hal ini juga dinyatakan oleh Rizal Ramli saat masih menjabat menjadi Menko Kemaritiman. Menurutnya, di berbagai bidang, Indonesia masih dijajah asing. Prof Dr Pratikno, sebelum menjadi menteri, mengatakan bahwa hingga saat ini aset negara sekitar 70–80 persen telah dikuasi bangsa asing. Menurutnya, di bidang perbankan bangsa asing telah menguasai lebih dari 50 persen, di sektor migas dan batu bara asing menguasai antara 70-75 persen, telekomunikasi asing mengasai 70 persen, pertambambangan hasil emas dan tembaga asing menguasai 80-85 persen, sektor perkebunan dan pertanian asing menguasai 40 persen. Yang lebih ngeri lagi adalah informasi dari Aburizal Bakri; menurutnya In­donesia dengan segala sumber da­ya alam yang dimilikinya ter­nyata hanya dimiliki tidak lebih dari 0,18 persen dari total pen­du­duknya.

Isu dijajah oleh asing ini memang menggemaskan untuk dibahas. Mungkin juga, ini adalah pembahasan empuk, karena siapa saja bisa membahasnya. Toh, di google tersedia banyak sekali data-datanya. Bahwa penentuan harga berbasis pasar sebenarnya adalah konsep penjajahan secara tidak langsung, dimana sebenarnya penguasa pasar adalah pihak asing itu sendiri, mirip Verplichte Leverantie, yaitu penyerahan wajib hasil bumi dengan harga yang telah ditentukan VOC. Cuma, kalau pada zaman baheula VOC dapat menerapkan aturannya itu secara langsung, sekarang tidak bisa lagi; harus main kucing-kucingan agar tidak terendus oleh khalayak. Kalaupun sudah terendus begini terus kita bisa apa, karena menentukan harga lewat mekanisme pasar memang—sekali lagi—sangat sexy.
Padahal, asal tahu saja, Amerika Serikat saja sangat keberatan mencabut macam-macam subsidi bagi rakyatnya.
Dari berbagai macam arah, bangsa Indonesia dikuasai oleh asing. Lihat saja data-data tentang penguasaan asing pada produk minuman seperti air mineral, dimana 74% saham Aqua adalah kepunyaan Danone, perusahaan Prancis; teh Sariwangi, 100% sahamnya dimiliki oleh Unilever Inggris; susu SGM, 82% sahamnya dikuasai oleh Numico Belanda. Produk sabun dan sikat gigi penguasanya adalah Unilever. Beras diimpor dari Thailand; gula diimpor dari Malaysia. Mobil diimpor dari Jepang, China, Eropa atau India. Bahkan sampai pasar swalayan seperti Carrefour sebagian besar sahamnya dimiliki oleh asing, dengan perhitungan detail Carrefour SA sebesar 39 persen, Carrefour Nederland BV (9,5 persen), dan Onesia BV (11,5 persen). Bahkan minimarket seperti Alfamart itu adalah anak dari Carrefor, sedangkan Giant adalah kepunyaan Dairy Farm, Malaysia.
Di bidang otomotif, negara kita pernah melakukan apa yang dinamakan dengan favoritisme dengan mengeluarkan SK Menteri Perindustrian No.168/M/SK/9/79. SK ini memberi keringanan pajak pada kendaraan minibus, tapi tidak diberikan pada sedan. Saat itu, mobil minubus dikuasai oleh Jepang, sedangkan sedan diproduksi pabrikan Eropa. Bahkan selama periode 1970-an, sampai dengan tahun 1995, banyak bermunculan SK tentang industri otomotif, lalu SK-SK itu dibatalkan dengan SK-SK yang lain, saking kacaunya. Paket kebijakan otomotif 1993, misalnya, ia sukses menciptakan dominasi Toyota Kijang, karena, saat itu, Toyota mendapatkan keringanan pajak dengan alasan berhasil menciptakan kandungan lokal dalam proses produksi mobil tersebut mencapai 47 persen. Hingga saat ini mobil merek Jepang menguasai 96 persen pasar mobil nasional. Bahkan, saat Jepang marah kepada Indonesia karena mengembangkan mobil nasional dengan merek Timor, yang mesinnya berasal dari KIA, pabrikan asal Korea Selatan, Jepang memenangkannya. Jepang memprotes bahwa Keputusan Presiden (Keppres) No.42/1996 dianggap melanggar peraturan perdagangan yang adil, lantaran merek Timor yang digagas Tommy Soeharto memperoleh insentif pajak tidak wajar. Aneh bukan? Keringan pajak boleh untuk Jepang, tapi tidak boleh untuk bangsa sendiri.
Menurut Aswicahyono et.al. (2000), industri otomotif di Indonesia sangat diwarnai oleh kepentingan penguasa dan pengusaha. Sifat kebijakan yang intervensionis membuat industri otomotif Indonesia diwarnai oleh proteksi, lobi-lobi politik; industri otomotif Indonesia diwarnai dengan kebijakan yang kontroversial. Campur tangan birokrasi yang tinggi menyebabkan banyaknya aktifitas yang inefisien dan tidak profesional, karena diselimuti oleh biaya transaksi yang tinggi. Pada masa lalu, ditunjuknya Ir. Suhartoyo (dirjen Industri Menengah Logam Dasar, 1973 – 1978) oleh Toyota Astra sebagai komisaris pada 1974, adalah tanda mencolok atas keterlibatan pemerintah itu. Sebagai Dirjen, Ir. Suhartoyo banyak menentukan dasar kebijakan otomotif. Tak heran jika Toyota kemudian berhasil melampaui penjualan merek-merek mobil yang lainnya. Maka, jadilah penguasaan asing pada bidang ini tertancap dalam berbagai hal: harga, produk, komponen, bahkan termasuk kualitas.
Di bidang telekomunikasi, pada tahun 2002 dulu saat SingTel masuk ke Telkomsel hanya dengan membawa uang 1 miliar dollar AS atau sekitar Rp 10 triliun. Saat ini nilai kapitalisasi pasar Telkomsel mencapai USD24 miliar atau sekitar Rp 240 triliun. Artinya, dengan menguasai 35 persen saham Telkomsel, nilai kapitalisasi saham Singtel mencapai Rp 80 triliun lebih. STT atau Singapore Technologies Telemedia yang membeli 41,94 persen saham Indosat dengan harga Rp. 5,62 triliyun, dapat menjual sahamnya ke Qatar Telecom (Qtel) dengan harga jauh dari saat membelinya tahun 2002, senilai 1,8 miliar dollar AS atau Rp 16,56 triliun (kurs Rp 9.200 per dollar AS). Penguasaan asing yang dominan ini berarti bahwa mereka memiliki kewenangan untuk mempengaruhi kebijaksanaan, strategi dan profit dari PT Indosat Tbk dan PT Telkomsel Tbk. Mengatur kebijakan dan stretegi kedua perusahaan itu sama saja dengan mengatur hajat hidup orang Indonesia, karena kedua perusahaan tersebut cakupan pasarnya kurang lebih 80 persen dibandingkan provider telekomunikasi yang lain.
Capek kan membicarakan tentang Indonesia ini? Karena ini pasti akan melibatkan banyak hal yang mau-tak-mau akan membuat kita merasa bahwa negara ini seperti bukan lagi milik kita sendiri. Padahal, dari Presiden sampai ketua RT-nya adalah bangsa Indonesia. Padahal UUD 1945 Pasal-33 (2) disebutkan bahwa cabang-cabang produksi yang penting bagi Negara dan yang penting bagi Negara dan yang menguasai hajat hidup orang banyak dikuasai oleh Negara. Saya tidak mengerti apakah UUD 1945 ini masih terpakai di negara ini. Sepertinya, ini bukan lagi negara, tapi perusahaan. Indonesia incorporation, sayang pemilik sahamnya bukan anak bangsa. Ironis.
Facebook Comments
Social Media Auto Publish Powered By : XYZScripts.com