Indonesia-Rusia Harus Kerjasama Dorong Pembiayaan Pembangunan Infrastruktur oleh Negara-Negara G-20

Bagikan artikel ini

Hendrajit, Direktur Eksekutif Global Future Institute (GFI)

Dalam KTT G-20 2012 lalu di Meksiko, pokok bahasan adalah masalah desain keuangan dunia yang mengangkat isu financial inclusion atau akses keuangan bagi masyarakat  bawah. Terkait dengan pembahasan hal itu, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono menggariskan satu arah kebijakan agar tidak sekadar membahas institusi keuangan global dan  bank-bank besar, melainkan juga membangun akses keuangan untuk usaha mikro dan kecil sehingga bisa menyerap puluhan juta tenaga kerja.

Gagasan usulan Indonesia pada G-20 di Los Cabos, Meksiko tersebut, kiranya perlu ditindaklanjuti secara lebih konkrit dengan Rusia, yang kebetulan akan menjadi tuan rumah di St. Petersburg, Rusia yang rencananya akan digelar pada 5-6 September 2013 mendatang. Baik Indonesia dan Rusia sama-sama menaruh perhatian khusus pada isu Financial Inclusion dan stimulus ekonomi untuk pembangunan infrastruktur (Baca juga artikel Maria Monica Wihardja, Indonesia and Russia’s Presidency of G-20).

Memang saat ini Rusia sudah tidak lagi termasuk kategori negara-negara berkembang mengingat Gross Domestic Product (GDP)-nya sudah mencapai 20 ribu dolar AS per kapita. Namun Rusia sebagaimana juga Indonesia masih menghadapi masalah krusial yang sama yaitu: Lemahnya Regulasi, pembangunan infrastruktur yang tidak efisien, dan ketimpangan pendapatan antara masyarakat ekonomi kuat dan masyarakat ekonomi lemah.
Karena itu dalam konteks pemulihan pertumbuhan ekonomi global, Indonesia dan Rusia mempunyai kesamaan visi dan arah kebijakan untuk mendorong pertumbuhan ekonomi yang lebih kuat, berkelanjutan (sustainable) dan seimbang.
Karena itu, Indonesia dan Rusia harus menyikapi beberapa hal yang sama terkait kesepakatan-kesepakatan pertemuan G-20 terdahulu. Salah satunya adalah untuk mencermati pentingnya stimulus ekonomi dalam rangka mendorong proyek-proyek infrastruktur yang potensial.
Indonesia termasuk salah satu negara anggota G-20 yang sangat mendukung gagasan agar negara-negara G-20 bisa membiayai proyek-proyek infrastruktur bagi negara-negara berkembang. Terutama yang bertujuan membantu ketersediaan pembiayaan bagi proyek-proyek infrastruktur dengan mengalokasikan dana khusus dan bantuan keahlian. Setidaknya hal tersebut disampaikan oleh Lucky Eko Wuryanto, Deputi Bidang Koordinasi Infrastruktur dan Pengembangan Wilayah di Kementerian Koordinasi Perekonomian.
Mengingat komitmen Rusia pada Financial Inclusion dan pentingnya kucuran ekonomi dalam pembangunan infrastruktur, nampaknya Indonesia harus membangun aliansi strategis dengan Rusia terkait isu ini.
Betapa tidak. Selama in, minimnya pendanaan telah menjadi hambatan utama bagi pembangunan infrastruktur, pada gilirannya telah membatasi produksi di banyak negara berkembang, termasuk Indonesia.
Karena itu, selain urgensi untuk membangun aliansi strategis dengan Rusia, Indonesia juga harus merujuk pada India yang sudah melakukan beberapa langkah lebih maju terkait usulan pembiayaan pembangunan infrastrutkur. Menurut Menteri Urusan Perekonomian  India Arvind Marayam, India telah melontarkan ide untuk membentuk sebuah mekanisme pembiayaan investasi infrastruktur oleh G-20.
Menariknya, gagasan Menteri Arvind Marayam tersebut, kemudian akan ditindaklanjuti oleh Menteri Keuangan India P Chidambaram  pada pertemuan para menteri keuangan G-20 di Washington, Amerika Serikat pada April mendatang.
Para “pemangku kepentingan” kebijakan luar negeri maupun perekonomian nasional Indonesia seharusnya membaca langkah strategis India tersebut tidak semata sebagai prakarsa India semata, melainkan harus dibaca sebagai bagian integral dari manuver persekutuan blok ekonomi BRIC (Brazilia, Rusia, India dan Cina), yang merupakan blok ekonomi tersendiri di luar skema G-20, yang saat ini dipandang masih berada dalam kendali kekuasaan negara-negara G-8 yang dimotori Amerika Serikat dan sekutu-sekutunya dari Eropa Barat seperti Perancis dan Jerman.
Manuver India bisa dipastikan merupakan langkah strategis yang sejalan dengan Rusia dan Cina yang sejak 2001 lalu menjalin aliansi strategis melalui payung Shanghai Cooperation Organization (SCO), untuk mengimbangi kekuatan dan dominasi negara-negara G-8 di forum-forum ekonomi multilateral.  Yang kemudian derivasinya terbentuk blok kerjasama ekonomi lintas kawasan yang tergabung dalam BRIC.
Manuver India tersebut bisa diartikan bahwa Rusia maupun Cina telah sejalan dan mendukung prakarsa India, sebagai gerakan menumbuhkan kesadaran di kalangan negara-negara anggota G-20 akan pentingnya peran pemerintah saat peran swasta tidak bisa diandalkan seperti sekarang ini.
Sekadar informasi. Investor seringkali khawatir terhadap proyek infrastruktur berskala besar, mahal dan memakan waktu lama, terutama di negara dengan situasi politik dan regulasi yang tidak pasti seperti di Indonesia. Proyek infrastruktur sering batal karena kekhawatiran keuntungan yang didapat tak akan cukup mengompensasi risiko investor. Pendanaan proyek pun turut berkurang sejak bank-bank Eropa menghemat operasi mereka seiring dengan krisis keuangan global 2008-2009 dan krisis utang Eropa.
Indonesia sendiri saat ini memiliki kebutuhan yang amat tinggi akan infrastruktur. Menurut Lucky Eko Wuryanto, Pemerintah memperkirakan kebutuhan investasi infrastruktur berkisar hingga 5% dari produk domestik kotor (PDB) jika ingin menjaga pertumbuhan ekonomi sebesar 6%. Di wilayah timur Indonesia yang kurang berkembang, para investor bahkan harus lebih dahulu membangun infrastruktur–seperti jalan raya, pembangkit listrik, dan pelabuhan–sebelum bisa mengeruk potensi di wilayah tersebut.
Ada satu poin penting yang mendorong Global Future Institute menanggpi pernyataan Deputi Bidang Koordinasi Infrastruktur dan Pengembangan Wilayah di Kementerian Koordinasi Perekonomian Lucky Eko Wuryanto.
Menurut Luky, para anggota G-20 yang lebih makmur mungkin tertarik untuk meningkatkan kerjasama dengan negara-negara berkembang dengan cara membiayai proyek-proyek infrastruktur. Amerika Serikat, dengan berbagai upayanya mendongkrak peranan di Asia, merupakan salah satu contoh, ujarnya. Negara-negara yang lebih berpengalaman dalam menarik pembiayaan, serta mengembangkan infrastruktur juga bisa mengulurkan bantuannya dengan cara berbagi pengalaman, tuturnya.
“G-20 atau mungkin APEC seharusnya memiliki mekanisme untuk membantu negara-negara dengan sumber-sumber pembiayaan, atau mekanisme untuk membiayai infrastruktur. Itu sangat dibutuhkan, khususnya bagi Indonesia,” ujar Luky dalam kunjungannya ke Singapura pada akhir bulan lalu.
Secara prinsipil Global Future Institute menyambut baik pandangan Lucky Eko Wuryanto. Namun mengandalkan Amerika untuk membantu pembiayaan proyek-proyek infrastruktur di Indonesia rasa-rasanya tidak realistis mengingat saat ini Amerika tidak menaruh prioritas atas isu tersebut di atas. Dan bahkan  jika belajar dari pengalaman sebelumnya di forum APEC Business Advisory Council (ABAC) tahun lalu, Amerika terbukti tidak kooperatif terkait upaya forum APEC untuk memberdayakan negara-negara berkembang di bidang teknologi. Amerika dan beberapa sekutunya di APEC menolak prakarsa Rusia untuk membantu negara-negara berkembang yang tergabung dalam APEC melalui Transfer Technology Fund.
Karena itu,  Indonesia sudah saatnya untuk mengambil opsi sebagaimana yang diambil India dengan membangun kerjasama strategis dengan Rusia dan Cina dalam skema BRIC.
Dengan mencermati prioritas yang dicanangkan Rusia dalam bidang Financial Inclusion dan kucuran ekonomi bagi proyek-proyek infrastruktur, nampaknya Indonesia lebih strategis untuk menjalin kerjasama strategis dengan Rusia terkait upaya mendorong pembiayaan investasi infrastruktur oleh G-20.
Dan lebih daripada itu, Rusia tidak semata-mata menaruh perhatian dalam mendorong proyek-proyek infrastruktur itu sendiri, namun juga cukup strategis dalam memilih proyek infrastruktur yang dipandang strategis dari sudut pandang kepentingan dan prioritas nasional Rusia.
Melalui Program of Development of Siberia and Far East, Rusia mengaitkan pembangunan infrastruktur dan upaya membangun pengaruh geopolitik di kawasan Asia Pasifik. Karena Siberia merupakan pintu masuk ke kawasan Asia Pasifik. Selain kenyataan bahwa wilayah Primorsky Krai dan kota Vladivostok saat dipandang sebagai pusat pertumbuhan ekonomi wilayah Timur Jauh Rusia. Wilayah ini berbatasan langsung dengan kawasan pertumbuhan ekonomi Asia Timur dan dekat dengan pusat-pusat perkembangan ekonomi negara-negara di kawasan Asia Pasifik yang notabene juga tergabung dalam forum ekonomi APEC.
Selain itu, yang juga bisa jadi inspirasi bagi para stakeholders kebijakan luar negeri dan perekonomian di Indonesia, Rusia akan membentuk Badan Usaha Milik Negara yang secara khusus bertujuan mendukung percepatan pertumbuhan ekonomi di kawasan Asia, di Siberia, Wilayah Timur Jauh Rusia. Sekaligus mencanangkan pembangunan berskala nasional dalam proyek-proyek di bidang infrastruktur.
Karena itu, jika Lucky Eko Wuryanti, Deputi Bidang Koordinasi Infrastruktur dan Pengembangan Wilayah di Kementerian Koordinasi Perekonomian  beberapa waktu lalu sempat menggarisbawahi agar perusahaan milik negara (BUMN) juga harus didorong untuk memainkan peran lebih besar dalam proyek-proyek prioritas nasional, dan bukan hanya proyek-proyek yang paling menguntungkan, rasa-rasanya opsi menjalin kerjasama dengan Rusia, jauh lebih tepat dan strategis.
Facebook Comments
Social Media Auto Publish Powered By : XYZScripts.com