Ironi Geopolitik (3)

Bagikan artikel ini

Adalah kontradiksi keadaan, atau paradoks di sebuah negeri atas hal-hal yang ada (being),nyata (reality) dan berada (existance) bagi takdirnya. Negeri agraris dengan dua musim serta curah hujannya tinggi, namun mengimpor berbagai komoditas pangan yang semestinya berlimpah pada dirinya; atau negara kelautan yang memiliki garis pantai relatif panjang tetapi mengimpor ikan, garam, dan hasil laut lainnya; atau wilayah yang berada di lingkaran sabuk api (ring of fire),justru kekurangan minyak dan gas alam; betapa bangsa yang kaya nilai dan budaya adiluhung (gotong royong, paternalistik, musyawarah mufakat, dll) dalam sistem sosial budaya, namun mengadopsi serta menerapkan kultur asing yang sama sekali belum terbukti ampuh dalam perjalanan bangsa. Itulah sekilas gambaran tentang ironi geopolitik.

Dan akibat ironi geopolitik di satu sisi, Indonesia kini berstatus ‘bangsa pengimpor’ sedang ia memiliki aura sebagai produsen dalam bidang pangan dan energi, dua hal yang secara riil dan potensial —jika tak salah urus— sangat berlimpah ruah. Bukankah hakikat impor hanyalah bagian strategi untuk menstabilkan harga ketika biaya hidup, terutama harga-harga sembilan bahan pokok (sembako) telah mencekik leher rakyat? Jadi, bukannya impor yang membantai produk lokal, atau impor yang ‘membunuh’ para petani sebagaimana yang berlangsung di republik ini.

Dalam politik negara, falsafah impor adalah strategi (alat) bagi elit penguasa dalam rangka stabilisasi harga sembako dan kebutuhan-kebutuhan lainnya. Impor di Indonesia, bukan ‘ideologi’ yang mutlak dijalankan sepanjang masa, karena segala yang dibutuhkan rakyat (dari impor) sebenarnya ada, nyata, bahkan berkelimpahan di negeri ini.

Tapi di sisi lain, para warga dijejali ‘pagelaran citra’ sampai keasyikan terbuai, seolah-olah itulah permainan riil hidup dan mati. Bukankah citra itu realitas semu? Ibarat kodok di tepi sumur, ia menganggap sumur itu dunia yang patut diperjuangkan. Mengenaskan. Maka hiruk-pikuk politik pun terlihat glamour tetapi tidak bermakna apa-apa. Seperti ada derap kemajuan namun hakikinya jalan di tempat.

Khalil Gibran (1883-1931), seorang filsuf Lebanon memotret kenyataan tersebut dalam analog sajak “Bangsa Kasihan”. Kendati ia sendiri belum pernah menginjak Nusantara yang kala itu masih berstatus Hindia Belanda, terlihat lebay memang, namun syair-syairnya masih relevan menyorot geliat Nusantara yang kini malah berstatus “Bangsa Pengimpor”. Inilah untaian bait-baitnya:

Kasihan bangsa yang memakai pakaian yang tidak ditenunnya,

memakan roti dari gandum yang tidak dituainya

dan meminum anggur yang tidak diperasnya

 

Kasihan bangsa yang menjadikan orang bodoh menjadi pahlawan,

dan menganggap penindasan penjajah sebagai hadiah.

 

Kasihan bangsa yang meremehkan nafsu dalam mimpi-mimpinya ketika tidur,

sementara menyerah padanya ketika bangun.

 

Kasihan bangsa yang tidak pernah angkat suara

kecuali jika sedang berjalan di atas kuburan,

tidak sesumbar kecuali di runtuhan,

dan tidak memberontak kecuali ketika lehernya

sudah berada di antara pedang dan landasan.

 

Kasihan bangsa yang negarawannya serigala,

falsafahnya karung nasi,

dan senimannya tukang tambal dan tukang tiru.

 

Kasihan bangsa yang menyambut penguasa barunya

dengan trompet kehormatan namun melepasnya dengan cacian,

hanya untuk menyambut penguasa baru lain dengan trompet lagi.

 

Kasihan bangsa yang orang sucinya dungu

menghitung tahun-tahun berlalu

dan orang kuatnya masih dalam gendongan.

 

Kasihan bangsa yang berpecah-belah,

dan masing-masing mengangap dirinya sebagai satu bangsa.

 

Lain Ghibran, lain pula leluhur kita mengistilahkan keadaan tadi. “Absente of Lord”. Tuan tanah yang tidak berpijak pada tanah sendiri. “Tanah Air Indonesia”, mungkin tinggal AIR-nya sedang TANAH-nya entah dimana, dikapling siapa. Esensi (geo) politik ialah menjalankan politik (terutama politik luar negeri) berbasis tanah, wilayah, atau bumi di sekitarnya, seyogyanya tidak cuma mengantar pada gerbang kemerdekaan saja, takdirnya mutlak mengubah nasib bangsa di atasnya hidup sejahtera dan bermartabat di muka bumi. Namun kenyataannya?

Mari kita breakdown Ketahanan Nasional secara sekilas yang merupakan pengejawantahan geopolitik dan wawasan nusantara di republik ini. Tak lain maksudnya, agar terdeteksi mana elemen atau aspek (gatra) yang dangkal, terdangkalkan, terabaikan, atau sengaja didangkalkan, atau sengaja diabaikan, dll. Tak bukan tujuannya, supaya warganya segera berkaca selaku bangsa, bercermin diri sebagai warga negara.

Pancasila misalnya, jangankan ia dipraktekkan sebagai ideologi, sedang diucapkan oleh para elit dan pejabat pun hanya kadang-kadang. Itupun cuma retoris. Orang lebih suka membahas demokrasi, freedom, HAM, dll. Butir-butir sila dalam Pancasila mungkin dianggap sejarah masa lalu, bukankah BP-7 telah bubar?

Elemen politik apalagi, setidaknya sejak reformasi dinisbatkan sebagai era (masa) di negeri ini, praktek-praktek Demokrasi Pancasila pun berubah menjadi demokrasi ala Barat yang gencar mengusung hak suara, multipartai, otonomi daerah (otoda), dll. Maka bentuk negara pun berubah ‘banci’. Tak jelas. Negara kesatuan kok menjalankan otoda; bukankah otoda itu kemasan lain (penghalusan) negara federal?

Dinamika sosial budaya pun terimbas rancu. Betapa dulu dikenal bangsa ramah, toleran dan beradab, sekarang sering menampakkan radikalisme, saling curiga, intolerans terkesan marak, dsb. Inilah fakta sekaligus realita yang malah diberi ruang gerak untuk berkembang di sekeliling kita.

Gilirannya, sistem pertahanan keamanan (hankam) pun melemah. “Rumah dan pekarangan kita” seperti tanpa jendela, tidak berpintu, bahkan tak bertuan. Jangan-jangan malah tidak ber-Tuhan? Aspek Ketahanan Nasional di sektor hankam kehilangan “ruh” ketika euphoria reformasi sukses mencabut instrumen-instrumen sakti (UU pro rakyat, salah satunya UU Subersif) guna melindungi kedaulatan negara. Khusus UU Subversif, hingga saat ini belum ada (UU atau Perpu) pengganti yang senafas dengan perkembangan zaman.

Bukankah perilaku geopolitik asing (secara non militer) yang tengah bermain di republik ini tidak dapat dijangkau oleh rule of law yang ada? Tatkala merebak ISIS misalnya, atau marak berbagai faham nyleneh meretak persatuan dan kesatuan bangsa, kita cuma plonga-plongo karena ketiadaan UU dan instrumen untuk menjeratnya. “Anomali hukum?”

Ketika aparat ragu-ragu bertindak sebab khawatir melanggar HAM, lahirlah beberapa organisasi massa (ormas) di Bumi Pertiwi sebagai reaksi atas anomalisasi yang muncul dan “ditimbulkan’. Mereka ingin menghadang gerak laju aliran nyleneh dan mencoba padamkan faham-faham asing yang secara gelap menumpang di arus kebebasan, tetapi ormas tersebut justru di-bully sendiri oleh publik yang sejatinya hendak dilindunginya dari penitrasi faham-faham nyleneh. Apa boleh buat. Memang jika berbekal semangat, tanpa pakem dan dogma yang jelas menjadikan ormas tadi bersikap arogan, over acting, bahkan cenderung radikal. Lingkungan pun marah, mencaci maki, dan sekelompok warga minta ormas dibubarkan!

Kekerasan fisik dipertentangkan oleh media massa atas nama hukum, HAM, dan nilai-nilai religi, tetapi kekerasan (dan penggerusan) secara non fisik terhadap Ideologi Pancasila berjalan senyap, masif, sistematis, dan justru lupa dibahas —atau sengaja dilupakan?— dibiarkan bebas berkembang atas nama sekularisme, pluralisme, dan lainnya.

Kondisi (“anomali”) tadi jelas terbaca publik global, bahwa negara ini tidak berdaya tatkala asymmetric warfare “bermain” di Bumi Pertiwi. Inilah yang tengah terjadi. Selain mayoritas warga hanyut oleh skema asimetris yang dikendalikan asing, juga bangsa ini hampir tidak memiliki ketahanan ideologi sama sekali. Ibarat ‘kodok sumur’ di muka, para warga asyik sendiri dengan permainan yang secara substansi tak dipahaminya. Sekali lagi, inilah politik glamour namun tidak punya makna apa-apa. Sebaliknya, tidak sedikit segolongan anak bangsa yang tercerahkan hendak mengurai persoalan bangsa, tetapi tindakannya parsial cuma gaduh (berjuang) di tataran hilir, ingin keluar dari jerat asymmetric namun reaktif, langkah-langkahnya tidak sesuai petunjuk (inkonstitusional), dan kiprahnya belum bisa mencabut akar daripada hulu permasalahan.

Di antara pakar-pakar, tokoh dan elit kita, sejatinya banyak yang memahami kondisi ini namun pura-pura tidak tahu. Entah kenapa. Apatis, atau justru mereka bagian dari asymmetric strategy yang diremot oleh asing, lalu menikmati ‘anamoli’ di negeri tercinta ini?

Pada gilirannya, aspek geografi dalam Ketahanan Nasional yang mestinya menjawab tantangan food and energy security (ketahanan pangan dan energi), dalam prakteknya justru dikapling-kapling oleh asing melalui kartel-kartel ataupun Multinational Corporations (MNCs) bidang pangan dan energi. Inilah sepintas penguasaan energi global oleh para MNCs yang bertitel The Seven Sisters.

Sekurang-kurangnya, usia Perang Dunia II, bendera The Seven Sisters berkibar di ladang energi global. Mereka adalah Standard Oil of New Jersey (ESSO),  Standard Oil of New York (SOCONI) kemudian berubah menjadi Mobil Oil, Standard Oil of California berubah nama Chevron, Royal Dutch Shell, British Anglo-Persian Oil Company (APOC) berubah menjadi BP, dan Gulf Oil Texaco Esso yang merger dengan Mobil Oil menjadi ExxonMobil. Itulah sekilas nama-nama MNCs yang menguasai jagat energi dunia.

Akan tetapi, dinamika serta perilaku geopolitik membuat mereka tak selamanya lestari, ada yang terus survive hingga kini, melakukan merger, ada pula yang berhenti di tengah jalan, dll sehingga tersisa beberapa. Chevron misalnya, ia merangkul Texaco lalu berubah menjadi CHEVRONTEXACO, dst. Dengan demikian, The Seven Sisters yang semula tujuh MNCs akhirnya tinggal lima, antara lain yaitu ExxonMobil, ChevronTexaco (Chevron Corporation), Shell, BP, dan Gulf Oil.

Namun menurut The Financial Time (FT), media Inggris bidang bisnis dan ekonomi internasional, entah kenapa gelar The Seven Sisters sekarang justru dilekatkan pada MNCs Non Barat seperti China National Petroleum Corporation/ CNPC (Cina), Gazprom (Russia), National Iranian Oil Company/NIOC (Iran), Petrobras (Brazil), PDVSA (Venezuela), Petronas (Malaysia), dan Saudi Aramco (Saudi Arabia). Entah di balik motivasi FT menyebut korporasi Non Barat sebagai The Seven Sisters, belum jelas sampai sekarang. Namun nama-nama dimaksud baik korporasi Barat atau Non Barat telah menancapkan bendera di Indonesia (lihat gambar). Ini belum termasuk kelompok korporasi oil dan gas lainnya seperti Thailand punya, Australia, dll.

Selanjutnya, singkat cerita perihal bagi hasil migas: bila di zaman Bung Karno (BK) mereka boleh menikmati 5% saja, di era Pak Harto naik menjadi 48%. Lalu, kini? Mereka berpesta pora atas SDA Indonesia di atas 90%. Ini yang kini berlangsung dan disyahkan oleh berbagai UU kita.

Demikian juga di ranah pangan, masuknya jaringan empat kartel global yang disebut ABCD yaitu Acher Daniels Midland, Bungo, Cargill, Louis Dreyfus dimana menguasai 90% perdagangan biji-bijian dunia, mengakibatkan struktur pasar berubah oligopolistik. Mereka menguasai benih, pupuk, dll dari hulu hingga hilir di Indonesia. Praktek-praktek curang kartel pangan melalui power uang pun dikerjakan, contoh kecil ketika KPK membongkar kasus impor daging sapi dan ketidakefisienan penyaluran beras miskin. Fakta ini memperlihatkan, bahwa suap impor ialah jenis corruption by design. Dan sekali lagi, fakta sekilas ini mencerminkan bahwa sesungguhnya impor pangan di Republik ini telah dikendalikan oleh mafia yang melibatkan oknum pejabat tertentu dan politisi untuk meraup keuntungan sesaat.

Sekarang kita berbincang aspek ekonomi (dalam Ketahanan Nasional) sebagai sistem yang seyogyanya BERTANGGUNG JAWAB atas berbagai ironi atas terdangkalkannya beberapa aspek dan elemen di atas. Ya. Esensi ekonomi kerakyatan sebagaimana dikatakan dalam pasal 33 UUD 1945 adalah sistem perekonomian yang ditujukan untuk mewujudkan kedaulatan rakyat di bidang ekonomi. Ada tiga prinsip dianut, (1) perekonomian disusun sebagai usaha bersama berdasar azas kekeluargaan; (2) cabang-cabang produksi penting bagi negara dan menguasai hajat hidup orang banyak dikuasai oleh negara; dan (3) bumi, air, dan segala kekayaan yang terkandung didalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan bagi sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Itulah seharusnya.

Akan tetapi dalam praktek di negeri ini tidakah demikian, artinya justru neoliberalisme yang ‘meraja-lela’ daripada sistem ekonomi kerakyatan. Neoliberalisme merupakan sistem perekonomian yang dibangun di atas tiga prinsip. Antara lain (1) pengembangan kebebasan individu bersaing secara bebas di pasar; (2) kepemilikan pribadi terhadap faktor-faktor produksi diakui; dan (3) pembentukan harga pasar bukanlah sesuatu yang alami, melainkan hasil dari penertiban pasar yang dilakukan oleh negara melalui penerbitan UU. Mungkin itulah “biang kerok” atas segala ke-ironi-an (geo) politik selama ini, betapa ekonomi kerakyatan yang harusnya menjadi raja sebagaimana tersurat dalam konstitusi, tetapi malah neoliberalisme yang signifikan mengurai-menciptakan pasar seluas-luasnya.

Sedang dari aspek demografi (kependudukan), agaknya Indonesia hanya diletak sebagai market (pasar) bagi kepentingan neoliberalisme. Negeri berpenduduk hampir seperempat miliar manusia merupakan pasar potensial bagi produk jenis apa saja. Menurut BK, “Imperialisme pasar itu bukan sekedar menguasai pasar dengan komoditi-komoditi pasar yang dijual kepada rakyat negara-negara baru, tetapi imperialisme pasar adalah tindakan-tindakan terukur agar negara yang baru merdeka memiliki ketergantungan aliran modal atas pasar. Untuk melawan itu kita harus melakukan tindakan politik BERDIKARI”.

Berbagai produk luar menyerbu diterima saja, secara tidak langsung telah mengubah cermin atas perilaku rakyat menjadi konsumtif dan hedonis. Pada gilirannya, swasembada dan surplus pangan di era Orde Baru dulu, dimana secara hakiki sudah berdiri di atas kaki sendiri —berdikari— hanya dianggap kisah masa lalu. Hampir tak terlihat hasrat para elit untuk memutar kembali skema berdikari. Kenapa demikian, selain kuatnya pilar neoliberalisme merasuk di segala stratra, juga kemungkinan pola konsumtif dan hedonis telah menjadi salah satu unsur ‘peradaban baru’ di republik tercinta ini.

Tolok ukur kejayaan bangsa memang PERADABAN, sedang parameter (keberhasilan) individu —di Timur— adalah MORAL. Manakala mayoritas warga melihat keberhasilan seseorang sebatas dari sisi KEBENDAAN (hedonis), bukan lagi moral sebagai tolok ukurnya, maka retorik akumultif pada tataran sosial lebih besar adalah, “Apakah sudah terjadi pergeseran peradaban di Bumi Pertiwi?” Mungkin hal ini yang tengah berlangsung.

Apabila gejala riil di negeri ini dibiarkan terus tanpa penolakan, daya tawar serta tidak ada ‘perlawanan’ dari segenap komponen bangsa, maka keniscayaan Indonesia kini dan kedepan, hanya sebatas ajang proxy economic war, sekedar lapangan tempur produk-produk konsumsif, cuma menjadi lokasi peperangan SDA bagi bangsa-bangsa lain di dunia.

Bangkitlah bangsaku!

* Tulisan ini lanjutan dua artikel sebelumnya, berjudul: (1) Membaca Perilaku Geopolitik, dan (2) Geopolitik Antara Dua Karang

Penulis: M Arief Pranoto, Research Associate Global Future Institute (GFI)

Facebook Comments
Social Media Auto Publish Powered By : XYZScripts.com