Gagasan Mengisolasi Rusia dari G20, Lumpuhkan Skema Kerjasama Ekonomi ala BRICS bagi Negara-Negara Berkembang

Bagikan artikel ini

Keputusan Australia melarang keikutsertaan Rusia dalam Konferensi Tingkat Tinggi G20 di Brisbane, Australia, bisa dipastikan akan menurunkan nilai strategis forum tersebut di mata dunia internasional. Jika kita mencermati kembali langkah strategis Rusia pada KTT G20- di St Petersburg, Rusia pada September 2013, Rusia telah mempertunjukkan peran strategisnya sebagai kekuatan penyeimbang di antara G-8 (Persekutuan Strategis Amerika Serikat dan Uni Eropa) dan blok negara-negara berkembang, termasuk Indonesia.

Dalam KTT G20 St Petersburg, Rusia telah mengajukan beberapa agenda strategis yang nampaknya selaras dan seaspirasi dengan kepentingan nasional negara-negara berkembang,termasuk Indonesia. Seperti:
  1. Fokus pada pemulihan ekonomi dan keuangan global yang saat ini sedang sakit.
  2. Merangsang pertumbuhan ekonomi dan penciptaan lapangan kerja.
  3. Menawarkan pertemuan bersama para menteri keuangan dan tenaga kerja guna menilai masalah ekonomi global dari sudut tenaga kerja.
  4. Menyiapkan rencana penyelenggaraan Konforensi terpisah dari para pemimpin BRICS (Brazil, Rusia, Cina dan Afrika Selatan), untuk membahas penguatan peran Blok dalam pembuatan kebijakan International Monetary Fund (IMF).
  5. Mempertimbangkan  kemanfaatan  pertemuan dengan negara-negara non G20, mengadakan konferensi dengan pemuda, masyarakat sipil, komunitas bisnis, serta serikat buruh dari komunitas anggota G20.
Dari kenyataan ini jelaslah bahwa Rusia merupakan motor penggerak pembentukan kekuatan penyeimbang dengan menggalang aliansi strategis dengan negara-negara berkembang berdasarkan skema BRICS.
Sebagaimana kita ketahui bersama, negara-negara yang tergabung dalam G8 adalah Amerika Serikat, Jepang, Kanada, Jerman, Perancis, Inggris, Italia dan Rusia. Jika tanpa Rusia, mereka ini dikenal sebagai G7. Pada perkembangannya kemudian, muncul gagasan pembentukan G20 karena Amerika dilanda krisis ekonomi. Inisiatif mendirikan G20 berasal dari Amerika. Alasannya, Amerika bermaksud membangi beban kesulitan ekonomi dengan negara-negara lain. Dengan demikian, gagasan didirikannya G20 sejatinya merupakan alat yang digunakan untuk menyelamatkan perekonomian G7, khususnya Amerika.
Tapi ternyata, melalui G20 justru menggunakannya untuk membagi beban dengan negara-negara di luar G8. Maka itu, keputusan Rusia pada KTT di St Peterburg September 2013 lalu mencanangkan sebuah konforensi terpisah dari para pemimpin BRICS, karena dipandang sebagai sebuah langkah terobosan yang cukup strategis untuk menetralisasikan dominasi Amerika Serikat dan sekutu-sekutunya yang tergabung dalam G7. Sehingga prakarsa dan peran aktif Rusia melalui forum G20, Rusia akan menjadi motor peggerak untuk menggalang aspirasi dan skema ekonomi tersendiri yang bebas dari orbit pengaruh Amerika dan negara-negara Eropa  Barat yang tergabung dalam G7 yang mendominasi forum G20.
Apalagi dengan kenyataan bahwa dalam konteks strategis, meski Rusia tergabung bersama AS dan Uni Eropa melalui G8, Rusia berada di luar skema persekutuan strategis AS-Inggris maupun negara-negara Eropa Barat yang tergabung dalam Uni Eropa.
Selain daripada itu,  Rusia belakangan ini semakin punya minat dan ketertarikan yang semakin besar degnan kawasan Asia Pasifik. Dalam beberapa decade terakhir, Rusia ikut serta dengan negara-negara tetangga di Asia Pasiik membangun kerjasama multilateral dan integrasi ekonomi. Ini merupakan bukti nyata adanya program  kegiatan lintas perbatasan (Cross Border Project) dengan mitra strategis dari negara-negara di kawasan Asia. Seperti proye rel kereta api yang menghubungkan Moskow dengan kawasan Timur Jauh Rusia dan Laut Jepang. Yang menembus juga Cina dan Korea Utara melalui rel kereta api lintas perbatasan Korea (Inter-Korean Railway).
Bukan itu saja. Rusia juga telah menyetujui rencana eksplorasi pipa gas melalui Korea Utara, yang bertujuan untuk memasok gas Rusia ke Korea Selatan. Melalui serangkaian proyek lintas perbatasan ini, bisa dipastikan akan semakin meningkatkan nilai strategis Rusia secara geopolitik di kawasan Asia Pasifik. Karenanya, sungguh sulit dimengerti dan amat disayangkan jika Indonesia tidak memanfaatkan nilai strategis Rusia di kawasan Asia Pasifik untuk kepentingan nasional Indonesia, khususnya dalam bidang ekonomi dan perdagangan.
Berkaitan dengan hal itu, maka gagasan untuk mengucilkan dan mengisolasi Rusia dari forum G20 sebagaimana yang dilontarkan oleh Australia, pada perkembangannya akan melumpuhkan skema kerjasama ekonomi antar negara-negara berkembang berdasarkan skema BRICS yang tentunya mensyaratkan keterlibatan dan peran aktif Rusia sebagai pemrakarsa dan motor penggerak munculnya kekuatan penyeimbang dari negara-negara berkembang dalam menghadapi dominasi dan pengaruh kuat AS-Uni Eropa di forum G20.
Kalau dasar pertimbangan Australia untuk mengucilkan Rusia atas dasar campur tangannnya di Ukraina dalam mendukung warga masyarakat pro Rusia di negara eks Uni Soviet tersebut, sepertinya juga tidak cukup beralasan. Beberapa hari yang lalu, Presiden Vladimir Putin sudah mempertunjukkan itikad baik untuk menyelesaikan krisis Ukraina. Kunjungan Putin ke Milan untuk mengadakan pertemuan dengan Presiden Ukraina Petro Poroshenko, patut mendapat apresiasi yang setinggi-tingginya, untuk mencegah agar Ukraina tidak akan terjerumus dalam situasi yang lebih buruk.
Karena itu, langkah strategis Putin untuk bersedia berunding mencari solusi mengatasi krisis Ukraina, sudah selayaknya disikapi secara positif oleh AS dan Uni Eropa sebagai langkah maju Putin dan niat baik Rusia untuk menciptakan perdamaian yang menguntungkan semua pihak. Apalagi Putin diyakini punya pengaruh besar atas kelompok perlawanan Republik Rakyat Donetsk yang ingin memisahkan diri dari Ukraina, dan bergabung dengan Rusia.

Penulis  adalah Peneliti Geopolitik Global Future Institute (GFI)

Facebook Comments
Social Media Auto Publish Powered By : XYZScripts.com