Jokowi dan Facebook

Bagikan artikel ini

Sofyan Ahmad

Presiden terpilih Jokowi memang semakin hari semakin terbukti marketable dan ramah pasar, memang seperti itulah seharusnya Presiden NKRI: heboh dipuja-puji Barat sebagai pemimpin yang demokratis dan populis. Memang, apabila menilik pada sejarah negara ini, dipastikan siapapun yang tidak disukai pasar dan Barat, pasti tidak akan menjadi orang nomor satu di Republik ini. Bahkan ketika sudah duduk di tampuk kekuasaan pun, apabila Barat/Pasar sudah tidak menyukai pemimpin kita, mereka akan menjatuhkannya melalui satu operasi intelijen yang disebut “gerakan demokrasi/reformasi”, istilah kerennya “People Power”. Apa yang dialami Soekarno dan Soeharto di akhir masa jabatannya membuktikan hal tersebut.

Kehadiran Mark Zuckerberg ke Indonesia memperkuat premis saya jika Jokowi memang sosok yang dipasarkan secara sempurna di dunia maya, berita, dan media-media besar. Dialah kandidat Presiden pertama Indonesia yang mampu merogoh kocek Rp. 8 milyar/hari demi iklan di halaman pertama Facebook.Dari berita-berita yang beredar resmi, disebut-sebut jika Zuckerberg akan membantu pemerintahan Jokowi mengembangkan pembayaran pajak dengan menggunakan sistem teknologi berbasis internet (liputan6.com).

Sementara menurut Metrotvnews.com, ada enam agenda pertemuan tersebut, yaitu :
1. Menyampaikan selamat kepada Jokowi selaku presiden terpilih.

2. Menyampaikan apresiasi atas pemanfaatan aplikasi Facebook dalam proses demokrasi pada generasi pemilih pemula yang sadar pemanfaatan akses internet.

3. Menyampaikan maksud Facebook untuk terus mendukung Jokowi dalam tata kela pemerintahan dan penyerapan aspirasi masyarakat dengan solusi akses internet yang terjangkau

4. Facebook akan bekerja sama dengan pemerintah di bawah kepemimpinan Jokowi dalam memperluas penetrasi internet di Indonesia, termasuk membantu memberikan solusi untuk kendala infrastruktur dasar penyediaan akses internet dan efisiensi data cost

5. Facebook mendukung upaya pemerintah dalam meningkatkan pertumbuhan ekonomi yang berbasis knowledge (knowledge based economy/digital economy) dengan memaksimalkan pemanfaatan internet dan teknologi pada start up business

6. Akan melakukan sinergi program inisiatif global yang digagas Facebook, yaitu Internet.org dengan program e-blusukan yang diinisiasi Jokowi.

Yang menarik disini yaitu, apa yang menjadi ikatan dan niat dari pertemuan itu? Mengingat dalam sejarahnya, Facebook tidak pernah dapat lepas dari DARPA (Defense Advanced Research Projects Agency) – lembaga riset pertahanan Amerika. Maka wajar jika kemudian saya pun bertanya, adakah diantara rombongan Zuckerberg itu terselip representasi dari DARPA yang ikut bertemu Jokowi dan kawan-kawan?

Bidang spesialisasi DARPA yaitu data mining (penggalian data), pemerintah Amerika berusaha mencari social pattern dari masing-masing warga negaranya seperti: maskapai apa yang sering mereka gunakan, kemana saja mereka pergi, apa yang mereka lakukan, dengan siapa saja mereka berhubungan, buku atau film apa saja yang mereka baca/lihat, dan banyak lagi. Didukung oleh server yang mampu menampung lalu-lintas data ribuan giga bytes per menit, data mining seolah hal sepele bagi DARPA.

Zuckerberg, Peter Thiel, dan DARPA
Kecurigaan berawal dari rasa penasaran, darimana dana yang diperoleh Mark Zuckerberg untuk membeli domain facebook.com (FB) senilai $200.000 ? Bukan hal mudah bagi mahasiswa seperti dia memperoleh dana besar untuk membeli sesuatu yang tidak berhubungan dengan urusan kuliah, dan itu hanya terjadi jika dirinya mendapatkan bantuan dana dari fihak ketiga.

Zuckerberg pada tahap pertama menerima modal sebesar $ 500.000 dari mantan CEO Paypal.com, Peter Thiel, ketika Zuckerberg bersama dua rekannya, Chris Hughes and Dustin Moskowitz menemui Thiel di San Fransisco tahun 2004 tidak lama setelah ketiganya meluncurkan Facebook. Thiel tercatat sebagai penulis buku tebal yang sangat anti-multikultural The Diversity Myth, dan anggota dewan pimpinan kelompok radikal konservatif VanguardPAC.

Peter Thiel juga mendirikan Palantir Technologies, sebuah perusahaan yang menyediakan analisis dan alat informatika untuk pemerintah dan perusahaan-perusahaan besar. Palantir disebut terlibat dalam perang cyber terhadap Wikileaks dan pendukungnya atas perintah Bank of America. Dari beberapa sumber berbeda, telah ditemukan bahwa Palantir dan perusahaan lainnya yang disewa oleh Kamar Dagang AS agar “mengembangkan taktik untuk merusak kelompok-kelompok progresif dan serikat buruh, khususnya ThinkProgress, koalisi buruh yang disebut Change to Win, SEIU, US Chamber Watch, dan StopTheChamber.com.

Pencarian dana putaran kedua Facebook sebesar US$ 12.7 juta berasal dari perusahaan pemodalan Accel Partners. Manajernya, James Breyer pernah menjabat Ketua Asosiasi Modal Ventura Nasional (National Venture Capital Association – NVCA) dan menjadi anggota dewan direksi bersama Gilman Louie, CEO dari In-Q-Tel, sebuah perusahaan modal ventura yang didirikan CIA pada tahun 1999. Salah satu bidang keahlian utama In-Q-Tel yaitu teknologi pengumpulan data (Data Mining Technology). Disebutkan missi In-Q-Tel yaitu “Menjembatani kesenjangan antara kebutuhan teknologi Komunitas Intelijen dengan kemajuan baru dalam teknologi komersial.” Breyer juga menjabat di bagian R&D BBN Technologies, yang merupakan salah satu dari perusahaan yang turut mempelopori munculnya internet.

Salah satu senior Gilman Louie di In-Q-Tel adalah Dr Anita Jones, yang juga menjabat Direktur Penelitian dan Teknik Departemen Pertahanan Amerika Serikat (AS). Anita Jones pun adalah penasehat Menteri Pertahanan AS yang mengawasi Defence Advanced Research Projects Agency (DARPA), lembaga yang bertanggung jawab dalam pengembangan teknologi tinggi.

Salah satu bagian DARPA di bawah Jones adalah Information Awareness Office(IAO), yang dibentuk “untuk melacak dan memantau teroris maupun ancaman lainnya dengan menggolkan Total Informastion Awareness (TIA) sebelumnya bernama Terrorism Information Program. Selain TIA, CIA memiliki proyek sejenis yaitu TIPS (Terrorism Information and Prevention System). Untuk mencapai tujuan ini, diciptakan sebuah database besar yang akan melacak email, jejaring sosial, dan lainnya. Tahun 2003, proyek ini bocor dan mengundang protes publik, Kongres pun mengadakan sidang dan rapat dengar pendapat yang berakhir dengan pemutusan bantuan dana kepada IAO. Walaupun telah kehilangan dana dan secara resmi dihentikan, proyek TIA tetap berjalan dalam berbagai bentuk dan nama-nama yang samar.

Pendanaan putaran terbaru Facebook berasal dari sebuah perusahaan bernama Greylock Venture Capital, yang mencarikan dana sebesar $27.5 juta. Salah seorang mitra senior Greylock adalah Howard Cox, yang juga mantan dewan direksi NVCA, dan duduk dalam jajaran direksi In-Q-Tel.

Beberapa kali Zuckerberg dengan facebooknya menerima kucuran dana melimpah dari perusahaan-perusahaan yang pimpinannya atau orang-orang penting di dalamnya memiliki keterkaitan dengan In-Q-Tel. Jelas ini bukan kebetulan, In-Q-Tel tentu melihat adanya potensi yang sangat tinggi dari Facebook, baik secara sosial, ekonomi, maupun politik.

Information Awareness Office (IAO) DARPA

Sejumlah jurnalis yang berhasil mengangkat isu proyek IAO (Information Awareness Office) DARPA dan mendapat respon kekhawatiran masyarakat terhadap proyek-proyek pengumpulan informasi yang dilakukan pemerintah, terutama badan intelijen.

Halaman IAO di Wikipedia menjelaskan : “IAO memiliki misi untuk mengumpulkan informasi sebanyak mungkin tentang semua orang, di lokasi yang terpusat, agar pembacaan lebih mudah oleh pemerintah Amerika Serikat, termasuk aktivitas internet, sejarah transaksi kartu kredit, pembelian tiket pesawat, penyewaan mobil, catatan medis, transkrip pendidikan, izin mengemudi, tagihan listrik, pajak, maupun data lain yang tersedia.”

Tidak mengherankan, proyek itu mendapat reaksi dari aktivis hak-hak sipil dan menghasilkan penyelidikan Kongres terhadap aktivitas DARPA, dan mengentikan pendanaan IAO.

Kini teori teori konspirasi berkembang dan mencurigai Facebook sebagai mantel baru proyek IAO itu.

Bagian dari teknologi IAO berupa analisis jaringan manusia dan mesin pembangun model perilaku dimana Facebook memiliki volume besar data yang sesuai dengan tujuan pengumpulan informasi tersebut.

Ini diperkuat oleh persyaratan Facebook sendiri, yang menyatakan: “Dengan memposting konten anggota ke setiap bagian dari situs Web, Anda secara otomatis memberikan, Anda mewakilkan dan menjaminkan bahwa Facebook memiliki hak memberikan – yang tidak dapat ditarik kembali, abadi, non-eksklusif, pemindah tanganan, berbayar penuh, dan lisensi untuk menggunakan, menyalin, menampilkan, memformat ulang, menerjemahkan, mengutip dan mendistribusikan informasi ataupun konten dan aktivitas turunan dari, atau yang berkaitan dengan kegiatan anggota lainnya, informasi dan konten seperti demikian, untuk diberikan dan diwewenangkan sublisensi dari hal tersebut.”

Dan yang sama menariknya, dalam kebijakan privasi, situs itu menyatakan “Facebook juga dapat mengumpulkan informasi tentang Anda dari sumber lain, seperti koran, blog, layanan pesan cepat, dan pengguna Facebook lainnya dari seperti melalui pengoperasian layanan (misalnya tag foto), dalam rangka memberikan informasi lebih bermanfaat dan personalisasi pengalaman. Dengan menggunakan Facebook, Anda setuju jika data pribadi Anda ditransfer ke dan diproses di Amerika Serikat.”

DARPA Menggunakan Facebook untuk Mengasah Skill Propaganda

DARPA telah mengucurkan jutaan dolar ke dalam studi menganalisis penggunaan media sosial. Sepanjang penelitian mereka, DARPA telah menggunakan data dari jaringan sosial termasuk Facebook, Twitter, Pinterest, termasuk Reddit dan Kickstarter untuk mempengaruhi psikologi sosial. Dalam laman resminya darpa.mil, riset ini termasuk dalam program Social Media in Strategic Communication (SMISC) yang bertujuan tidak hanya membantu mencegah negara dari “strategic surprise”, tetapi juga membantu “operator melawan informasi yang salah atau kampanye desepsi dengan informasi yang benar.”

Menurut Rand Waltzman (manajer SMISC), penelitian terutama difokuskan pada pemeriksaan isyarat-isyarat linguistik, pola arus informasi, dan deteksi sentimen atau pendapat dalam informasi yang menyebar di seluruh platform media sosial.

Penelitian telah diujicobakan pada Facebook baru-baru ini dengan cara memanipulasi News Feeds, meskipun DARPA pada dasarnya menggunakan data yang tersedia untuk umum untuk tujuan analisis. Beberapa penelitian melibatkan relawan (pengguna FB) yang tidak sadar ketika ada publikasi “tidak biasa” atau bahkan palsu di timeline/wall-nya.

Riset itu memunculkan praduga jika DARPA berkeinginan memahami bagaimana media sosial bekerja agar mereka mampu memanipulasinya dimasa yang akan datang. Setelah semuanya, media sosial dapat digunakan dengan licik sebagai alat propaganda yang mudah menyebar seperti virus.

Sejak didirikan pada tahun 2011, SMISC telah dicurigai melakukan aktivitas-aktivitas tersembunyi, tetapi Waltzman berdalih jika programmya itu untuk “mengembangkan ilmu-pengetahuan terkini mengenai jaringan sosial yang dibangun di atas basis teknologi baru.” Kalimat ini jelas-jelas dapat ditafsirkan berbeda, tetapi tidak mungkin DARPA hanya membangun sebuah database statis tanpa benar-benar mengembangkan sarana untuk menggunakannya demi keuntungan mereka dalam satu atau beberapa cara.

Contohnya, DARPA telah melakukan studi yang panjang termasuk satu meneliti bagaimana aktivis Occupy Movement (OM) menggunakan Twitter untuk mengorganisir diri dan menganalisis penyebaran informasi antara aktivis OM dengan orang-orang yang mengaku tinggal di Timur Tengah.

Sekali lagi, DARPA berdalih penelusuran mereka itu karena beberapa orang diantara aktivis OM (terutama yang di Timur Tengah) berpotensi dapat membahayakan Amerika Serikat.

Dari sini kita patut merasa khawatir dengan moda pengumpulan data dan analisa yang dimiliki DARPA-Facebook, terlebih jika dikaitkan dengan bocoran Snowden yang mengatakan jika NSA (National Security Agency) dan GCHQ (Government Communications Headquarters) sangat mampu memanfaatkan sosial media menggunakan perangkat yang mereka buat sendiri untuk kepentingan intelijen.

Jadi, bagi saya yang dilatih tidak melulu percaya pada berita resmi dan apa yang tampak, sebagai warga negara dan manusia yang merdeka, saya merasa agenda Jokowi-Zuckerberg bukan sekedar pembangunan internet. Ingat, jumlah pengguna facebook di Indonesia sangat besar, ini dapat dikapitalisasi dan dipolitisasi dengan mudah.

Dikapitalisasi dalam arti mereka merupakan target pasar yang menggiurkan, dipolitisasi juga bermakna masyarakat akan disuguhi monolog-monolog tentang “kebenaran” yang dipublikasikan secara teratur oleh pemerintah yang akan datang demi terbentuknya penjinakkan sosial budaya masyarakat.

Belum lagi penetrasi facebook akan memperberat budaya hedonisme masyarakat yang rasa-rasanya akan semakin kehilangan kelamin perubahannya.

Facebook Comments
Social Media Auto Publish Powered By : XYZScripts.com