Membaca Motivasi Munculnya DPR Tandingan: Ancaman NKRI? Sebuah Catatan

Bagikan artikel ini

Kusairi, Pemerhati Politik

Munculnya deklarasi “DPR tandingan” telah menjadi “lelucon” yang tidak lucu di republik ini. Secara awam munculnya konflik yang berujung pada deklarasi DPR tandingan karena kubu Koalisi Indonesia Hebat (KIH) merasa “dipecundangi” oleh Koalisi Merah Putih (KMP), lantaran kalah bersaing dalam perebutan kursi pimpinan komisi. Padahal apabila ingin membentuk DPR tandingan, seharusnya itu dapat dilakukan pada saat mereka (KIH) kalah bersaing dalam perebutan kursi piminan DPR dan juga pimpinan MPR. Nyatanya hingga selesai pelantikan Presiden/ Wapres Jokowi-JK, suasana politik tampak kondusif dan cair. Artinya, dominasi KMP di kursi DPR maupun MPR dinilai tidak ada masalah. Sehingga perlu ditelisik apa sesungguhnya yang menjadi motivasi dari “lelucon” itu.

Pertanyaannya, benarkah motivasinya hanya itu? Kenapa hal ini muncul saat mereka dinyatakan kalah (lagi) dalam “pertarungan” memperebutkan posisi pimpinan komisi dan usai Presiden/Wapres Jokowi-JK mengumumkan kabinetnya? Adakah ini karena imbas kekecewaan terhadap kebijakan internal (elit/ketua umum) partai terhadap rekomendasi nama-nama yang akhirnya mengisi kursi kabinet Jokowi-JK? Sehingga, deklarasi DPR tandingan itu sesungguhnya hanya akumulasi kekecewaan politik terhadap kebijakan internal partai karena kalah bersaing di kabinet. Atau bisa juga lantaran akan mendapatkan peluang gagal dalam “mengawal” kegiatan pengalokasian anggaran pembangunan (APBN) di DPR? Mengingat kegiatan “pengawalan” itu sesungguhnya, telah menjadi rahasia umum, sebagai sebuah upaya partai mendapatkan dana-dana politiknya (baca:logistik) lewat kader-kadernya di DPR maupun pemerintahan.
Secara teori, konflik sesungguhnya dapat muncul sebagai akibat dari adanya kelangkaan politik dan ekonomi (political and economical scarcity). Kelangkaan politik untuk merujuk pada terbatasnya sumber-sumber kekuasaan terhadap banyaknya minat orang atau kelompok orang di dalam kekuasaan. Sementara ekonomi terkait dengan terbatasnya orang atau sekelompok orang dalam memanfaatkan atau menggunakan sumber-sumber ekonomi yang ada, baik untuk kepentingan diri maupun kelompoknya.
Kelangkaan Politik
Kita mengetahui, sebelum Presiden Jokowi secara resmi mengumumkan anggota kabinetnya, terdapat beberapa nama yang muncul ke publik sebagai kandidat menteri.. Di antaranya yang cukup populer ada nama Pramono Anung (PDIP), Abdul Kadir Karding (PKB), maupun Patrice Rio Capella (Nasdem). Bahkan nama-nama seperti Pramono Anung, disebut menjadi kandidat kuat menteri ESDM maupun sekneg. Sementara Patrice Rio Capella, disebut-sebut akan mengisi kementerian Kominfo mewakili Nasdem.
Tentu timbul pertanyaan, kenapa nama-nama seperti Pramono Anung, akhirnya kalah bersaing dengan Cahyo Kumolo dan Megawati memilih tidak merekomendasikannya menjadi kabinet Jokowi. Demikian juga dengan nama Rio Capella, yang akhirnya harus “merelakan” posisinya digantikan dengan misalnya, Ferry Mursyidan Baldan. Walaupun akhirnya Ferry harus mengisi jabatan di Menteri Agraria dan Tata Ruang. Padahal sebelumnya santer diberitakan akan mengisi jabatan sebagai Menkominfo, misalnya.
Bagi seorang Pramono, tentu tidak mudah menerima kenyataan politik seperti ini. Pramono yang dikenal sebagai loyalis Megawati akhirnya tidak mendapatkan jatah kursi. Padahal, saat SBY masih berkuasa pun sebenarnya isu terkait Pramono akan ditempatkan sebagai Menteri ESDM sempat muncul ke permukaan sebagai bagian dari upaya membangun koalisi antara SBY (Demokrat) dengan Megawati (PDIP). Tetapi sikap “kaku” dan “keras” Megawati akhirnya memupuskan harapan itu.
Dalam postur kabinet sekarang, posisi Pramono terpaksa juga harus terhimpit dengan kehendak Jokowi yang “ngotot” menempatkan orang bawaannya, Pratikno, mantan Rektor UGM sebagai Sekneg dan usaha Jokowi untuk menata kementerian ESDM dengan orang-orang yang dinilai “bersih” atau memiliki rekan jejak yang lebih “mumpuni” di kementerian yang banyak mendapat sorotan itu. Sementara untuk posisi lain boleh dibilang sudah “full booking” dan banyak antrian.
Di sisi lain, Megawati sendiri agaknya kurang “ngotot” memperjuangkan nasib Pramono. Kesempatan terakhir bagi Pramono tentu saja berkiprah di DPR. Namun apa lacur, kekuatan politik KIH kalah kuat dengan KMP. Sehingga akumulasi kekecewaan politik seorang Pramono menemukan momentumnya pada pemilihan pimpinan komisi kemarin (29/10), yang tidak satu pun menyisahkan untuk orang-orang KIH. Sehingga dimensi kelangkaan politik ini yang pada akhirnya memunculkan DPR tandingan di bawah Pramono Anung dapat dipahami.
Kelangkaan Ekonomi
Tidak dapat dipungkiri, faktor ekonomi demi memberikan dana-dana politik segar bagi kegiatan partai juga menjadi motivasi partai politik menempatkan orang-orangnya dalam kursi kabinet maupun lembaga legislasi. Kalau dalam kabinet, kementerian memiliki pengaruh dalam menetapkan kebijakan sebuah kegiatan departemen, yang ujung-ujungnya ada “jatah” untuk kementerian, sementara fungsi di legislasi adalah melakukan “pengawalan” agar pos pendanaan itu dapat disetujui sesuai usulan kementerian. Jadi ketika tidak ada pihak atau kekuatan yang mengawal di lembaga legislasi, maka boleh dibilang dana-dana politik di pos kementerian itu bisa mengalamai hambatan.
Seperti diketahui, kriteria orang-orang yang akan mengisi pos kementerian kabinet Jokowi-JK adalah mereka yang berasal dari profesional partai (fungsionaris) dan profesional. Namun ternyata, profesional yang dimaksud adalah mereka yang harus atau berani memberikan kontribusi “sejumlah tertentu” dan berani berkomitmen mengeluarkan dari pos APBN “sejumlah tertentu”. Di samping itu juga mereka-mereka yang mendapatkan rekomendasi dari partai tertentu, baik partai di KIH maupun KMP.
Mungkin agak aneh kalau kita mengatakan KMP. Mengingat koalisi tersebut adalah koalisi di luar pemerintahan. Tetapi pada kenyataannya, ada beberapa nama yang muncul dan direkomendasikan dari orang-orang anggota partai KMP. Walapun secara politik mereka tetap bersebarangan dengan pemerintah (KIH). Karena ada satu informasi, seorang profesional, yang namanya sering disebut bakal mengisi jabatan di pemerintahan dan telah direkomendasikan oleh anggota partai KMP tapi lantaran mahar yang diminta PDIP cukup besar, mencapai angka 2 digit, dan harus berkomitmen untuk “menyisikan” APBN, kandidat itupun akhirnya memilih mundur. Inilah kenyataan politik hari ini. Lain di mulut lain di hati, lain di media dan lain di “belakang meja”.
Dari penelisikan singkat ini, agaknya kita dapat mengambil kesimpulan bahwa sesungguhnya motivasi dari munculnya DPR tandingan bukan semata-mata lantaran kalah dalam perebutan kursi pimpinan komisi. Tetapi secara subyektif muncul karena adanya kekecewaan dari internal anggota partai yang duduk di kursi DPR terhadap kebijakan elit atau ketua umum partainya. Apalagi nama-nama yang masuk jajaran pimpinan DPR tandingan itu, pernah menjadi nominasi kabinetnya Jokowi-JK. Sementara secara obyektif dapat dilihat, munculnya kekecewaan politik yang berujung pada DPR tandingan itu lantaran partai kemungkinan gagal, atau sulit mengawal dana-dana politiknya sebagai amunisi, atau logistik untuk menghidupi mesin partai.
Tentu saja akibat buruknya, apabila Negara gagal menjembatani konflik yang berakibat pada “pembelahan politik” ini dapat mengancam disintegrasi bangsa dan distorsi kontitusi. Karena bisa saja, KMP sebagai kubu yang berseberangan dengan KIH, secara resisten mendeklarasikan diri pemerintahan tandingan. Seloroh itu pun kini sudah mulai muncul.
Jadi kita berharap para elit politik dapat menahan diri dari nafsu berkuasa agar kepentingan politik ini tidak menjerumuskan bangsa ke arah disintegrasi sosial dan politik yang akan mengancam keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Karenan sesungguhnya keberadaan KMP dan KIH ini dapat berimplikasi positif jika diarahkan untuk membangun bangsa dengan prinsip-prinsip check and balancing system yang baik ke arah demokrasi yang lebih berperadaban.
Facebook Comments
Social Media Auto Publish Powered By : XYZScripts.com