Ironi Pembaharuan

Bagikan artikel ini

Nurman Diah, Wartawan Senior

Revolusi. Coup d’état. Perang. Reformasi. Apa pun namanya. Semua dilakukan untuk perubahan. Mengganti era yang usang, dinasti korup yang terlalu lama berkuasa. Ideologi yang tak kunjung membawa hasil.

Semua membawa janji pembaharuan bagi kehidupan berbangsa dan bernegara. Dimulainya bab baru sejarah bagi negara di mana kejadian itu berlangsung.Harapan lahirnya kehidupan yang lebih baik bagi rakyat.

Langkah awal,biasa dimulai dengan meletakkan landasan baru tatanan negara. Pemerintahan baru yang diisi oleh para elit baru pula. Lahirnya konstitusi baru yang menjamin kebebasan individual dan hak haknya. Mencoret dan membuang ke keranjang sampah semua yang membungkus pasal pasal kedaulatan rakyat dengan prakondisi.

Lazim karenanya pasal pasal konstitusi baru mengisyaratkan tegaknya demokrasi. Dipilihnya pemerintah oleh rakyat dari rakyat untuk rakyat melalui pilihan terhadap partai atau individu yang memimpin pemerintahan.Adanya pemilahan kekuasaan- “the separation of power” dan dijaminnya institusi pers yang bebas. Tiada lagi ruang untuk kekuasaan absolut.

Demokrasi lahir dan besar di Barat. Juga atas dasar ketidak puasan terhadap kekuasaan mutlak dinasti feudal bangsawan yang didukung saudagar-saudagar pemodal yang diberi monopoli untuk bidang usahanya. Dengan demokrasi tiada lagi kemungkinan kekuasaan bisa di satu tangan, apa lagi turun temurun.

Dari konsep yang simplistis ini diharapkan rakyat bisa mengisi harapannya mensejahterakan diri dengan memilih individual atau partai yang bisa mewakili aspirasinya. Setidaknya jika harapan itu tak kunjung berwujud, rakyat dipersilahkan untuk mengganti pilihannya kelak pada pemilihan umum mendatang yang pasti harus dilakukan secara periodik. Tiada lagi penjara menunggu mereka.

Begitu indah bunyinya. Tidak selalu begitu bentuk aslinya. Demokrasi-Barat-banyak disalah tafsirkan. Kebebasan menjadi absolut apalagi jika dilakukan berramai ramai. Ini namanya demokrasi “by the mob“. Anarki . Kini tontonan sehari hari.

Law enforcement” hampir tidak berlaku umum. Kecuali ada uang. Padahal ini salah satu sendi utama demokrasi. Keadilan hanya tersedia bagi yang punya uang.

Konsep pemilahan kekuasaan diartikan sebagai bagi bagi kekuasaan. Judikatip, legislatip, eksekutip jalan sendiri sendiri. Masing-masing buka jendela setoran. Korupsi meraja lela bak virus influenza. Satu kena menyambar semua. Fungsi “check and balances” macet total.

Demokrasi Barat mahal, hanya yang berduit bisa ikut main. Uang membeli kekuasaan. Serupa dengan ketika dinasti bangsawan dulu yang berkuasa absolut. Para saudagar pemodal tetap pemegang kendali sebenarnya. Hanya saja, mereka kini meminjam nama rakyat untuk menempatkan bonekanya. Seperti biasa, ada demokrasi atau tidak, kaum elit yang akan pasti mendapat porsi kue yang lebih besar. Rakyat kebagian bungkusnya saja.

Ini lah ironi pembaharuan. Yang diinginkan suatu yang baru, yang didapat barang lama dengan bungkus baru. Serupa tapi tidak sama. Hanya yang pandir yang tak dapat membedakan. Kasihan.

Facebook Comments
Social Media Auto Publish Powered By : XYZScripts.com