Melanjutkan catatan terdahulu yang bertajuk: “Membaca Isu Rokok Mahal dan Tax Amnesty dari Perspektif Perang Asimetris,” diakhir tulisan sengaja digantung (retorika) guna memantik daya intiutif dan imajinatif pembaca tentang apa agenda dan skema lanjutan pasca isu ditebar pada ruang publik. Ini memang tahapan pola dalam konsepsi asymmetric warfare atau peperangan nirmiliter yang selama ini berlangsung di berbagai belahan dunia. Ketika tak ada feed back (umpan balik) signifikan, entah malu, atau ragu-ragu, takut salah, dan lain-lain maka hal ini justru mendorong penulis ingin melanjutkan apa prakiraan tahapan berikutnya, yaitu tahap “tema/agenda” dan tahap “skema (kolonialisme)” terkait isu rokok mahal serta tax amnesty (pengampunan pajak).
Tak ada maksud menggurui siapapun, terutama para pakar dan pihak yang berkompeten. Kajian ini, selain sharing wawasan (bukan cuma berbagi kedalaman semata), juga untuk membuka benak kita sesuai asumsi tulisan terdahulu, ”Bahwa konflik lokal merupakan bagian dari konflik global.”
Dalam perspektif tertentu, konflik lokal bukanlah faktor tunggal yang berdiri sendiri, akan tetapi merupakan bagian dari sebuah skenario global yang tengah dijalankan oleh invesible hand (tangan-tangan tersembunyi). Inilah yang kerapkali terjadi. Makanya, di ranah (geo) politik berkembang istilah “test the water,” melihat reaksi publik atas isu yang telah ditebar, atau memancing feed back, dan lain-lain.
Selanjutnya, seandainya substansi artikel ini terdapat perbedaan baik arti, maksud, pendapat maupun maknanya, mohon dimaklumi bersama. Adanya perbedaan analisa nantinya, anggaplah sebagai kewajaran yang perlu didiskusikan lebih dalam untuk mengurai hakiki kebenaran, jangan malah memunculkan saling curiga, syak wasangka, apalagi sampai memunculkan permusuhan. Janganlah.
Saya mengawali dengan skema (kolonialisme apapun) melalui asymmetric warfare yang selalu dan selalu berujung pada penguasaan ekonomi dan pencaplokan SDA negara yang ditarget.
Pada tulisan terdahulu dinyatakan, bahwa skema atau tahapan akhir peperangan asimetris senantiasa berlabuh pada Structural Adjusment Programmes (SAPs)-nya International Moneter Fund (IMF), antara lain yaitu:
(1) perluas kran impor dan adanya aliran uang yang bebas; (2) devaluasi; dan (3) kebijakan moneter dan fikal dalam bentuk: pembebasan tarif kredit, peningkatan suku bunga kredit, penghapusan subsidi, peningkatan pajak, kenaikan harga kebutuhan publik.
Kenapa memang dengan SAPs-nya IMF? Ini tak lepas dari ideologi yang dianut oleh IMF yaitu neo-liberalisme (neolib). Menurut Giersch (1961), neolib adalah sebuah sistem perekonomian yang dibangun atas tiga prinsip, antar lain adalah: (1) tujuan utama ekonomi liberal adalah pengembangan kebebasan individu untuk bersaing secara bebas-sempurna di pasar; (2) kepemilikan pribadi terhadap faktor-faktor produksi diakui; dan (3) pembentukan harga pasar bukanlah sesuatu yang alami, melainkan hasil dari penertiban pasar yang dilakukan oleh negara melalui penertiban undang-undang.
Merujuk tiga prinsip Giersch di atas, bahwa peran negara dalam neolib dibatasi hanya pengatur dan penjaga bekerjanya mekanisme pasar. Akan tetapi dalam perkembangannya —sesuai paket Konsensus Washington— maka peran negara ditekankan kepada empat hal, antara lain: (1) pelaksanaan kebijakan anggaran ketat, termasuk penghapusan subsidi; (2) liberalisasi sektor keuangan; (3) liberalisasi perdagangan; dan (4) pelaksanaan privatisasi BUMN (Stiglitz, 2002).
Tak boleh dielak, bahwa muara dari prinsip-prinsip ekonomi neolib dan Konsensus Washington sesuai penjelasan Giersch dan Stiglitz di atas, tak lain dan tak bukan adalah SAPs-nya IMF dimana butiran-butirannya telah disebut di muka tadi.
Dari diskusi singkat di atas, bahwa varian terbaru mashab neolib itu ada (being), nyata (reality), dan berada (existence) dalam SAPs-nya IMF. Dan sudah barang tentu, ia merupakan instrumen sakti bagi IMF untuk mengendalikan negara-negara pengutang. Inilah SUMBER dari segala sumber asymmetric warfare melalui pintu “Kebijakan Negara.” Dan sekali lagi, itulah bentuk peperangan asimetris yang sulit diraba —selain bentuk pertama ialah gerakan massa— sebagaimana diulas pada tulisan terdahulu (baca: Membaca Isu Rokok Mahal dan Tax Amnesty dari Perspektif Perang Asimetris, atau bila ingin lengkap, silahkan baca kembali: Mengenal Perang Asimetris: Sifat, Bentuk, Pola dan Sumbernyadi Web Global Future Institute, Jakarta).
Merujuk uraian di atas, terbaca bahwa skema (kolonialisme) yang digelar oleh asing atas isu-isu rokok mahal yang ditebar ke publik berujung pada beberapa butiran dalam SAPs-nya IMF yakni: kenaikan harga kebutuhan publik (butir ke 2) dan perluas kran impor (butir ke 1 SAPs).
Tak dapat dipungkiri, isu rokok mahal niscaya akan berujung pada kenaikan harga kebutuhan publik mengingat jumlah perokok di Indonesia relatif besar. Menurut Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) tahun 2008, ada 68-an juta perokok aktif di Indonesia. Diperkirakan kini mencapai 70-an juta perokok menghabiskan sekitar 250 miliar batang/per tahun. Diperkirakan akan terus meningkat setiap tahun. Indonesia adalah pasar menggiurkan bagi industri-industri rokok di dunia. Dengan demikian, kenaikan harga kebutuhan publik menjadi keniscayaan, mengingat rokok —bagi si perokok tentunya— hampir seperti kebutuhan sembilan bahan pokok atau sembako. Pertanyaan lanjut, bagaimana dengan butiran ke 1 SAPs-nya IMF yakni perluas kran impor terkait isu rokok mahal?
Kenaikan harga rokok otomatis akan mengurangi produksi karena berkurangnya daya beli masyarakat. Dan konsekuensi logis berikutnya (multiplayer effect) ialah hancurnya petani tembakau di Indonesia karena pasar semakin sempit kian mengecil mengingat dunia industri rokok mengurangi produksinya. Juga adanya “himbauan” baik dari kaum akademisi, pegiat antirokok, lembaga swadaya masyarakat (LSM), dan lain-lain bahkan himbauan dari pemerintah sendiri agar petani tembakau beralih fungsi tidak lagi menanam tembakau. Disini bisa terbaca, bahwa tema atau agenda dalam asymmetric warfare adalah: “Pasokan tembakau berkurang, atau tembakau langka.”
Dengan demikian —meski agak samar-samar— namun sudah dapat dibaca pola peperangan asimetris ini, bahwa ISU rokok mahal ternyata ber-TEMA: “Tembakau langka” dan ber-SKEMA: “Perluas kran impor (tembako)”. Inilah skema permanen kolonialisme dimanapun yaitu penguasaan ekonomi di negara target dengan implikasi riil: “Hancurnya petani tembakau di Indonesia!”
Sekarang membahas isu tax amnesty yang masih pro kontra hingga kini. Jika merujuk SAPs-nya IMF di atas, maka skemanya dapat terbaca yakni: aliran uang yang bebas (butir ke 1) dan peningkatan pajak (butir ke 3).
Akan tetapi, aliran uang bebas (butir ke 1) yang diharapkan mengalir deras dari para pengemplang pajak dan koruptor yang menyimpan uangnya di negara tax heaven seperti Swiss, Singapore, Panama, dll ternyata tak sesuai target. Kenapa? Selain kurangnya mapping target sasaran, mungkin ada ketidakpercayaan terhadap pemerintah karena faktor atmosfer politik yang tak pasti, betapa para negara tax heaven pun sesungguhnya tidak tinggal diam. Mereka tak rela ada “tsunami uang” pulang ke masing-masing negaranya. Ada langkah-langkah riil para negara tax heaven dalam rangka mempertahankan “uang” dimaksud. Singapore misalnya, melakukan kontra strategi dengan menawarkan pajak hanya 2% serta kemudahan menjadi warga negara Singapore, Panama pun demikian, dan seterusnya.
Apa boleh buat, pisau tax amnesty yang semula dihunus untuk para penyimpan uang di luar pun sepertinya tak memenuhi target. Gagal ditujahkan kepada para pengemplang pajak, pisau amnesty diarahkan ke internal negeri. Kegaduhan timbul di Indonesia karena pengampunan pajak hendak diberlakukan kepada setiap warga negara. Pro kontra masih berlangsung hingga kini, karena disinyalir banyak pihak, bahwa kebijakan tax amnersty hanya bungkus dari pajak kekayaan. Apa yang akan diampuni, sedang peristiwa (pidana) hukum belum terjadi?
Dengan demikian, agenda asing pada kebijakan tax amnesty adalah: “Kegaduhan sosial politik di internal negeri.” Kenapa? Inilah deception. Penyesatan. Sun Tzu menyebutnya: “Mengecoh langit menyeberangi lautan.” Artinya, agar segenap anak bangsa ini sibuk dan gaduh di tataran hilir, supaya permasalahan utama bangsa yakni penguasaan ekonomi dan pencaplokan SDA oleh asing melalui sistem negara/konstitusi kian kuat tertancap. Yang hilir, residual, derivatif digaduhkan, sementara hulu masalah bangsanya justru diabaikan. Inilah yang kini tengah berangsung secara masive, terencana bahkan terstruktur di Bumi Pertiwi.
Pertanyaan terakhir, apakah peperangan asimetris ber-ISU-kan rokok mahal dan tax amnesty akan terus dilanjutkan oleh asing di negeri ini? Jawabannya sederhana, “Ingat mekanisme dalam test the water —memancing reaksi publik— bahwa adanya penolakan yang keras lagi kuat dari publik/rakyat atas isu-isu yang telah ditebar, diperkirakan TEMA tak jadi dimunculkan, dan SKEMA pun gagal ditancapkan!”
Paling terakhir, manakala kebijakan ini hendak dipaksakan oleh pemerintah di internal negeri, maka selain kontra produktif, niscaya akan menimbulkan kegaduhan sosial politik yang parah. Dan lagi-lagi, itu berarti, kita kembali larut dalam tarian gendang —agenda— yang ditabuh oleh asing.
Demikian adanya. Silahkan saudara-saudara mencermati.
Penulis: M Arief Pranoto, Direktur Program Studi Geopolitik dan Kawasan Global Future Institute (GFI)